|
Welcome To My Website Kebajikan (De 德)......KEBAJIKAN ( De 德 ) Mengucapkan Xin Nian Kuai Le (新年快乐) 2571 / 2020...Xīnnián kuàilè, zhù nǐ jiànkāng chángshòu, zhù nǐ hǎo yùn..Mohon Maaf Blog ini masih dalam perbaikan....Dalam era kebebasan informasi sekarang, hendaknya kita dapat lebih bijak memilah, mencerna dan memilih informasi yang akurat. Kami menempatkan kepentingan pembaca sebagai prioritas utama. Semangat kami adalah memberikan kontribusi bagi pembaca agar dapat meningkatkan Etika dan Moral dalam kehidupan serta meningkatkan Cinta kasih tanpa pamrih pada sesama baik dalam lingkup lingkungan sekitar maupun lingkup dunia dan menyajikan keberagaman pandangan kehidupan demi meningkatkan pemahaman dan penghargaan terhadap kehidupan. Tanpa dukungan Anda kami bukan siapa-siapa, Terima Kasih atas kunjungan Anda

Senin, 06 April 2015

Kenekatan Era Tiongkok Kuno: Pembunuh Rahasia Dinasti Zhou Timur

 


KEBAJIKAN ( De 德 ) Kisah para pasukan pembunuh Tiongkok yang memiliki tekad dan loyalitas luar biasa, menempatkan mereka pada kedudukan yang unik dan berpengaruh dalam sejarah Tiongkok. Melaksanakan takdir misi mereka sebagai prajurit, para pejuang garis keras dari Kerajaan Tengah ini melayani berbagai macam tuan dengan motivasi yang berbeda-beda.

Dalam kumpulan catatan lebih dari 2.000 tahun sejarah Tiongkok, sejarawan Sima Qian dari Dinasti Han, yang juga dikenal sebagai sejarawan besar, termasuk bagian yang disebut Sejarah Pembunuh dalam karya monumentalnya.

Dilansir dari efcohtimes, Berikut ini adalah cerita tentang tiga pria jagoan, yakni seorang “anak mami”, pengkhianat kerdil, dan pembunuh handal yang bisa membunuh tanpa perlu membunuh.

1. Zhuan Zhu menggulingkan perampas kekuasaan

 
Pada abad ke-6 SM, Tiongkok terdiri dari beberapa kerajaan yang tengah berjuang untuk saling mendominasi. Hiduplah seorang pria di Kerajaan Wu bernama Zhuan Zhu. Ia bertubuh kuat seperti lembu dan memiliki rasa keadilan. Tapi meskipun ia sering terlibat dalam perkelahian jalanan karena berbagai kesalahan, rasa hormat Zhuan terhadap ibunya sangat besar, sehingga hanya dengan mengucapkan sepenggal kalimat saja sudah cukup untuk menghentikan perkelahiannya.

Pada saat itu, situasi Kerajaan Wu dalam krisis suksesi. Pangeran Guang telah ditipu dari tahtanya yang sah oleh Raja Liao, dan Guang menginginkan tahtanya kembali. Namun tidak ada yang bisa dilakukan untuk meyakinkan si perampas tahta untuk mundur secara sukarela, sehingga sesuatu yang lebih drastis harus dilakukan.

Menteri Pangeran Guang dan Jenderal Wu Zixu tahu orang yang tepat untuk pekerjaan tersebut. Ya, adalah Zhuan Zhu, yang kisah rincinya terdapat di dalam novel sejarah era Dinasti Ming yang berjudul Roman Negara-negara di Zhou Timur.

Pada awalnya Zhuan merasa skeptis, tapi ia segera menyadari bahwa Raja Liao adalah seorang pria yang akan tidak menyerah pada apa pun kecuali kekuatan. Selain itu, Pangeran Guang memberikan janji kepada Zhuan apabila ia berhasil membunuh sang raja, maka ibu Zhuan akan hidup seperti ratu selama sisa hidupnya. Zhuan dengan senang hati menerima permintaan Wu.

Ketika Zhuan tengah mempersiapkan misinya, sang ibu mengucapkan salam perpisahan kepada putranya, kemudian melakukan gantung diri. Sang ibu percaya bahwa misi anaknya hanya bisa berhasil jika dia fokus sepenuh hati. Apabila dia masih ada dalam pikirannya, apakah itu tidak membahayakan peluangnya? Zhuan melihat pengorbanan sang ibu kepadanya, kini ia tahu bahwa tidak bisa gagal.

Akan tetapi Raja Liao sangat berhati-hati. Ke mana pun ia pergi, selalu bersama pasukannya, dan terus menerus di bawah perlindungan langsung seratus pengawal yang terampil. Setiap saat Raja Liao mengenakan setelan lapis baja sebanyak tiga lapis. Bahkan seorang raksasa seperti Zhuan Zhu pun tidak bisa berharap banyak pada pukulannya.

Zhuan tahu ia harus melakukan hal yang tak terduga. Lantas dia beralih profesi sebagai seorang koki yang ahli membuat hidangan ikan yang lezat sehingga Raja Liao tidak akan mampu menolaknya.

Benar saja, si perampas tahta tak lama kemudian mengadakan perjamuan besar. Di hadapan para penjaga, Zhuan mengganti seluruh pakaiannya dengan yang baru dan digeledah secara menyeluruh. Tidak ada yang luput dari pengawasan. Saat ia berlutut di depan raja dan menyajikan hidangan, dua tentara bersenjata berdiri tepat di belakangnya.

Begitu Raja Liao tergiur dengan aroma lezat ikan tersebut, Zhuan langsung melompat dari posisi berlututnya, menjulurkan tangannya ke dalam tubuh ikan, dan menarik sebuah belati yang tajam. Dalam sekejap mata, dan sekuat tenaga ia menusukkan pisau itu menembus tiga lapisan baja pelindung tepat ke jantung raja.

Puluhan penjaga langsung menghujam Zhuan, membuatnya menjadi daging cincang. Akan tetapi sudah terlambat. Raja Liao telah tewas, setelah itu para penjaga mengucap sumpah setia kepada pewaris tahta yang sah, Pangeran Guang.

2. Pengorbanan Yao Li

 
Catatan mengenai Yao Li, kisah pembunuh bayaran lainnya dari Kerajaan Wu, tidak termasuk dalam sejarah Sima Qian, tapi muncul di abad ke-3 SM dalam kitab Siasat Negara Berperang.

Tak lama setelah kematian Raja Liao, Pangeran Guang diangkat sebagai Raja Helu dari Kerajaan Wu. Karena ia khawatir terhadap putra Raja Liao, Qing Ji, yang mungkin mencoba untuk membalas dendam. Raja Helu sekali lagi berpaling kepada Jenderal Wu Zixu untuk meminta bantuan.

Ketika Raja Helu melihat siapa yang direkomendasikan oleh Jenderal Wu, ia menjadi kecewa. Dibelakang Jenderal Wu, berdiri seseorang setinggi 1,2 meter dengan perawakan lemah dan jelek, ialah Yao Li.

Namun demikian, Jenderal Wu meyakinkan raja bahwa meskipun berfisik demikian, Yao adalah sempurna, karena ia memiliki karakter yang benar-benar tahan banting bahkan dalam menghadapi bahaya ekstrim dan kesulitan.

Pada saat itu, Qing Ji sedang membangun kekuatan dan kekuasaan untuk mengambil alih Raja Helu. Melihat hal ini, Yao punya rencana.

Yao Li meminta Jenderal Wu Zixu untuk memotong satu tangannya dan membunuh seluruh keluarganya. Setelah tindakan ini drastis telah dilakukan, Yao lolos dan melarikan diri ke kamp Qing, berpura-pura ingin melayani Qing Ji melawan Raja Helu dan Jenderal Wu.

Pada awalnya Qing Ji merasa tidak yakin, akan tetapi segera setelah para informannya kembali dari Kerajaan Wu dan mengonfirmasi cerita Yao. Qing Ji yakin bah¬wa Yao bisa jadi sudah tidak memiliki loyalitas terhadap Wu setelah kekejaman tersebut dan Yao dipekerjakan.

Beberapa waktu kemudian, Qing Ji telah menjalin kerja sama dengan Kerajaan Wei, siap untuk merebut kembali Kerajaan Wu. Saat ia dan armadanya menyeberangi Sungai Yangtze yang besar, Yao Li berdiri di atas kapal, dengan memegang sebuah tombak di satu tangannya yang tersisa.

Saat itu adalah hari yang berangin, dan ketika Qing Ji menutup matanya terhadap angin kencang, Yao tidak membuang-buang waktu lagi. Dalam satu tindakan cepat, ia melemparkan tombaknya ke punggung Qing.

Ketika Qing Ji membuka matanya lagi, ia tahu telah berakhir hidupnya. Dengan tenang, ia mengucapkan selamat kepada Yao atas keberaniannya, dan memerintahkan pasukannya untuk tidak menghukumnya. Lalu ia menarik tombak dari tubuhnya dan meninggal.

Yao Li, terhadap tugas yang diembannya, mengetahui seberapa berat yang harus dilakukan untuk melaksanakan misinya. Dia tercatat telah melakukan tiga pelanggaran besar, yakni telah melanggar prinsip loyalitas, karena ia telah menyatakan kesetiaannya kepada Qing Ji hanya untuk mengkhianat-inya; ia telah menyebabkan keluarganya sendiri dibunuh, yang menjadikannya tidak berbakti, dan ia membiarkan dirinya dimutilasi, yang dalam kebudayaan Tiongkok kuno dipandang sebagai penghinaan serius terhadap orangtua.

Dengan selesai misinya, Yao melemparkan dirinya ke sungai dan menghilang di ke¬dalaman Sungai Yangtze.

3. Cao Mo ‘membujuk’ Adipati Huan

 
Hampir 200 tahun sebelum masa Zhuan Zhu dan Yao Li, pada awal abad ke-7 SM, Adipati Huan, sang penguasa Kerajaan Qi dan yang pertama dari “lima hegemoni”, membuat banyak wilayah lainnya bertekuk lutut pada ambisinya. Bersama dengan seorang menterinya yang pandai, Guan Zhong, Huan berhasil menggalang serangkaian aliansi di mana Kerajaan Qi adalah pemimpin yang tak diragukan lagi.

Kerajaan Lu, tempat kelahiran Konfusius, terletak tepat di sebelah Kerajaan Qi. Saat itu terjadi serangkaian konflik dengan Kerajaan Qi, sehingga menyebabkan Kerajaan Lu harus kehilangan beberapa kota dan sebagian besar wilayahnya, hal ini membuat si penguasa Adipati Zhuang sangat murka. Bermaksud ingin menambahkan luka atas penghinaan tersebut, Adipati Huan dari Kerajaan Qi menginginkan Kerajaan Lu masuk menjadi aliansinya dan dijadikan negeri jajahannya.

Dalam jajaran pejabat Kerajaan Lu, Zhuang memiliki seorang jenderal yang bernama Cao Mo. Jenderal ini telah mengalami tiga kali kekalahan dalam perang melawan Kerajaan Qi, akan tapi ia masih sangat setia terhadap Kerajaan Lu.

Kedua adipati tersebut bertemu di sebuah kota yang bernama Ke untuk menghadiri “konvensi aliansi”, yang dikenal sebagai Huimeng di Tiongkok, di mana negosiasi antara pemimpin feodal akan diadakan. Zhuang membawa serta Cao Mo.

Sambil menikmati hidangan dan minuman, para penguasa Kerajaan Qi dan Lu membahas berbagai hal, yang tentu saja condong mendukung Adipati Huan.

Tetapi begitu para pemimpin bersiap untuk mengucapkan sumpah aliansi, Cao Mo bergegas merangkul Huan, dan meletakkan pedangnya siap menggorok leher Huan. Sambil memegang kuat sanderanya, Cao menjelaskan kepada yang hadir bahwa Kerajaan Lu telah diganggu agar tunduk dan ketentuan aliansi tersebut tidak adil.

Cao menuntut Kerajaan Lu harus dikembalikan kepada wilayah leluhurnya sebelum dibuat kesepakatan apa pun. Adipati Huan tidak punya pilihan lain selain menerima. Hebatnya, Cao melemparkan pedangnya, Zhuang mengucapkan sumpah, dan perayaan terus berjalan seolah-olah ti-dak ada kejadian apa-apa.

Setelah kejadian itu, Adipati Huan bisa ditebak menjadi sangat marah atas penghinaan tersebut. Ia berencana untuk mengingkari janjinya dan menghukum Kerajaan Lu, akan tetapi menteri Guan mencegahnya. Meskipun Kerajaan Qi memang menjadi agresor militer saat itu, namun dasar kekuatannya terletak pada integritas dan nilai-nilai sosial yang telah dipupuk.

Huan mendengarkan penjelasan Guan dan segera memadamkan kemarahannya. Pada akhirnya Huan kembali menaklukkan Kerajaan Lu.

Menurut Sun Zi, penulis terkenal buku Seni Berperang, meraih kemenangan tanpa pertempuran adalah bentuk tertinggi dari peperangan. Dengan prinsip ini, meskipun Cao tidak benar-benar membunuh Adipati Qi, sudah sepatutnya bahwa kisahnya berada diposisi pertama dalam kitab sejarah Sima tentang pembunuh besar. Salam kebajikan

Tidak ada komentar:
Write komentar