Pembangunan Jembatan Brooklyn yang spektakuler dan megah yang
menghubungkan Manhattan dan Brooklyn, New York, merupakan gagasan John
Augustus Roebling, arsitek genius kreatif dengan imajinasi besar.
Karena di masa itu belum pernah ada jembatan seperti ini, idenya ditolak para ahli. Seluruh dunia menentang idenya dan menyuruhnya melupakan rencananya. Satu-satunya orang yang mendukungnya adalah anaknya sendiri yang juga arsitek, Washington Roebling.
John Roebling memikirkan rancangan ini setiap saat. Ia lalu diskusi, membujuk, dan berusaha meyakinkan pemodal dan pemerintah. Usahanya baru membuahkan hasil 4 tahun kemudian.
Kongres dan Presiden Ulysess Grant memberikan izin pembangunan jembatan ini pada tahun 1869. John dan Washington bekerja sama mengembangkan konsep bagaimana jembatan ini bisa dibangun dan cara mengatasi hambatan.
Dengan semangat berapi-api dan inspirasi besar, keduanya lalu membuat rencana rinci dan merekrut tim yang diperlukan. Mereka menyiapkan semuanya secara baik, tapi nasib ternyata bicara lain.
Sebulan kemudian, ketika memeriksa lokasi, kaki John Roebling ditabrak ferry yang bakal tak terpakai jika jembatan selesai dibangun. Kaki John diamputasi. Dua minggu kemudian, John Roebling terserang tetanus dan meninggal sebelum sempat meletakkan batu pertama.
Semua orang mengira, proyek jembatan ini akan mati bersama John Roebling. Tetapi Washington mengatakan, percaya jembatan ini bisa dibangun. Beliau ingin mewujudkan visi ayahnya menjadi kenyataan, dan meneruskan proyek ayahnya.
Nasib kembali bicara lain. Tiga tahun kemudian kembali terjadi tragedi. Jembatan ini dibangun dengan menggunakan caisson, ruang kedap air yang mendukung fondasi jembatan.
Sesudah bekerja di dalan caisson dengan tekanan udara tinggi, Washington terlalu cepat naik ke permukaan dan terserang penyakit caisson. Ia menderita kerusakan otak permanen, tak bisa bicara, setengah tuli, seluruh badannya lumpuh.
Satu-satunya yang bisa digerakkan hanya jari telunjuk kanan. Ia tak bisa bekerja dan berkomunikasi dengan para pekerja. Komentar negatif segera bermunculan. Karena hanya Roebling sendiri yang tahu bagaimana cara jembatan ini dibangun, semua orang merasa, proyek ini harus dihentikan.
Tapi, kendati pun cacat, Washington tidak berkecil hati. Semangatnya tetap berapi-api untuk menyelesaikan pembangunan jembatan itu. Fisiknya memang cacat, tapi pikirannya masih jernih dan tajam seperti semula. Mendadak saja sebuah ide muncul di kepala. Karena hanya bisa menggerakkan telunjuk kanan, ia akan memanfaatkannya dengan sebesar-besarnya.
Secara perlahan, ia mengembangkan sejenis kode Morse untuk bicara dengan istrinya Emily Roebling. Ia menyentuh lengan istrinya dengan jari telunjuk, menyuruhnya memanggil para arsitek. Lalu menggunakan cara yang sama untuk memberitahu apa yang harus dikerjakan.
Tampaknya gila dan bodoh, tapi proyek pembangunan jalan lagi. Setiap hari, selama 10 tahun, ia mengetukkan instruksi yang harus dikerjakan di lengan Emily. Dengan mengikuti instruksi ini, Emily yang cerdas mempelajari keterampilan matematika dan teknik agar bisa menyampaikan pengarahan suaminya.
Jembatan akhirnya selesai dibangun pada bulan Mei 1883. Saat peresmian jembatan Emily Roebling memimpin pawai menyeberangi Jembatan Brooklyn. Washington yang duduk di kursi roda, menyaksikannya dari jendela apartemennya. Ia lalu mengetukkan pesan kepada mendiang ayahnya, “Akhirnya kita berhasil juga.”
Washington Roebling kini dikenang sebagai pembangun Jembatan Brooklyn yang megah. Tapi, dia tak akan bisa menyelesaikan proyek ini tanpa dukungan istrinya. Emily Warren Roebling mendapat pujian besar saat peresmian jembatan.
Ia berperan sebagai istri sekaligus pelindung dan pendukung impian suami. Sebagai penghargaan atas jasanya, lebih dari 50 tahun kemudian, nama Emily Warren Roebling diukir pada piagam yang dipasang pada menara Brooklyn dan menara New York dari Jembatan tersebut.
Kisah nyata di balik pembangunan Jembatan Brooklyn menunjukkan kepada kita, bahwa ketekunan, kegigihan, sikap pantang menyerah, membuat impian yang paling mustahil pun, bisa diwujudkan.
Jembatan Brooklyn adalah salah satu contoh terbaik, bahwa sikap pantang menyerah dapat mengatasi kecacatan fisik dan mewujudkan impian besar yang tampak mustahil. Jembatan Brooklyn juga merupakan monumen cinta, kesetiaan, dan dedikasi seorang istri yang selama belasan tahun secara sabar membantu suami meraih kebesaran.
Karena di masa itu belum pernah ada jembatan seperti ini, idenya ditolak para ahli. Seluruh dunia menentang idenya dan menyuruhnya melupakan rencananya. Satu-satunya orang yang mendukungnya adalah anaknya sendiri yang juga arsitek, Washington Roebling.
John Roebling memikirkan rancangan ini setiap saat. Ia lalu diskusi, membujuk, dan berusaha meyakinkan pemodal dan pemerintah. Usahanya baru membuahkan hasil 4 tahun kemudian.
Kongres dan Presiden Ulysess Grant memberikan izin pembangunan jembatan ini pada tahun 1869. John dan Washington bekerja sama mengembangkan konsep bagaimana jembatan ini bisa dibangun dan cara mengatasi hambatan.
Dengan semangat berapi-api dan inspirasi besar, keduanya lalu membuat rencana rinci dan merekrut tim yang diperlukan. Mereka menyiapkan semuanya secara baik, tapi nasib ternyata bicara lain.
Sebulan kemudian, ketika memeriksa lokasi, kaki John Roebling ditabrak ferry yang bakal tak terpakai jika jembatan selesai dibangun. Kaki John diamputasi. Dua minggu kemudian, John Roebling terserang tetanus dan meninggal sebelum sempat meletakkan batu pertama.
Semua orang mengira, proyek jembatan ini akan mati bersama John Roebling. Tetapi Washington mengatakan, percaya jembatan ini bisa dibangun. Beliau ingin mewujudkan visi ayahnya menjadi kenyataan, dan meneruskan proyek ayahnya.
Nasib kembali bicara lain. Tiga tahun kemudian kembali terjadi tragedi. Jembatan ini dibangun dengan menggunakan caisson, ruang kedap air yang mendukung fondasi jembatan.
Sesudah bekerja di dalan caisson dengan tekanan udara tinggi, Washington terlalu cepat naik ke permukaan dan terserang penyakit caisson. Ia menderita kerusakan otak permanen, tak bisa bicara, setengah tuli, seluruh badannya lumpuh.
Satu-satunya yang bisa digerakkan hanya jari telunjuk kanan. Ia tak bisa bekerja dan berkomunikasi dengan para pekerja. Komentar negatif segera bermunculan. Karena hanya Roebling sendiri yang tahu bagaimana cara jembatan ini dibangun, semua orang merasa, proyek ini harus dihentikan.
Tapi, kendati pun cacat, Washington tidak berkecil hati. Semangatnya tetap berapi-api untuk menyelesaikan pembangunan jembatan itu. Fisiknya memang cacat, tapi pikirannya masih jernih dan tajam seperti semula. Mendadak saja sebuah ide muncul di kepala. Karena hanya bisa menggerakkan telunjuk kanan, ia akan memanfaatkannya dengan sebesar-besarnya.
Secara perlahan, ia mengembangkan sejenis kode Morse untuk bicara dengan istrinya Emily Roebling. Ia menyentuh lengan istrinya dengan jari telunjuk, menyuruhnya memanggil para arsitek. Lalu menggunakan cara yang sama untuk memberitahu apa yang harus dikerjakan.
Tampaknya gila dan bodoh, tapi proyek pembangunan jalan lagi. Setiap hari, selama 10 tahun, ia mengetukkan instruksi yang harus dikerjakan di lengan Emily. Dengan mengikuti instruksi ini, Emily yang cerdas mempelajari keterampilan matematika dan teknik agar bisa menyampaikan pengarahan suaminya.
Jembatan akhirnya selesai dibangun pada bulan Mei 1883. Saat peresmian jembatan Emily Roebling memimpin pawai menyeberangi Jembatan Brooklyn. Washington yang duduk di kursi roda, menyaksikannya dari jendela apartemennya. Ia lalu mengetukkan pesan kepada mendiang ayahnya, “Akhirnya kita berhasil juga.”
Washington Roebling kini dikenang sebagai pembangun Jembatan Brooklyn yang megah. Tapi, dia tak akan bisa menyelesaikan proyek ini tanpa dukungan istrinya. Emily Warren Roebling mendapat pujian besar saat peresmian jembatan.
Ia berperan sebagai istri sekaligus pelindung dan pendukung impian suami. Sebagai penghargaan atas jasanya, lebih dari 50 tahun kemudian, nama Emily Warren Roebling diukir pada piagam yang dipasang pada menara Brooklyn dan menara New York dari Jembatan tersebut.
Kisah nyata di balik pembangunan Jembatan Brooklyn menunjukkan kepada kita, bahwa ketekunan, kegigihan, sikap pantang menyerah, membuat impian yang paling mustahil pun, bisa diwujudkan.
Jembatan Brooklyn adalah salah satu contoh terbaik, bahwa sikap pantang menyerah dapat mengatasi kecacatan fisik dan mewujudkan impian besar yang tampak mustahil. Jembatan Brooklyn juga merupakan monumen cinta, kesetiaan, dan dedikasi seorang istri yang selama belasan tahun secara sabar membantu suami meraih kebesaran.
Tidak ada komentar:
Write komentar