|
Welcome To My Website Kebajikan (De 德)......KEBAJIKAN ( De 德 ) Mengucapkan Xin Nian Kuai Le (新年快乐) 2571 / 2020...Xīnnián kuàilè, zhù nǐ jiànkāng chángshòu, zhù nǐ hǎo yùn..Mohon Maaf Blog ini masih dalam perbaikan....Dalam era kebebasan informasi sekarang, hendaknya kita dapat lebih bijak memilah, mencerna dan memilih informasi yang akurat. Kami menempatkan kepentingan pembaca sebagai prioritas utama. Semangat kami adalah memberikan kontribusi bagi pembaca agar dapat meningkatkan Etika dan Moral dalam kehidupan serta meningkatkan Cinta kasih tanpa pamrih pada sesama baik dalam lingkup lingkungan sekitar maupun lingkup dunia dan menyajikan keberagaman pandangan kehidupan demi meningkatkan pemahaman dan penghargaan terhadap kehidupan. Tanpa dukungan Anda kami bukan siapa-siapa, Terima Kasih atas kunjungan Anda

Kamis, 23 November 2017

Satu Hari Setelah Menikah Ibu Mertua Menyuruhku “Berlutut Sambil Menyuguhkan Teh”, Tapi Tak Disangka Dia Menyiramkan Air Teh Itu ke Wajahku!

 


KEBAJIKAN (De 德) Namaku Chen Ling, 26 tahun, asal Shanghai, Tiongkok, setelah lulus kuliah di Shanghai, aku bekerja sebagai penerjemah bahasa asing di sebuah perusahaan. Orangtuaku membuka usaha kecil-kecilan, kondisi ekonomi keluarga juga lumayan baik, dan punya rumah sendiri di Shanghai.

Aku adalah anak perempuan satu-satunya dalam keluarga, karena itu di mata orangtua aku adalah pusaka, tidak pernah mengalami tekanan apa pun sejak kecil.

Aku punya pacar bernama Wen Liang, lulus dari universitas terkenal di Shanghai, sekarang menjabat sebagai general manager di sebuah peruahaan besar, usianya 6 tahun lebih tua dariku.

Wen Liang adalah sosok orang yang sangat baik, setidaknya sangat baik padaku, selalu mengalah.

Saat membeli rumah di Shanghai, atas namaku, dan itu atas inisiatifnya sendiri, aku benar-benar tersentuh karenanya, dan bersumpah akan baik kepadanya.

Rumah Wen Liang di sebuah kota kabupaten yang relatif terpencil di Hunan, kadang-kadang dia bercerita tentang kampung halaman dan masa kecilnya, dan aku pun tertarik juga mendengarnya.

Aku dibesarkan di kota besar, jadi tidak begitu paham beberapa hal tentang suasana atau kebiasaan/tradisi orang desa.

Tapi aku sangat tertarik setiap mendengar ceritanya tentang desa, bahkan aku memintanya bercerita lebih banyak lagi hal-hal berbau desa, dan aku berharap suatu hari nanti bisa berkunjung ke desa bersamanya.

Sebelum menikah dengan Wen Liang, sudah tiga kali aku ke desanya, penduduk desa sangat mengagumi Wen Liang, mereka selalu datang menemuinya setiap kali dia pulang ke desa.

Selain memujinya juga memujiku, yang katanya sangat cantik, dan tentu saja aku merasa terhormat dipuji seperti itu.

Aku adalah tipe orang yang seperti apa adanya, tidak begitu mengerti dengan peraturan keluarga, sementara peraturan keluarga Wen Liang sangat banyak, tapi aku tidak mau mematuhinya, jadi sikap orangtua Wen Liang juga tidak menentu, sepertinya tidak begitu suka padaku.

Tapi aku tak peduli, yang penting Wen Liang baik padaku. Apalagi orangtuanya Wen Liang juga tidak menentang hubungan kami secara terang-terangan.

Kemudian, aku bertanya kepada Wen Liang, dan ia mengatakan bahwa orangtuanya menyukaiku, hanya saja aku tidak mengerti adat di kampung halamannya, sehingga orangtuanya tidak begitu suka.

Misalnya ketika ada tamu berkunjung ke rumah, aku tidak boleh duduk dulu di meja makan, harus tunggu setelah tamu duduk, terutama tamu laki-laki, jika masih ada tempat yang kosong, wanita baru boleh duduk di meja makan.

Sebagai istri di keluarganya umumnya tidak boleh duduk di meja makan selagi masih ada tamu.

Wen Liang mengatakan kepadaku untuk tidak mematuhi peraturan seperti itu, karena itu adalah bentuk diskriminasi pada kaum wanita, jadi dia tidak menceritakan hal itu sebelumnya kepadaku.

Namun, aku mendesaknya memberitahu tentang peraturan keluarganya di kampung, daripada nanti orangtuanya semakin tidak menyukaiku.

Demi Wen Liang, kalau tidak mematuhi peraturan keluarganya, maka aku merasa menyia-nyiakan kebaikan Wen Liang padaku.

Upacara pernikahanku dengan Wen Liang lebih dulu diselenggarakan di Shanghai, berikutnya baru diadakan di kampung halamannya.

Memang banyak sekali peraturan seputar pernikahan di kampungnya, sangat melelahkan dan hampir membuatku tidak tahan.

Keesokan paginya sebelum fajar menyingsing, pintu kamar sudah diketuk, menyuruh kami ke rumah mertua untuk menyuguhkan teh sebagai tanda penghormtan.

Aku tidak pernah bangun pagi-pagi, apalagi masih lelah menjalani prosesi tata cara pernikahan kemarin sepanjang hari, jadi kepalaku masih pusing dan berkunang-kunang.

Ketika aku berdiri sambil menyuguhkan teh di depan mertua, mata mereka tampak melotot menatapku, tapi dengan santai saya berkata : “Ayah-ibu, silakan diminum tehnya.”

Setelah itu, aku mengambil teh dan mempersilakan bapak-ibu mertua untuk meminumnya.

Tapi mertua bilang cara itu tidak benar, menyuruhku menyuguhkan teh sambil berlutut di hadapannya.

Seumur hidup aku tidak pernah berlutut pada orang lain, bahkan berlutut di hadapan orang tua kandung sendiri.

Jadi ketika mendengar harus berlutut menyuguhkan teh sebagai tanda penghormatan, aku pun berseru dengan lantang : “Zaman apa sekarang, masih pakai cara berlutut segala, mau minum atau tidak terserah! ”

Aku sebenarnya sangat tidak suka dengan adat yang aneh-aneh ini, apalagi kemarin sudah sibuk sepanjang hari hanya untuk menjalani prosesi yang membosankan, jadi kepalaku masih pusing, sehingga suasana hatiku benar-benar sangat buruk.

Mendengar kata-kataku, ibu mertua seketika mengambil gelas berisi air teh dan menyiramnya ke wajahku : “Dasar kurang ajar, baru satu hari nikah, sudah berani melawan mertua?!”


Aku tercengang, tidak tahu apa yang terjadi, pandanganku tampak kabur melihat wajah ibu mertua yang marah.

Melihat itu, Wen Liang bergegas membantuku berdiri, kemudian menegur ibunya : “Bu, saya kan sudah bilang, Ling Ling orang kota, tidak paham aturan keluarga, kenapa harus begini bu?”

“Meski putri raja sekali pun, aturan yang diwarikan leluhur tetap harus dipatuhi, segala hal apa pun tidak akan bisa dicapai dengan sempurna tanpa peraturan, paham kamu ? dasar kamu anak tidak berbakti, ibu membiayaimu sekolah, jangan sampai kamu lupakan itu,” cetus ibu mertua pada Wen Liang.

Melihat itu, aku baru sadar apa yang telah terjadi, dan tiba-tiba air mataku pun mengalir.

Saat itu, aku berteriak-teriak mau pulang ke Shanghai, tapi Wen Liang suamiku terus membujukku, sehingga aku pun terpaksa tetap tinggal.

Namun, aku tidak tahu bagaimana ke depannya bergaul dengan mertua, karena aku tidak pernah diperlakukan seperti ini.

Apa yang akan kalian lakukan, jika itu terjadi pada Anda ? Salam kebajikan (Sumber)

Tidak ada komentar:
Write komentar