Pada
masa anak-anak, manusia mudah sekali memiliki pandangan yang ganjil,
misalnya saja, saya tidak pernah mempercayai akan menjadi tua.
Meskipun
para tetua keluarga sering mengatakan waktu adalah uang.
Bila segan
berusaha selagi muda, sia-sia belaka bersusah hati pada hari tua. Saya
sudah sedemikian hafalnya dengan berbagai nasihat semacam ini, sehingga
hampir mampu melafalkannya secara terbalik.
Tapi sejujurnya saja, saya
benar-benar tidak pernah berpikir akan menjadi tua, atau lebih
tepatnya, tidak beranggapan akan dapat menjadi tua. Bahkan selalu dalam
kesan saya, nenek adalah maha tahu, ayah muda dan jangkung, ibu sangat
cermat terorganisir. Wujud mereka tercetak tetap pada benak saya, yang
telah saya kenal sejak lahir. Bahkan mengira mereka adalah demikian
sejak dilahirkan, mereka selamanya juga tidak akan berubah.
Kemudian,
nenek meninggal, saya ingat pada malam hari tersebut ayah saya terus
berada di dapur, sangat tenang, saya menyelinap ke pintu dapur untuk
melihatnya. Dia duduk dengan punggung menghadap ke pintu dan meneguk
minuman keras. Berhenti beberapa saat, kemudian meneguk lagi. Saya tidak
mendengar suara lain, tetapi melihatnya menyeka air mata dari waktu ke
waktu.
Ada suatu
saat saya berada di luar kota, ketika pulang ke rumah pada saat liburan,
entah mulai kapan saya menemukan ayah perlu beristirahat ketika menaiki
tangga. Setiap dua tingkat ia beristirahat sebentar. Saya tahu, ayah
benar-benar sudah tua.
Bahkan ibu
selalu berpikiran jernih juga mulai menjadi pelupa. Misalnya dia akan
menyalakan AC tapi lupa menutup jendela, atau duduk menunggu telepon
tapi lupa menyalakan telepon genggamnya. Pada awalnya, saya selalu
mengingatkannya. Kadang-kadang teringat bagaimana dulunya dia melakukan
hal-hal itu dengan sangat teratur, agak di luar dugaan bahwa dia yang
sekarang sudah kacau pikirannya. Demikian, sekali, dua kali, tiga kali,
saya yang lamban berpikir tiba-tiba menyadari bahwa ibu sudah menjadi
tua.
Mungkin saya
masih tidak percaya bahwa diri saya akan menjadi tua, namun para tetua
keluarga sudah menjadi tua, dan saya juga telah menjadi semakin akrab
dengan kondisi “menjadi tua”. Pernah sekali saudara ibu datang
berkunjung ke rumah. Dia seorang “bocah nakal yang sudah tua”. Setelah
berbuat semau gue seumur hidupnya, sekarang telah menjadi tua. Dia
mempunyai penafsiran tersendiri terhadap kata “tua”.
Katanya,
“Menjadi tua adalah menjadi gila harta ditambah takut mati, ketika
merasa diri kita menjadi gila harta dan takut mati, berarti kita sudah
tua.” Saya tidak dapat menahan tawa, menertawainya memiliki jiwa bocah
nakalnya yang tidak pernah berubah.
Jika
direnungkan sungguh menyedihkan. Gila harta? Memang benar demikian. Pada
saat tua, akan memiliki krisis perasaan, rasa kesepian, sebab itu
harus memiliki sedikit tabungan baru merasa aman. Sesungguhnya uang juga
tidak seberapa, namun dijaga bagaikan emas, dijaga ketat dari
putra-putrinya. Adapun rasa takut mati adalah kata-kata yang
sebenarnya.
Teringat
ketika dia masih muda, mengandalkan keagresifan, suka pamer. Seringkali
menunjukkan semangat “setiap orang toh akan mati”. Namun setelah tua,
akhirnya berpikiran kematian yang nyaman masih tidak sebaik hidup dalam
derita.
Waktu-waktu
yang berlalu ini, selalu membuat orang mengeluh, meskipun saya tetap
tidak begitu percaya akan menjadi tua. Mungkin karena alasan ini, maka
jadwal kerja dan istirahat harian saya agak semau gue yang jarang
dikaitkan dengan “tua”. Misalnya membaca buku semalaman, tanpa peduli
pada hari berikutnya mata jadi membengkak, atau sepanjang tahun setiap
harinya duduk di depan komputer selama belasan jam, juga tanpa
mengkhawatirkan radiasi atau punggung bungkuk.
Pada suatu
waktu gigi saya sakit, saya lalu memasak makanan sampai lunak, juga ada
suatu waktu rambut saya banyak yang rontok, saya lalu mencukurnya
menjadi pendek. Sedangkan “ menjadi tua”, saya menghadapinya dengan
sikap biasa-biasa saja. Namun, untuk waktu-waktu yang telah berlalu,
saya tidak dapat tidak merasa murung, meskipun sepertinya tidak
berhubungan dengan diri saya.
Waktu-waktu
yang berlalu ini, setiap orang hanya akan mengalami sekali, namun bagi
dunia ini, adalah sedemikian biasa bagaikan terbit dan terbenamnya sang
mentari. Setiap hari ada orang menjadi tua, dan meninggal karena usia
tua, dari zaman purba sampai masa kini, tidak pernah berhenti.
Terkadang
saya membaca beberapa cerita orang zaman dahulu, sering kali menemukan
bahwa mereka menghadapi hari “tua” dengan cara yang sangat berbeda
dengan orang zaman sekarang.
Orang-orang
tua pada zaman dahulu, adalah benar-benar sebagai orang-orang tua.
Mereka penuh rasa sayang, jujur, tidak memihak, berpengetahuan luas.
Oleh sebab itu, pada umumnya status orang-orang tua juga sangat tinggi,
dihormati oleh keluarga dan masyarakat sebagai orang tua yang bijaksana
dan terpelajar.
Dalam arena
diskusi tingkat tinggi suatu negara, negarawan senior dua dinasti,
pejabat tertinggi dan menteri utama suatu kerajaan juga dipandang
sebagai pilar negara. Kata-katanya mantap berpengalaman dan bijaksana,
keputusan yang diambil akan merupakan hukum yang abadi.
Bahkan bagi
kaisar, jika didampingi para menteri senior yang terkenal bijaksana,
akan bagaikan munculnya burung Phoenix dan Kuda Unicorn yang merupakan
simbol kaisar suci dan bijaksana. Memang benar, orang-orang berusia tua
yang bijaksana hampir-hampir merupakan simbol moralitas.
Kita
bicarakan saja yang sering dibahas oleh orang zaman dahulu seperti yang
dikatakan Konfusius tentang, “Tidak tahu bahwa usia tua akan datang
menyelinap”. Konfusius adalah seorang berbakat besar, sedemikian
besarnya sehingga disebut sebagai raja tanpa wilayah kekuasaan. Dengan
demikian beliau tidak dapat menerima kedudukan sebagai pejabat tinggi.
Sebagai pejabat tinggi hanya memimpin sebuah negara, menjadi pengatur
sebuah negara.
Saya pikir
dengan kearifan dan moralitas Konfusius, sepanjang hari beliau terobsesi
oleh buku-buku, mendidik dan mencerahkan murid-muridnya, hanya
mengkhawatirkan kesempatan tidak akan terulang, sehingga tidak pernah
mengeluhkan pergantian musim.
Cerita-cerita
ini sungguh bagus, saya pikir apabila “tua” bisa seperti ini, maka
manusia dapat benar-benar keluar dari kesedihan untuk melihat keindahan
mentari senja yang sudah hampir terbenam. Dan dalam hidup ini saya
benar-benar telah bertemu dengan sejumlah orang tua yang berbeda dengan
orang-orang tua pada umumnya.
Pada suatu
sore sebelum tahun 1999, saya melihat sejumlah orang tua di sebuah taman
kecil. Yang paling muda juga sudah hampir berusia enam puluh, mereka
duduk di sana membaca buku. Itulah buku Zhuan Falun yang belasan tahun
kemudian, yaitu hari ini telah diterjemahkan ke dalam tiga puluhan
bahasa dan laris terjual di seluruh dunia. Orang-orang tua tersebut
sedang mendiskusikan tentang hasil mereka belajar dan berlatih Falun
Gong serta berkultivasi hati untuk menjadi lebih baik.
Ada yang
mengatakan bagaimana tubuhnya menjadi baik, tidak menambah beban kepada
anak-anak mereka. Ada yang mengatakan telah menjadi lapang dada, dan
dapat berkumpul dengan menantu bagaikan anak kandungnya. Beberapa lagi
berkata, ilmu berkultivasi yang sebaik ini, semestinya dipelajari juga
oleh para handai taulan dan sanak keluarga.
Pertama kali
saya mendengarnya hanya mengerti samar-samar, bagaikan berada dalam
kabut. Tapi ada satu hal yang saya pahami dengan jelas, apa yang mereka
katakan sama sekali tidak mengandung unsur kepentingan pribadi, terlebih
lagi tidak berhubungan dengan tuduhan politik.
Mereka
adalah kelompok usia senja yang mengejar kebenaran, dengan hati yang
setulusnya mempraktekkan moralitas, dengan idealisme tidak mementingkan
diri sendiri. Mereka adalah kelompok orang tua yang saya pikir hanya ada
dalam kitab-kitab kuno, orang-orang tua bijak yang menimbulkan rasa
hormat dan kagum.
Sore itu,
mentari senja tampak cemerlang, orang-orang tua tersebut duduk di sana,
memancarkan cahaya moralitas, bagaikan kegemilangan yang memancar
menembus lapisan awan. “Tua” yang semacam ini terbebas dari rasa
kesepian yang timbul pada akhir suatu kehidupan, bebas dari kesedihan
yang mengikuti si cantik pada senja masa hidupnya, tidak terdapat
ratapan sedih sang pahlawan pada masa tuanya.
Saya tidak
pernah percaya bahwa diri saya akan menjadi tua, dan mereka telah
mendeduksikan pada versi realita tentang legenda tidak menjadi tua. Saya
juga mengharapkan orang-orang tua di seluruh dunia, seperti ayah saya,
ibu saya, juga dapat dipenuhi rasa syukur dan kebahagiaan pada usia tua,
tidak menyia-nyiakan waktu yang berlalu di bawah mentari senja.. (Song Zifeng)
Jika anda merasa artikel ini bermanfaat, maka anda dipersilahkan untuk
mencetak dan mengedarkan semua artikel yang dipublikasikan pada Blog Kebajikan ( De 德 ) ini. Mengutip atau mengcopy artikel di Blog ini harus mencantumkan Kebajikan ( De 德 ) sebagai sumber artikel.
Tidak ada komentar:
Write komentar