KEBAJIKAN ( De 德 ) - Sinchan, seorang bocah imut berusia sepuluh tahun, mengalami kecelakaan lalu lintas sehingga harus menjalani proses operasi di beberapa bagian tubuhnya. Untung saja kecelakaan ini tidak sampai merenggut nyawanya. Operasi berlangsung sukses dan Sinchan sudah boleh menempati ruangan biasa.
Namun naas, kedua orang tua Sinchan bersama dengan seorang adik laki-lakinya tidak dapat terselamatkan, tewas dengan sangat mengenaskan. Praktis, saat ini Sinchan menjadi seorang yatim piatu.
Peristiwa kecelakaan tragis yang merenggut nyawa kedua orang tuanya sangat memukul perasaannya. Dengan mata kepala sendiri, Sinchan menyaksikan bagaimana kedua orang tuanya harus meregang nyawa, akibat supir bus yang bersikap ugal-ugalan menghantam motor yang dikendarai oleh ayahnya.
Selama berada di ruangan rumah sakit, Sinchan selalu menangis memanggil-manggil kedua orang tuanya. Kerinduannya begitu memuncak. Ketakutan akan masa depannya, membuat dirinya menjadi frustasi. Tidak jarang, di waktu malam, Sinchan bermimpi, mengingau dan akhirnya berteriak meraung-raung dalam kepiluan yang begitu mendalam.
Semua perawat berusaha memberikan perhatian lebih kepada Sinchan agar dapat pulih kembali seperti sedia kala. Karena tidak memiliki sanak saudara, rencananya setelah sembuh, Sinchan akan dititipkan di panti asuhan.
Di dalam kamarnya, Sinchan tidak tinggal seorang diri. Ada seorang kakek tua juga sedang menjalani perawatan medis yang sudah dijalani sang kakek dalam kurun waktu cukup lama. Walaupun hanya seorang diri, sebenarnya kakek ini berasal dari keluarga kaya. Hidupnya tidak berkekurangan karena dirinya masih memiliki rumah tempat tinggal dan tabungan yang cukup banyak.
Kakek tua itu mendengar kisah memilukan Sinchan dari para perawat. Beliau juga sering kali mendengar percakapan antara perawat atau dokter dengan Sinchan. Dan lagi, igauan dan teriakan histeris Sinchan memanggil kedua orang tuanya membuatnya merasa sangat terharu, sedih dan timbul perasaan tidak tega.
Ranjang keduanya dibatasi oleh dinding pemisah yang terbuat dari tripleks, sehingga antara Sinchan dan sang kakek tidak dapat bertatapan mata langsung.
Di awal perawatan, Sinchan lebih banyak menghabiskan waktu untuk melamun dan menangis saat memikirkan kedua orang tuanya yang telah tiada. Berdiam diri dan tidak mau diajak mengobrol oleh siapapun. Hatinya belum dapat menerima kenyataan pahit yang melanda hidupnya.
Setelah beberapa hari kemudian, berawal dari sapaan lembut sang kakek, akhirnya Sinchan mulai mau berbicara dan mengobrol dengan sang kakek, walaupun hanya mendengarkan suaranya tanpa pernah bisa melihat raut wajah sang kakek yang baik hati.
Sang kakek merasa senang mendapat "teman mengobrol" yang dapat menghilangkan kebosanannya selama ini. Beliau banyak menceritakan tentang kehidupannya yang bergelimpangan harta, hingga akhirnya harus hidup seorang diri setelah kematian puteranya. Menantunya, seorang wanita berhati iblis, dengan kepiawaiannya, berhasil menggerogoti hartanya dan mengusir sang kakek keluar dari "istana" milik keluarga yang telah dihuninya sejak masih kecil.
Untunglah, sang kakek masih sempat menyimpan sebagian harta, sejumlah uang tabungan hari tua dan sebuah rumah yang rencananya akan diberikan kepada cucunya. Semua ini luput dari penguasaan menantunya.
Cerita demi cerita yang disampaikan sang kakek, menimbulkan kesan yang berarti bagi Sinchan. Sekarang Sinchan merasa memiliki sahabat baru walau berbeda usia amat jauh. Mereka berdua sudah seperti pasangan kakek dan cucu kandung. Sinchan sudah percaya sepenuhnya kepada sang kakek. Hatinya sedikit terhibur mendengar beragam cerita ataupun dongeng menarik dari sang kakek.
Yang paling mengesalkan Sinchan selama ini adalah letak ranjangnya yang ditutupi oleh dinding tripleks yang tidak transparan. Ingin sekali Sinchan turun dari pembaringan dan duduk berdampingan dengan sang kakek. Namun hal ini tidak diperbolehkan oleh dokter dan perawat. Mereka takut pergerakan-pergerakan yang tiba-tiba dan tidak disadari akan memperparah luka Sinchan yang belum mengering.
Berdasarkan cerita sang kakek, ternyata ranjang beliau terletak tepat di samping sebuah jendela besar. Setiap pagi para perawat akan membuka pintu jendela, agar udara segar dan sinar mentari dapat masuk ke dalam ruangan kamar.
Suatu pagi, Sinchan bertanya kepada sang kakek : ""Kakekku yang baik hati... Saya sudah bosan tinggal di dalam ruangan ini..."
Sang kakek : "Bersabarlah cucuku... Saya tinggal lebih lama dari kamu, saya juga merasakan hal yang sama. Namun ketika kamu mau menjadi teman mengobrolku, maka hidupku tidak lagi menjadi bosan. Saya merasa senang Tuhan mengirimkan dirimu untuk menemaniku, ntah sampai kapan..."
Sinchan : "Jangan khawatir kek... Walaupun nanti saya sembuh terlebih dulu, saya pasti akan menjenguk kakek setiap hari... Saya bukan seperti yang dulu lagi, yang memiliki keluarga. Kedua orang tua dan adikku sudah tiada. Saat ini saya adalah anak sebatang kara..."
Sang kakek : "Kita ini memiliki nasib yang sama... Tapi yang paling penting adalah kita harus sembuh... Harus dapat menikmati dunia luar yang indah..."
Sinchan : "Saya tidak dapat melihat apa-apa... Hanya ada dinding dan gorden putih ini saja.... Memangnya di luar sana ada pemandangan apa, kek..?"
Sang kakek : "Saya melihat matahari sedang tersenyum kepada kita. Sinarnya begitu hangat untuk menyemangati hidup. Di samping kiri, terdapat sebuah taman bunga yang indah sekali dan banyak sekali kupu-kupu berwarna-warni beterbangan kesana kemari. Di sebelah kanan, terdapat air mancur yang mengalir di antara bebatuan dengan kolam berisi ikan hias. Kamu harus segera sembuh agar dapat menikmati keindahan pemandangan ini, Sinchan..."
Sinchan : "Iya kek... Saya ingin cepat-cepat sembuh... Kakek juga harus segera sembuh agar kita dapat bersama-sama berpegangan tangan menikmati semua anugerah keindahan Tuhan..."
Sinchan tersenyum gembira, membayangkan tubuhnya berada di dalam taman, merasakan hangatnya sinar matahari, berlari-lari mengejar kupu-kupu dan bermain-main dengan ikan yang hidup di kolam pancuran.
Setiap hari sang kakek, selalu menceritakan hal-hal menarik yang berada di luar jendela. Ada sekelompok burung berbulu indah sedang membuat sarang di sebuah pohon rindang, ada air mancur dan banyak ikan hias di dalamnya. Semuanya amat menarik minat Sinchan untuk dapat berada di taman bunga rumah sakit.
Sinchan ingin segera sembuh, ingin melihat langsung pemandangan di luar sana. Dia menuruti semua saran dokter dan perawat. Tidak pernah menolak suntikan yang menyakitkan tubuhnya maupun menolak meminum obat yang sangat pahit. Semua dilakukan dengan ikhlas supaya cepat pulih kembali.
Berkat ketelatenan dan tekad yang kuat untuk sembuh, akhirnya Sinchan sudah diperbolehkan pulang. Sedangkan sang kakek masih harus tinggal di rumah sakit.
Dengan penuh pengharapan, hari itu Sinchan begitu antusias turun dari pembaringan dengan dipapah oleh dua orang suster. Langkah pertamanya bukan mengarah ke pintu, melainkan ke ruang sebelah yang dihuni oleh sang kakek. Selama ini Sinchan sama sekali tidak pernah melihat paras wajah sang kakek, sehingga dia berniat untuk mengucapkan terima kasih kepada beliau.
Saat pertama kali bertatapan wajah, Sinchan langsung menutup mulutnya dengan kedua tangannya, seolah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ternyata kedua mata sang kakek sedang tertutup perban putih.
Sinchan memeluk sang kakek sambil bertanya : "Ada apa dengan mata kakek? Sejak kapan mata kakek ditutup perban?"
Sang Kakek : "Gak papa kok... Saya dirawat di sini karena menderita penyakit mata yang aneh, dan akhirnya harus membuatku menjadi seorang buta..."
Sinchan : "Apaaaa? Kakek butaaa...??? Kakek jangan bohong...!!!"
Sang Kakek : "Benar sekali..."
Pandangan Sinchan segera mengarah ke jendela besar di samping. Matanya menatap keluar. Yang ada cuma dinding bangunan berwarna putih. Tidak ada taman bunga maupun air mancur dan kolam ikan.
Sinchan : "Jadi selama ini cerita kakek mengenai pemandangan di luar jendela itu tidak benar ya? Kakek berbohong kepada saya?"
Sang Kakek : "Iya... Kakek sudah berbohong kepada kamu... Kamu marah kepada saya..?"
Sinchan : "Tidak... Tidak... Saya tidak marah kepada kakek... Saya hanya kasihan kepada kakek yang buta... Siapa yang akan merawat kakek kelak..."
Sang Kakek : "Bersediakah kamu merawat dan menemani kakek...?"
Sinchan : "Sekarang saya sudah sebatang kara. Tidak punya siapa-siapa lagi. Selama ini hanya kakek yang menjadi teman dan sahabatku. Dan juga, saya sudah berjanji untuk menjenguk kakek setiap hari... Saya tentunya ingin selalu menjaga kakek..."
Seketika sang kakek bangkit dari tidurnya. Dengan penuh rasa haru memeluk tubuh mungil Sinchan.
Sang Kakek : "Saya telah berbohong kepada kamu agar kamu memiliki motivasi untuk sembuh. Dapat pulih seperti sediakala serta dapat bermain dan bersekolah kembali..."
Sinchan menangis tersedu-sedu dalam pelukan sang kakek. Sinchan menangis bukan karena sedih dibohongi, melainkan menangis bahagia karena ternyata sang kakek begitu perhatian kepadanya walaupun dirinya tidak dapat melihat. Sinchan sangat berterima kasih kepada kakek yang memiliki rambut putih di sekujur kepalanya.
Besoknya sang kakek setelah permohonan meninggalkan rumah sakit dikabulkan oleh team dokter, akhirnya dapat kembali ke rumahnya. Tentunya bersama Sinchan, sang cucu barunya. Mereka dapat merengkuh kebahagiaan bersama walaupun sempat merasakan penderitaan hati setelah ditinggal oleh orang-orang yang mereka sayangi.
Sobatku yang budiman...
Begitu mulia pengorbanan yang ditunjukkan oleh sang kakek. Walaupun dirinya tidak sempurna dan masih menghadapi problematika hidup, namun beliau rela berkorban untuk membahagiakan hati seorang bocah yang baru dikenalnya. Berkat kearifan dan perhatiannya, sang kakek mampu memberi semangat kepada Sinchan untuk sembuh.
Tidak semua kebohongan itu selalu berakhir dengan keburukan. Sebagian orang terpaksa harus berkata bohong untuk menutupi suatu permasalahan agar tidak menjadi polemik perselisihan yang berkepanjangan.
Lihatlah, bagaimana orang tua kita, sejak kita masih kecil, selalu berkata bohong hanya untuk menyenangkan diri kita. Berpura-pura sudah kenyang, berpura-pura tidak sakit atau berpura-pura tidak lelah.
Untuk itu, janganlah selalu berburuk sangka atas kebohongan yang dilakukan oleh orang lain kepada diri kita. Ambillah hikmah pelajaran dibalik setiap kebohongan yang ada.
Sesungguhnya kebohongan itu bukanlah anjuran yang baik untuk kehidupan kita, namun jika sebuah kebohongan tercipta untuk sebuah kebaikan, maka kita tidak boleh menghujatnya sebagai suatu kesalahan. Salam kebajikan #firmanbossini
Tidak ada komentar:
Write komentar