Ada sebuah pepatah yang mengatakan, " kuda yang baik tidak akan mengulangi makan rumput dari ladang yang sama."
“Saya hanya mengetahui bahwa kuda yang baik hanya memakan rumput yang baik, tanpa mempedulikan rumput di depan atau di belakang kuda (yang telah ditinggalkannya).”
Saya pernah sangat mengagumi kebijakan dan kemahiran tutur kata tersebut. Namun setelah dikenang kembali, rasanya hal tersebut bukan sekedar kebijakan seseorang, melainkan juga pandangan dan pikiran lurus seseorang.
Benarkah bahwa dalam perjalanan hidup manusia, seseorang jangan menoleh ke belakang (dengan kata lain mengulang kembali jalan yang telah ditempuh)? Perlukah kita menoleh ke belakang?
“Saya hanya mengetahui bahwa kuda yang baik hanya memakan rumput yang baik, tanpa mempedulikan rumput di depan atau di belakang kuda (yang telah ditinggalkannya).”
Saya pernah sangat mengagumi kebijakan dan kemahiran tutur kata tersebut. Namun setelah dikenang kembali, rasanya hal tersebut bukan sekedar kebijakan seseorang, melainkan juga pandangan dan pikiran lurus seseorang.
Benarkah bahwa dalam perjalanan hidup manusia, seseorang jangan menoleh ke belakang (dengan kata lain mengulang kembali jalan yang telah ditempuh)? Perlukah kita menoleh ke belakang?
Ada
seorang dokter yang baik hati akan dijatuhi hukuman mati karena
difitnah. Menjelang pelaksanaan eksekusi, dokter tersebut berkata dengan
sayu, “Aku tidak menyesali kematianku, namun sangat menyayangkan bila
resep obat-obatan hasil risetku tidak dapat diturunkan untuk menolong
manusia.”
Mendengar
hal ini, sang algojo tersentuh hatinya dan berkata, “Saya dapat memberi
sedikit waktu agar Anda dapat pulang untuk menuliskan resep obat-obatan
itu, baru kemudian pergi ke alam baka. Ingatlah, ketika anda telah
sampai di luar penjara, berlarilah sekuat tenaga jangan hiraukan orang
yang berteriak memanggilmu dari belakang, Anda jangan sekali-kali menoleh
ke belakang.”
Dokter tersebut berhasil pulang ke rumah, dan dengan bantuan istrinya ia dapat mewujudkan “keinginan menjelang ajalnya”.
“Kehidupan manusia seperti ujian
multiple choice.” Memilih salah satu jawaban, yang salah akan mendapat
nilai minus. Manusia dalam hidup boleh menyesal dan mengerjakan ulang,
namun bila salah memilih jalan, tidak dapat menghindari kerugian dalam
hal waktu, tenaga, emosi dan lain-lain. Namun asal kita mau balik
kembali, acap kali dapat menghindari terulangnya kesalahan sama yang
dapat menjerat pada situasi yang tak dapat dipulihkan kembali.
Saya
sangat menyukai kata-kata yang selalu dituliskan salah seorang guru saya
pada bagian bawah email, “Belajar apapun jangan merasa terlambat,
mengerjakan apapun hendaknya dilakukan sekuat tenaga.” Ketika kita
melakukan kesalahan, asalkan mau mengubah dan memulainya lagi serta
melakukan dengan segenap tenaga, maka selamanya tidak akan terlalu
terlambat.
Saya
pernah membaca sebuah artikel yang mengisahkan usaha seorang istri di
saat menjelang ulang tahun pernikahannya, ia menitipkan anak-anaknya ke
rumah orangtuanya, karena ingin merayakan berdua dengan sang suami
mengenang kemesraan saat berbulan madu dulu. Segalanya berjalan sesuai
rencana, sampai pada saat makan malam, karena sesuatu hal, suasana
berubah menjadi kaku. Akhirnya sang istri mengusulkan untuk
mengesampingkan hal yang membuat suasana kaku dan mengulanginya dari
awal.
Maka
sang suami keluar rumah sambil menjinjing tas kantor kemudian mengetuk
pintu rumah. Sang istri membuka pintu dan menyambutnya dengan senyum
mesra. Mereka berhati-hati menghindari masalah yang membuat suasana
menjadi kaku lagi, sehingga mereka berdua dapat melewati malam yang
menyenangkan.
Saat
masih muda, saya pernah membaca rubrik konsultasi dalam sebuah media.
Ada seorang perempuan yang telah putus hubungan dengan kekasihnya, namun
selalu tidak dapat melupakannya. Berulang kali ia ingin kembali ke
dalam pelukannya, namun begitu teringat pepatah kuda baik tidak akan
memakan rumput dari petak ladang yang telah ditinggalkannya, ia pun segera
mengurungkan niatnya.
Jika di dalam perjalanan hidup, apabila benar-benar tak dapat menoleh ke
belakang, mengapa pepatah zaman dahulu selalu mendorong orang yang
melakukan kesalahan agar segera bertobat? Misalnya seperti anak bejat
yang bertobat lebih berharga daripada emas; atau samudera penderitaan
tidak bertepi, saat menoleh yang terlihat adalah daratan; serta
meletakkan golok jagal, segera menjadi Buddha (Sang Sadar). Bukankah
perkataan tersebut menjadi tidak berarti?
Ada seseorang yang mengikuti seorang Guru Besar untuk menjadi biksu selama bertahun-tahun. Kemudian saat ia pergi berkelana, ia tergoda dunia fana dan telah berbuat banyak sekali dosa besar. Dia kembali kehadapan sang Guru dan tak habis-habisnya menyesali perbuatannya. Setelah mendengar hal itu, sang Guru berkata dengan penuh kemarahan, “Kalau ingin Sang Buddha memaafkanmu, tunggulah meja persembahan tumbuh bunga!”
Ada seseorang yang mengikuti seorang Guru Besar untuk menjadi biksu selama bertahun-tahun. Kemudian saat ia pergi berkelana, ia tergoda dunia fana dan telah berbuat banyak sekali dosa besar. Dia kembali kehadapan sang Guru dan tak habis-habisnya menyesali perbuatannya. Setelah mendengar hal itu, sang Guru berkata dengan penuh kemarahan, “Kalau ingin Sang Buddha memaafkanmu, tunggulah meja persembahan tumbuh bunga!”
Biksu
tersebut melihat Gurunya tidak mau memaafkannya. Karena merasa sudah tak
ada harapan lagi, maka dengan lesu ia kembali ke masyarakat manusia
biasa melanjutkan berbuat baik. Tak disangka pada hari kedua sang Guru
melihat meja persembahan benar-benar tumbuh bunga!
Cerita
ini menunjukkan bahwa Dewa dan Buddha dipenuhi welas asih yang tiada
tara. Orang yang telah berbuat jahat asalkan mau menoleh ke belakang
(menyesali kesalahannya), maka jalan kembali ke surga selalu terbuka! Saya sangat
berharap orang yang salah jalan, cepat-cepat membersihkan kesalahan
lampau, menempuh jalan pulang yang benar. Jangan mengikuti pepatah,
“Dalam perjalanan hidup jangan menoleh ke belakang!”
Tidak ada komentar:
Write komentar