|
Welcome To My Website Kebajikan (De 德)......KEBAJIKAN ( De 德 ) Mengucapkan Xin Nian Kuai Le (新年快乐) 2571 / 2020...Xīnnián kuàilè, zhù nǐ jiànkāng chángshòu, zhù nǐ hǎo yùn..Mohon Maaf Blog ini masih dalam perbaikan....Dalam era kebebasan informasi sekarang, hendaknya kita dapat lebih bijak memilah, mencerna dan memilih informasi yang akurat. Kami menempatkan kepentingan pembaca sebagai prioritas utama. Semangat kami adalah memberikan kontribusi bagi pembaca agar dapat meningkatkan Etika dan Moral dalam kehidupan serta meningkatkan Cinta kasih tanpa pamrih pada sesama baik dalam lingkup lingkungan sekitar maupun lingkup dunia dan menyajikan keberagaman pandangan kehidupan demi meningkatkan pemahaman dan penghargaan terhadap kehidupan. Tanpa dukungan Anda kami bukan siapa-siapa, Terima Kasih atas kunjungan Anda

Sabtu, 31 Desember 2016

Kisah Nyata : Warisan Ibarat Sebilah Pisau, Membuat Empat Bersaudara Saling Membunuh

 


KEBAJIKAN ( De 德 ) Sebuah tulisan di internet yang ditulis oleh seorang dokter bernama Lin Jing-yun, yang bercerita tentang pengalaman yang dialami oleh paman, bibi dan keempat anaknya. Kisah nyata ini diulas dalam bentuk artikel dengan judul “Warisan Ibarat Sebilah Pisau, Membuat Kami Empat Bersaudara Saling Membunuh”, menceritakan tentang pertikaian antar sesama saudara kandung masalah harta warisan yang besar. Namun, ketika mereka menyadarinya, semuanya sudah terlambat.

“Warisan ibarat sebilah pisau, yang membuat kami empat bersaudara saling membunuh”, sebuah kisah nyata ini mengingatkan kita, jangan meninggalkan harta untuk anak-anak.

Berikut cerita selengkapnya dalam artikel yang ditulis oleh dokter Lin Jing-yun.

Harta, mungkin merupakan pisaunya anak-anak untuk saling bunuh, jelas-jelas adalah saudara sekandung dari orang tua yang sama, namun, demi memperebutkan warisan, akhirnya menjadi musuh !

Paman saya tinggal di selatan Taiwan, dari usaha mengelola sebuah toko kecil berkembang menjadi sebuah department store, ia adalah seorang pengusaha sukses.

Mal tujuh lantai milik paman tepat berada di seberang stasiun kereta api, sebuah bangunan yang mencolok mata ketika itu. Bisnis malnya berjalan lancar, merekrut banyak karyawan, karena paman takut karyawannya korup, sehingga setiap hari berpatroli dari lantai atas hingga bawah, sementara bibi menyiapkan makanan untuk karyawan di dapur.

Super market ini menjual segala sesuatunya, paman bilang : “Uang koin, kartas yang masuk ini adalah sebuah angka (uang yang terkumpul) .” Tapi pasutri ini sangat irit. Paman suka makan ikan sidat, tapi ia anggap ikan sidat terlalu mahal, jadi, saat ingin mencicipinya, paman selalu berdiri di luar dapur restoran, menghirup aroma harum sidat bakar. Sementara bibi juga sangat irit, super market mereka juga menjual handuk, tapi bibi anggap bahannya terlalu bagus, kemudian menyuruh saya ke belakang stasiun kereta api Taipei membeli barang-barang murah untuknya.

Mereka memiliki empat anak, dua laki-laki dan dua perempuan, masing-masing menetap di Amerika Serikat, Jepang dan Taipei, saat Natal tiba, sekeluarga berkumpul, dari foto keluarga tampak terlihat sangat bahagia.

Paman dan bibi belum genap 70 tahun, mungkin karena terlalu lelah, atau apa pun itu, pasutri ini akhirnya meninggal dunia, sang suami meninggal pada awal tahun, sementara sang isteri pada akhir tahun.

Dalam upacara perpisahan, seorang kerabat diam-diam mengatakan kepada saya, bahwa keempat bersaudara kandung itu sedang meributkan masalah warisan, si abang melemparkan gelas ke adik perempuannya, dan mengenai telapak tangan! Saya memandang sejenak dan memang telapak tangan adik perempuanya itu terbungkus perban.

Ternyata, hak milik atas tanah mal itu punya paman, sedangkan hak milik atas tanah dan bangunan punya kedua anak laki-lakinya, sehingga atas alasan ini, kedua bersaudara laki-laki itu meminta kedua adik perempuan mereka untuk melepaskan hak warisannya. Namun, kedua anak perempuan tidak percaya orang tua mereka akan setega itu, mereka berharap mendapatkan bagian sebagai kenang-kenangan. Akhirnya, empat bersaudara ini tidak ada satupun yang mau mengalah.

Pada saat itu, kawasan kota tua di stasiun kereta api merupakan pusat komersial utama, ada yang menawar tiga ratus juta dolar Taiwan (setara Rp. 120 miliar) untuk membeli seluruh bangunan itu, namun karena tidak tercapai kata sepakat dari empat pewaris, akhirnya tidak jadi.

Ketika orang tua mereka masih hidup, sekeluarga begitu rukun ; dan tak disangka setelah orang tua tiada, demi harta warisan, mereka pun bertikai. Dua saudara perempuan mengajukan tuntutan, bahwa saat mendaftarkan nama mereka atas bangunan itu, abang mereka belum dewasa, tanah dan bangunan adalah warisan ayah, jadi mereka punya hak untuk mewarisi.

Setiap kali sidang di pengadilan, tampak empat bersaudara ini saling berhadap-hadapan, jelas-jelas saudara sekandung dari orang tua yang sama, namun, demi memperebutkan warisan, akhirnya menjadi musuh !

Selama proses pengadilan berlangsung, si sulung tiba-tiba meninggal dunia, dan diantara iring-iringan upacara pemakaman tidak tampak batang hidung kedua saudara perempuannya.

Beberapa tahun kemudian, keputusan pengadilan akhirnya keluar ── tanah diwariskan kepada empat anak ; Bangunan diwariskan kepada kedua anak laki-laki.

Sekarang, mal itu akhirnya bisa dijual! Masalahnya, selama proses penuntutan perkara, mal tidak beroperasi, lagipula izinnya juga sudah berakhir, menurut Fire Safety law atau perundangan dan peraturan terkait proteksi kebakaran yang baru, bahwa bangunan tersebut tidak dapat difungsikan atau digunakan sebagai super market, jika dirobohkan dan dibangun kembali, maka tingkat volumenya akan menurun darstis.

Apalagi pusat komersial ketika itu belakangan telah dialihkan, depan stasiun kereta api tidak lagi mentereng, nilai real estate juga hanya setengah dari nilainya tahun lalu !

Dalam reuni keluarga baru-baru ini, dimana ketika berbicara tentang donasi untuk kesejahteraan umum, putri sang paman dengan sungguh-sungguh mengatakan, bahwa ia tidak ingin meninggalkan warisan untuk anak-anak. Ketika warisan ayah dalam genggamannya, dia sudah berusia 55 tahun, dan uang itu tidak ada artinya lagi baginya. Namun, warisan itu ibarat sebilah pisau untuk anak-anak, yang membuat mereka, sesama saudara kandung itu saling bunuh demi warisan, menyebabkannya kehilangan orang tua, disusul kemudian kehilangan saudara kandung.

“Jika waktu bisa berputar kembali, saya akan mengusulkan semua warisan ayah itu lebih baik dihibahkan untuk kesejahteraan umum! Salam kebajikan (Sumber)

Tidak ada komentar:
Write komentar