KEBAJIKAN (De 德) - Sastra adalah perantara penting bagi peradaban manusia, terutama novel yang merupakan suatu bentuk seni yang disukai oleh masyarakat. Manusia itu datang dari mana? Dan akan pergi kemana?
Mengapa dikatakan dewasa ini sedang berada pada masa akhir dharma (akhir zaman)? Masalah yang kelihatan sederhana ini, tetapi sudah terkandung makna yang amat sangat mendalam.
Di bagian artikel sebelumnya telah disampaikan bahwa novel "Xi You Ji" (西遊) atau "Perjalanan ke Barat" (Journey to the West) karangan Wu Cheng'en tahun 1592, melukiskan sebuah cerita kultivasi yang utuh.
Di dalam kisah itu terdapat sebuah kalimat yang paling bermakna, pada bab ke-64, yang berjudul "Di Bukit Jingji (Duri) Samcheng Berupaya, di Kuil Muxian (Dewa Kayu) Pendeta Tong Membahas Syair".
Di dalam bab yang paling bermakna tersebut Wu Cheng'en menulis ungkapan "Sulit memperoleh tubuh manusia, sulit terlahirkan di Tiongkok, sulit menemui Zheng Fa (pelurusan hukum alam semesta), Bersyukurlah jika bisa mendapatkan ketiganya".
Kalimat tersebut hampir tidak ada hubungannya sama sekali dengan tulisan di bagian depan maupun bagian belakang cerita. Penulis meminjam mulut Pendeta Tong untuk mengucapkan kalimat tersebut, benar-benar telah mengutarakan sebuah ketulusan hatinya menuliskan buku karya ini, benar-benar telah mencurahkan kesungguhan hatinya.
Kita selama ini sedang membahas makna sesungguhnya dari 4 novel klasik Tiongkok yang terkenal. Dirangkum dengan realita hari ini, mungkin kita baru bisa menguraikan makna terdalam yang akan diungkapkan oleh 4 karya terkenal yang selama ini kurang bisa dipahami oleh masyarakat.
Masyarakat zaman sekarang disebut sebagai "akhir dharma" oleh sang Buddha Sakyamuni. Apakah itu "akhir dharma"? Adalah di saat moral umat manusia merosot di semua lini. Mari kita padukan dengan novel Shui Hu Zhuan (Batas Air), untuk melihat taraf kemerosotan moralitas umat manusia.
Para pembaca "Batas Air" tentu benar-benar sudah jelas dengan semua sepak terjang para mantan perampok di dalam karya tulis tersebut. Pemahaman masyarakat terhadap perampok memiliki data pembanding tertentu. Zhang Jue, pemimpin pasukan Serban Kuning yang memberontak di akhir zaman Dinasti Han pada abad ke-2, yaitu tahun 184. Huang Chao, pemimpin pemberontakan petani terkenal pada akhir Dinasti Tang.
Pemberontakannya yang berlangsung selama satu dekade yakni pada tahun 875-884 pada akhirnya berhasil ditumpas oleh pemerintah Tang, namun Dinasti Tang sendiri mengalami kemunduran drastis sesudahnya, hingga akhirnya runtuh pada tahun 907.
Selain itu, Hong Xiuquan, tokoh yang memimpin pemberontakan Taiping pada tahun 1851-1864 terhadap Dinasti Qing. Ia menyebut dirinya sebagai "Raja Surga" dan "saudara" dari Yesus Kristus.
Para perampok zaman dulu dalam operasional mereka mempunyai acuan dasar. Mereka pun paham, jika melampaui acuan dasar dari "Aturan Etika" mereka, maka mereka akan kesulitan dalam memimpin anak buahnya.
Seperti Bendera Kuning Aprikot bertuliskan "Melaksanakan Keadilan demi Langit" yang diusung oleh kelompok pendekar, yang notabene mantan perampok, yaitu Liang Shan Bo (Rawa-rawa gunung Liang) dari kisah Shui Hu Zhuan melambangkan hal tersebut.
Zhang Qing dan Sun Erniang (dalam kisah Shui Hu Zhuan/Batas Air) menjual bakpao berisikan daging manusia, mereka juga menghindari orang "berderajat rendah" (yang senasib dengan mereka), termasuk terhadap orang yang dihukum "buang" diberikan pengampunan. Setidaknya mereka menggunakan obat pembius terhadap korbannya, agar setelah orang tersebut tidak sadarkan diri baru dijagal. Salam kebajikan (epochtimes)
SELESAI
Tidak ada komentar:
Write komentar