Kaisar merasa kata-kata itu cukup beralasan.
Sementara beberapa menteri lainnya menentang pendapat tersebut: “Sejak zaman Tiga dinasti, yakni Dinasti Xia, Shang, dan Zhou (suatu periode antara tahun 2100 SM sampai dengan 256 SM), rakyat perlahan berubah menjadi jahat dan tak bermoral.
Itu sebabnya di zaman Dinasti Qin (221-206 SM) digunakan hukum dan dekrit untuk menata negara, tiba masa Dinasti Han (206 SM - 220 Masehi).
Selain menerapkan hukum, mereka juga menjalankan pemerintahan tangan besi yang tidak berperi-kemanusiaan, mereka semua tidak mampu menata negara dengan baik. Jika mendengar kata-kata Wei Zheng, dikhawatirkan negara akan semakin kacau dan mendatangkan bencana.”
Wei Zheng berkata: “Saat Tiga Maharaja dan Lima Kaisar (legenda sejarah kuno paling awal Tiongkok pada 4.000-5.000 tahun silam sebelum Dinasti Xia) memerintah, mereka tidak mengubah cara mendidik rakyat. Semua tergantung pada cara yang digunakan, mendidik rakyat bisa dilihat pada catatan sejarah.
Sementara beberapa menteri lainnya menentang pendapat tersebut: “Sejak zaman Tiga dinasti, yakni Dinasti Xia, Shang, dan Zhou (suatu periode antara tahun 2100 SM sampai dengan 256 SM), rakyat perlahan berubah menjadi jahat dan tak bermoral.
Itu sebabnya di zaman Dinasti Qin (221-206 SM) digunakan hukum dan dekrit untuk menata negara, tiba masa Dinasti Han (206 SM - 220 Masehi).
Selain menerapkan hukum, mereka juga menjalankan pemerintahan tangan besi yang tidak berperi-kemanusiaan, mereka semua tidak mampu menata negara dengan baik. Jika mendengar kata-kata Wei Zheng, dikhawatirkan negara akan semakin kacau dan mendatangkan bencana.”
Wei Zheng berkata: “Saat Tiga Maharaja dan Lima Kaisar (legenda sejarah kuno paling awal Tiongkok pada 4.000-5.000 tahun silam sebelum Dinasti Xia) memerintah, mereka tidak mengubah cara mendidik rakyat. Semua tergantung pada cara yang digunakan, mendidik rakyat bisa dilihat pada catatan sejarah.
Dulu saat Kaisar Huang Di bertempur dengan Qi You
sebanyak lebih dari 70 kali pertempuran (5.000 tahun silam), waktu itu
bisa dikatakan kekacauan ada dimana-mana, tapi setelah memenangkan
perang. Kaisar Huang Di (penguasa legendaris Tiongkok yang memerintah
pada 2697-2597SM) berupaya menerapkan pemerintahan berbudi dan bermoral
sehingga seluruh negeri tenteram dan damai.”
“Kaisar Zhuan Xi (cucu Huang Di) mengirim tentara tatkala Suku Jiu Li mengacau, setelah menang perang, tidak mengabaikan pembinaan. Xia Jie (raja terakhir Dinasti Xia) yang kejam dan mesum digulingkan oleh Shang Tang, kemudian terwujud zaman tenteram di bawah pemerintahan Shang Tang.
Jika dikatakan rakyat secara berangsur menjadi licik dan sembrono serta tidak mungkin kembali menjadi tulus, maka bukankah orang-orang zaman sekarang semestinya telah berubah menjadi setan dan siluman, bagaimana bisa membina mereka?
Para pejabat tersebut tidak menemukan lagi alasan lain untuk menentang Wei Zheng, tapi mereka tetap beranggapan menjalankan pemerintahan dengan cara Wei Zheng tidak bisa dilakukan.
Kaisar pun menerapkan pemerintahan berkewibawan raja (berkeadilan dan bermoral) sesuai dengan usul Wei Zheng. Beberapa tahun kemudian, negara aman dan damai, rakyat hidup sejahtera. Bahkan suku barbar yang bertahun-tahun terus mengacau perbatasan utara pun bisa dikalahkan dan takluk pada kerajaan.
Saat baru naik tahta, bencana alam sangat serius, rakyat berusaha menyelamatkan diri namun tidak mengeluh, mampu menjaga diri masing-masing dan tidak saling mengusik. Tiga tahun setelah masa pemerintahan Dinasti Tang, hasil panen melimpah, rakyat yang mengungsi kembali ke kampung halaman, dan tidak ada satupun yang hilang.
Setelah itu Jiancheng dan Yuanji (saudara kaisar) berkomplot untuk menggulingkan Kaisar, namun Kaisar tidak menghukum mereka bahkan beberapa orang dari komplotan diangkat menjadi menteri.
Pejabat korup dihukum tanpa ampun. Pedagang dan pelancong tidak lagi takut akan perampok dan pencuri. Penjara sering kali kosong, peternakan meluas, rumah-rumah tidak perlu dikunci, panen raya berlangsung bertahun-tahun tanpa henti, sehingga harga beras pun sangat murah. Peziarah yang melewati daerah tersebut bahkan diberikan bingkisan.
Penggalan fakta sejarah ini tercatat semua dalam kitab sejarah. Dan hanya dalam tiga tahun terlihat hasil pemerintahan yang baik, apa lagi yang bisa membuktikan kekuatan metode pemerintahan seperti ini!
Debat antara Wei Zheng dengan beberapa pejabat juga menjadi pertimbangan para raja di saat memilih antara memerintah dengan cara kewibawaan raja atau dengan cara otoriter. Menerapkan kewibawaan raja dapat menjalankan pemerintahan, diktator juga dapat menjalankan pemerintahan. Meskipun nasib negara akan berbeda, tapi sama-sama dapat mencapai hasil yang diinginkan pada kurun waktu tertentu.
Meskipun cara kewibawaan raja seiring dengan kehendak langit dan keinginan rakyat, namun yang berhasil dan menjalankannya secara berkesinambungan tidak banyak. Cara otoriter meskipun bertentangan dengan langit, tapi justru banyak diterima oleh pemimpin. Alasannya, kewibawaan raja meskipun baik tapi sulit dilaksanakan; sedangkan kediktatoran walaupun jahat, tapi mudah dilakukan.
Seorang raja yang ingin menegakkan kewibawaan raja harus membina moralitas diri, di saat yang sama harus mampu menerima kritik dari para pejabatnya, harus senantiasa menempatkan penderitaan rakyat di dalam hatinya, menjaga perilaku dan tutur kata, rendah hati, tidak berfoya-foya, juga harus taat pada langit dan bumi.
Bagi seorang manusia, begitu banyak kekangan, tuntutan watak dan moral yang terlalu tinggi, akan sulit dilakukan jika bukan seorang arif bijaksana. Tapi sebaliknya jika seorang raja ingin menjadi diktator, ia bisa semena-mena, karena pemerintahan diktator yang otoriter itu tidak dikekang oleh moral.
Kaisar Qin memusnahkan 6 negara dan menyatukan Tiongkok, ia selalu membinasakan semua orang yang menentangnya. Dalam sekejap seluruh negeri pun kehilangan kekuatan untuk menentangnya. Kaisar Zhou Li dengan satu perintah bisa membuat seluruh negeri bungkam, rakyat dikendalikan agar tidak berani berbicara dengan hukuman berat. Sayangnya raja yang menerapkan pemerintahan otoriter tidak berumur panjang, Dinasti Qin segera binasa begitu tahta diturunkan pada putranya.
Sama-sama politik yang memerintah rakyat, kewibawaan raja dan diktator menampilkan pilihan manusia akan kebaikan atau kejahatan. Melakukan kebaikan atau kejahatan, tergantung pada pikiran manusia. Memilih jalan yang benar, yakni kebaikan, akan mendatangkan kehormatan sejarah yang sifatnya abadi. Memilih kejahatan dan pikiran jahat, selain akan di cemooh rakyat, juga akan dihukum oleh Langit. (The Epoch Times)
Jika anda merasa artikel ini bermanfaat, maka anda dipersilahkan untuk mencetak dan mengedarkan semua artikel yang dipublikasikan pada Blog Kebajikan ( De 德 ) ini. Mengutip atau mengcopy artikel di Blog ini harus mencantumkan Kebajikan ( De 德 ) sebagai sumber artikel.
“Kaisar Zhuan Xi (cucu Huang Di) mengirim tentara tatkala Suku Jiu Li mengacau, setelah menang perang, tidak mengabaikan pembinaan. Xia Jie (raja terakhir Dinasti Xia) yang kejam dan mesum digulingkan oleh Shang Tang, kemudian terwujud zaman tenteram di bawah pemerintahan Shang Tang.
Jika dikatakan rakyat secara berangsur menjadi licik dan sembrono serta tidak mungkin kembali menjadi tulus, maka bukankah orang-orang zaman sekarang semestinya telah berubah menjadi setan dan siluman, bagaimana bisa membina mereka?
Para pejabat tersebut tidak menemukan lagi alasan lain untuk menentang Wei Zheng, tapi mereka tetap beranggapan menjalankan pemerintahan dengan cara Wei Zheng tidak bisa dilakukan.
Kaisar pun menerapkan pemerintahan berkewibawan raja (berkeadilan dan bermoral) sesuai dengan usul Wei Zheng. Beberapa tahun kemudian, negara aman dan damai, rakyat hidup sejahtera. Bahkan suku barbar yang bertahun-tahun terus mengacau perbatasan utara pun bisa dikalahkan dan takluk pada kerajaan.
Saat baru naik tahta, bencana alam sangat serius, rakyat berusaha menyelamatkan diri namun tidak mengeluh, mampu menjaga diri masing-masing dan tidak saling mengusik. Tiga tahun setelah masa pemerintahan Dinasti Tang, hasil panen melimpah, rakyat yang mengungsi kembali ke kampung halaman, dan tidak ada satupun yang hilang.
Setelah itu Jiancheng dan Yuanji (saudara kaisar) berkomplot untuk menggulingkan Kaisar, namun Kaisar tidak menghukum mereka bahkan beberapa orang dari komplotan diangkat menjadi menteri.
Pejabat korup dihukum tanpa ampun. Pedagang dan pelancong tidak lagi takut akan perampok dan pencuri. Penjara sering kali kosong, peternakan meluas, rumah-rumah tidak perlu dikunci, panen raya berlangsung bertahun-tahun tanpa henti, sehingga harga beras pun sangat murah. Peziarah yang melewati daerah tersebut bahkan diberikan bingkisan.
Penggalan fakta sejarah ini tercatat semua dalam kitab sejarah. Dan hanya dalam tiga tahun terlihat hasil pemerintahan yang baik, apa lagi yang bisa membuktikan kekuatan metode pemerintahan seperti ini!
Debat antara Wei Zheng dengan beberapa pejabat juga menjadi pertimbangan para raja di saat memilih antara memerintah dengan cara kewibawaan raja atau dengan cara otoriter. Menerapkan kewibawaan raja dapat menjalankan pemerintahan, diktator juga dapat menjalankan pemerintahan. Meskipun nasib negara akan berbeda, tapi sama-sama dapat mencapai hasil yang diinginkan pada kurun waktu tertentu.
Meskipun cara kewibawaan raja seiring dengan kehendak langit dan keinginan rakyat, namun yang berhasil dan menjalankannya secara berkesinambungan tidak banyak. Cara otoriter meskipun bertentangan dengan langit, tapi justru banyak diterima oleh pemimpin. Alasannya, kewibawaan raja meskipun baik tapi sulit dilaksanakan; sedangkan kediktatoran walaupun jahat, tapi mudah dilakukan.
Seorang raja yang ingin menegakkan kewibawaan raja harus membina moralitas diri, di saat yang sama harus mampu menerima kritik dari para pejabatnya, harus senantiasa menempatkan penderitaan rakyat di dalam hatinya, menjaga perilaku dan tutur kata, rendah hati, tidak berfoya-foya, juga harus taat pada langit dan bumi.
Bagi seorang manusia, begitu banyak kekangan, tuntutan watak dan moral yang terlalu tinggi, akan sulit dilakukan jika bukan seorang arif bijaksana. Tapi sebaliknya jika seorang raja ingin menjadi diktator, ia bisa semena-mena, karena pemerintahan diktator yang otoriter itu tidak dikekang oleh moral.
Kaisar Qin memusnahkan 6 negara dan menyatukan Tiongkok, ia selalu membinasakan semua orang yang menentangnya. Dalam sekejap seluruh negeri pun kehilangan kekuatan untuk menentangnya. Kaisar Zhou Li dengan satu perintah bisa membuat seluruh negeri bungkam, rakyat dikendalikan agar tidak berani berbicara dengan hukuman berat. Sayangnya raja yang menerapkan pemerintahan otoriter tidak berumur panjang, Dinasti Qin segera binasa begitu tahta diturunkan pada putranya.
Sama-sama politik yang memerintah rakyat, kewibawaan raja dan diktator menampilkan pilihan manusia akan kebaikan atau kejahatan. Melakukan kebaikan atau kejahatan, tergantung pada pikiran manusia. Memilih jalan yang benar, yakni kebaikan, akan mendatangkan kehormatan sejarah yang sifatnya abadi. Memilih kejahatan dan pikiran jahat, selain akan di cemooh rakyat, juga akan dihukum oleh Langit. (The Epoch Times)
Jika anda merasa artikel ini bermanfaat, maka anda dipersilahkan untuk mencetak dan mengedarkan semua artikel yang dipublikasikan pada Blog Kebajikan ( De 德 ) ini. Mengutip atau mengcopy artikel di Blog ini harus mencantumkan Kebajikan ( De 德 ) sebagai sumber artikel.
Tidak ada komentar:
Write komentar