Pada era 60-an di Huaibei Pingyuan ada seorang tabib ajaib bermarga Jia, yang mempunyai etika medis yang mulia.
Dia seorang tabib yang pintar, ketika mengobati penyakit dia sering menggunakan pencerahan jiwa untuk mengobati kesehatan fisik dan mental pasien. Oleh sebab itu dia diberi julukan sebagai orang baik marga Jia.
Ketika mengobati pasien miskin, dia tidak mau menerima uang sepersenpun, bahkan memberikan pasiennya obat cuma-cuma. Pada suatu ketika ada seorang nenek marga Wang yang berumur lebih dari 80 tahun di kampung mereka sakit keras dan tidak dapat bangun dari tempat tidur.
Tabib Jia melihat keluarga mereka sangat miskin. Bukan hanya tidak menerima uang pemberian mereka, malahan dia merogoh uang kantongnya yang berisi uang 60 Yuan dan dengan diam-diam meletakkan di sepatu nenek itu.
Tabib Jia melangkah naik keatas perahu, tapi tukang perahu menyuruh tabib Jia turun. Semua orang memohon kepada tukang perahu agar membawa tabib Jia menyeberangi sungai. Namun tukang perahu tetap bersikeras untuk menolaknya.
Hanya orang yang benar-benar berbuat baik yang akan mendapat perlindungan, sedangkan yang berbuat jahat akan
mendapat bencana. Tabib Jia sangat berterima kepada para Dewa-Dewa yang telah melindunginya dari bencana itu.
Jika anda merasa artikel ini bermanfaat, maka anda dipersilahkan untuk mencetak dan mengedarkan semua artikel yang dipublikasikan pada Blog Kebajikan ( De 德 ) ini. Mengutip atau mengcopy artikel di Blog ini harus mencantumkan Kebajikan ( De 德 ) sebagai sumber artikel.
Dia seorang tabib yang pintar, ketika mengobati penyakit dia sering menggunakan pencerahan jiwa untuk mengobati kesehatan fisik dan mental pasien. Oleh sebab itu dia diberi julukan sebagai orang baik marga Jia.
Ketika mengobati pasien miskin, dia tidak mau menerima uang sepersenpun, bahkan memberikan pasiennya obat cuma-cuma. Pada suatu ketika ada seorang nenek marga Wang yang berumur lebih dari 80 tahun di kampung mereka sakit keras dan tidak dapat bangun dari tempat tidur.
Tabib Jia melihat keluarga mereka sangat miskin. Bukan hanya tidak menerima uang pemberian mereka, malahan dia merogoh uang kantongnya yang berisi uang 60 Yuan dan dengan diam-diam meletakkan di sepatu nenek itu.
Ketika tabib Jia telah pergi, putra nenek itu yang bernama Wang Gang
melihat uang kakaknya 20 Yuan yang diletakkan dibawah bantal nenek telah
hilang, sehingga dia beranggapan bahwa tabib Jia yang telah mencurinya.
Lalu dia pergi mencari ke rumah tabib Jia. Dia bertanya kepadanya, apakah mencuri uang itu. Tabib Jia mengaku bhawa dia yang mencuri uang itu. Kemudian dari laci mejanya dia mengeluarkan uang 20 Yuan dan menyerahkannya kepada Wang Gang. Dalam keadaan emosi, Wang Gang memaki serta menyepak tabib Jia 3 kali.
Lalu dia pergi mencari ke rumah tabib Jia. Dia bertanya kepadanya, apakah mencuri uang itu. Tabib Jia mengaku bhawa dia yang mencuri uang itu. Kemudian dari laci mejanya dia mengeluarkan uang 20 Yuan dan menyerahkannya kepada Wang Gang. Dalam keadaan emosi, Wang Gang memaki serta menyepak tabib Jia 3 kali.
Ketika Wang Gang kembali kerumahnya, dia baru tahu bahwa ternyata kakaknya yang
telah mengambil uang yang diletakkan di bawah bantal ibunya. Wang Gang sangat
tercengang, dan dia segera kembali ke rumah tabib Jia dan berlutut di
hadapan tabib Jia dengan tidak mengerti dia bertanya, “Engkau tidak mencuri
uang kami, kenapa harus mengaku?”
”Ibumu sedang sekarat, jadi tidak boleh marah. Jika dia mengetahui uangnya
hilang, maka dia akan panik dan hal ini akan membuat nyawanya terancam. Demi kesehatan
ibumu, maka saya mengaku sebagai pencurinya. Saya percaya hal ini cepat atau lambat
maka akan terbongkar, jika penghinaan terhadap saya bisa menggantikan nyawa
dan kesehatan ibumu itu maka hal itu tentunya sangat berharga,” jawab Tabib Jia.
Setelah mendengar perkataan tabib Jia, Wang Gang merasa sangat bersalah dan malu.
Suatu ketika, ada seorang perempuan cilik yang menyeberangi sungai untuk mencari
tabib Jia agar mengobati penyakit ibunya. Ketika tabib Jia dan
perempuan cilik ini sampai di tepi sungai, perahu telah penuh terisi. Tabib Jia melangkah naik keatas perahu, tapi tukang perahu menyuruh tabib Jia turun. Semua orang memohon kepada tukang perahu agar membawa tabib Jia menyeberangi sungai. Namun tukang perahu tetap bersikeras untuk menolaknya.
Perempuan cilik itu menangis melihat kejadian itu, sambil berlutut ia
memohon agar tukang perahu itu berbaik hati untuk membiarkan tabib Jia naik ke
perahu menyeberangi sungai untuk mengobati ibunya. Akan tetapi Tukang
perahu tetap tidak mengizinkannya.
Melihat gelagat ini, tabib Jia berkata, “Baiklah, kalian semua menyeberang dulu, saya nanti menunggu perahu berikutnya. “
“Engkau menunggu sampai hari gelap pun, saya tetap tidak akan menyeberangi kamu,” kata Tukang perahu.
Orang-orang di dalam perahu merasa heran, kenapa tukang perahu tidak ada yang
mau menyeberangkan tabib Jia. Lalu mereka bertanya kepada tukang perahu,
tetapi tukang perahu menutup mulut dan tidak mau menjawabnya. Akhirnya perempuan
cilik itu tidak jadi naik perahu dan menemani tabib Jia untuk menunggu perahu
berikutnya.
Tabib Jia dan perempuan cilik itu berdiri diseberang selat, sambil menghela
nafas mereka memandang ke perahu yang telah berlayar. Ketika perahu sedang berada
ditengah sungai, tiba-tiba perahu itu diserang oleh angin topan. Perahu terbalik
dan seluruh penumpang perahu terjatuh di sungai lalu tenggelam. Hanya
tukang perahu yang bisa menyelamatkan diri karena bisa berenang jauh ke
tepian.
Ketika tukang perahu ditolong dan sampai di darat, dia berkata kepada
tabib Jia, “Semalam saya bermimpi 3 kali, begitu saya tertidur Dewa
bumi memberitahukan kepada saya, bahwa besok tabib Jia akan menyeberangi
sungai, jangan menyeberangi dia."
Di tengah malam Dewa sungai berkata lagi kepada saya, "Besok tabib Jia akan
menyeberangi sungai, jangan membawa dia. Begitu fajar mulai menyingsing.
Dewi Kwan Im juga berkata kepada saya, "Besok pagi ketika tabib Jia akan
menyeberangi sungai, jangan membawa dia."
"Mereka semua berkata begitu, sehingga tidak ada perahu yang mau menyeberangkan engkau, karena hal ini hanya akan menyusahkan saya. Oleh
sebab itu saya tidak berani membawa engkau. Sekarang saya baru mengerti
maksud mereka, ternyata mereka ingin menghindarkan tuan dari bencana,
pasti tuan adalah seorang yang berhati mulia,” tutur Tukang perahu.
Jika anda merasa artikel ini bermanfaat, maka anda dipersilahkan untuk mencetak dan mengedarkan semua artikel yang dipublikasikan pada Blog Kebajikan ( De 德 ) ini. Mengutip atau mengcopy artikel di Blog ini harus mencantumkan Kebajikan ( De 德 ) sebagai sumber artikel.
Tidak ada komentar:
Write komentar