|
Welcome To My Website Kebajikan (De 德)......KEBAJIKAN ( De 德 ) Mengucapkan Xin Nian Kuai Le (新年快乐) 2571 / 2020...Xīnnián kuàilè, zhù nǐ jiànkāng chángshòu, zhù nǐ hǎo yùn..Mohon Maaf Blog ini masih dalam perbaikan....Dalam era kebebasan informasi sekarang, hendaknya kita dapat lebih bijak memilah, mencerna dan memilih informasi yang akurat. Kami menempatkan kepentingan pembaca sebagai prioritas utama. Semangat kami adalah memberikan kontribusi bagi pembaca agar dapat meningkatkan Etika dan Moral dalam kehidupan serta meningkatkan Cinta kasih tanpa pamrih pada sesama baik dalam lingkup lingkungan sekitar maupun lingkup dunia dan menyajikan keberagaman pandangan kehidupan demi meningkatkan pemahaman dan penghargaan terhadap kehidupan. Tanpa dukungan Anda kami bukan siapa-siapa, Terima Kasih atas kunjungan Anda

Senin, 30 Mei 2016

Jangan Anggap Enteng dengan Sumpah yang Diucapkan

 


KEBAJIKAN ( De 德 )Pada akhir tahun 1980-an, seorang teman sekolah saya yang menjabat sebagai sekretaris di sebuah pabrik besi di desa, menceritakan kepada saya sebuah kisah tentang sumpah, dan cerita ini masih jelas terbayang dalam benak saya hingga kini.

Berikut ceritanya:

Beberapa hari ke depan, pabrik besi akan merayakan Festival Musim Gugur atau Hari Raya Pertengahan Musim Gugur. Menjelang festival, semua karyawan diliburkan dan pulang ke rumah untuk merayakan festival musim gugur, manajemen pabrik membelikan 2.5 Kg daging untuk penjaga pabrik, sebagai bekal makanannya saat perayaan nanti.

Pada saat itu, tukang masak atau koki dan penjaga pabrik berada di tempat. Tak lama kemudian, 2.5 Kg daging itu pun tiba-tiba raib tak berbekas. Penjaga pabrik mengatakan, bahwa daging itu telah diambil tukang masak, tapi tukang masak tidak mengakuinya, karena saling melempar kesalahan atau tidak mengakui perbuatannya, akhirnya keduanya pun berdebat sengit. 

Sementara orang-orang yang melihat pertengkaran itu juga dibuat bingung, yang mengambil daging itu sebenarnya tukang masak atau penjaga pabrik yang salah menuduh, semuanya diam dan tampak bingung. Untuk membuktikan masing-masing tidak bersalah, akhirnya pada siang hari, keduanya pun bersumpah dengan membakar dupa atau menyalakan hio di tengah halaman pabrik : sumpah penjaga pabrik, “apabila memang saya yang keliru menyalahkan orang itu, biarlah saya mati pada tanggal 15 Agustus (festival musim gugur dalam penanggalan Tionghua).” 

Sedangkan tukang masak pabrik bersumpah, “Jika saya yang mengambil daging itu, biarlah saya mati bertepatan dengan perayaan pertengahan musim gugur (15 Agustus).” Sementara orang-orang yang menyaksikan tingkah mereka merasa lucu, tidak menanggapinya, lalu bubar sambil tersenyum geli.

Tepat pada hari perayaan pertengahan musim gugur, koki atau tukang masak pabrik itu ternyata benar-benar meninggal, sehingga orang-orang pun teringat kembali cerita ini, namun, setiap orang punya dugaan atau pemikirannya masing-masing. Bagi mereka yang tidak percaya dengan akibat sumpah yang diucapkan itu menganggap bahwa itu hanya kebetulan ; sebaliknya bagi yang percaya meyakininya bahwa itu adalah akibat dari sumpah yang diucapkan. Banyak terjadi peristiwa atau kisah nyata sebagaimana yang dianggap “takhayul” oleh masyarakat pedesaan di masa lalu seperti ini, tapi faktanya ternyata lebih banyak terbukti daripada kebetulan.

Dalam cerita klasik Tiongkok kuno, kisah-kisah seperti ini banyak terjadi. Salah satu kisah nyata tentang sumpah yang diucapkan oleh Qin Qiong dan Luo Cheng dalam cerita klasik “Heroes in Sui and Tang Dynasties”, sangat menarik untuk direnungkan. Qin Qiong dan Luo Cheng adalah saudara sepupu, Qin Qiong memiliki senjata dari logam (semacam pedang) yang sangat hebat, sementara Luo Cheng punya senjata berupa tombak yang tak tertandingi kala itu. 

Mereka bersumpah akan saling mengajarkan keahlian masing-masing. Luo bersumpah: Apabila tidak mengajarkan keahlian tombak keluarga Luo pada Qin Qiong, saya rela mati dipanah ; sedangkan Qin Qiong bersumpah : jika tidak mengajari keahlian pedang sepenuhnya pada Luo Cheng, saya rela mati muntah darah. Ketika Luo Qiong mengajarkan keahlian tombaknya kepada Qin Qiong, ia menyisakan satu keahlian tombak berkudanya ; sementara Qin Qiong juga menyisakan satu keahlian pedang pembunuhnya ketika mengajari Luo Cheng.

Belakangan, saat dalam pertempuran di medan perang, Luo Cheng tewas ditembus panah, sementara dalam sequel “The Legend of the General Who Never Was”, dikisahkan Qin Qiong yang tengah sakit parah berusaha memperebutkan lencana sebagai panglima untuk memimpin pasukan bertempur di medan perang, namun, dalam pertandingan mengangkat singa batu (singa yang terbuat dari batu), tiba-tiba Qin Qiong muntah darah, tak lama kemudian, ia pun meninggal.

Tragis, akhirnya mereka dimakan oleh sumpahnya masing-masing. Itulah sekelumit kisah nyata akibat mengabaikan sumpah yang telah diucapkan. Sementara dalam kisah “The Romance of the Three Kingdoms” (Kisah Tiga Kerajaan), dikisahkan bahwa Liu Bei, Guan Yu (atau Dewa Guan Gong dalam kepercayaan masyarakat Tionghoa sekarang), dan Zhang Fei, mereka bertiga berikrar sebagai sesama saudara, mereka bersumpah atau berikrar menghadap langit (Sang Ilahi), semoga bisa mati bersama pada waktu yang sama meski tidak lahir pada hari yang sama. Di samping memberi pesan akan makna “Persaudaran”, dan meninggalnya tiga bersaudara secara berturut-turut ini niscaya juga menyisakan perenungan yang mendalam bagi kita atas ikrar atau sumpah yang diucapkan.

Masyarakat Tionghaa pada zaman dahulu, di mana pada saat menikah harus lebih dulu menyembah langit dan Bumi, kemudian menyembah orangtua (ayah-ibu), dan terakhir suami-isteri saling menyembah (memberi hormat), adapun maksud dari menyembah langit dan Bumi adalah menjadikan langit dan Bumi sebagai saksi dalam ikatan pernikahan kita, berikrar atau bersumpah bertanggungjawab seumur hidup terhadap masing-masing pihak, mengundang para dewa langit dan Bumi menjadi saksi, mengawasi perilaku kita, jika melanggar, maka akan mendapatkan hukuman dari para dewa.

Dalam upacara pernikahan masyarakat Tionghoa sekarang, tidak lagi menyembah langit dan Bumi yang dianggapnya sebagai takhayul, kisah pernikahan dengan menyembah langit dan Bumi dalam upacara pernikahan kuno sekarang hanya bisa kita saksikan dalam film-film klasik Tiongkok. Masyarakat Tionghoa generasi muda sekarang sudah tidak tahu lagi dengan upacara atau tata cara pernikahan zaman dahulu, dan meskipun tahu, juga jarang berikrar / bersumpah, ikrar atau sumpah di mata mereka tidak lebih dari takhayul yang konyol, apalagi menjadikan sumpah itu sebagai sesuatu sakral, di mata mereka, akibat dari sumpah itu hanya angin lalu.

Meskipun terkadang hanya bersumpah seadanya, untuk menegaskan atau sebagai bukti dirinya tidak bersalah, sehingga tidak pernah menganggap sumpah itu sebagai sesuatu yang serius. Adapun mengenai apa yang akan terjadi di kemudian hari, mereka juga tidak pernah merenungkan apa kejadian itu ada hubungannya dengan sumpah yang pernah diucapkan sebelumnya. Sebaiknya jangan sembarangan bersumpah, meski hanya sekadarnya, karena siapa tahu sesuatu itu akan dimakan oleh sumpahnya sendiri, sekarang atau nanti, entahlah tak seorang pun yang tahu. Salam kebajikan (Sumber)

Tidak ada komentar:
Write komentar