KEBAJIKAN (De 德) - Kurangi menggendong anak dalam ribaan, biarkan dia merangkak dengan bebas di lantai, orangtua tidak seharusnya menjadi dewa pelindungnya. Ketika anak jatuh karena kurang berhati-hati, jangan lantas memapahnya, tetapi biarkan dia berdiri sendiri. Dari hal-hal kecil semacam ini, seorang anak akan belajar untuk bisa menjadi mandiri. Dia akan mengerti, bahwa dia tidak dapat selamanya mengandalkan orangtua, harus mengandalkan diri sendiri.
Pada 1801, Ayah Johann Heinrich Karl Witte (53) menggunakan cara ini untuk mendidik seorang anak tunagrahita menjadi seorang anak yang super. Dalam usia 8 tahun sudah trampil menggunakan enam bahasa: Jerman, Perancis, Italia, Inggris dan Yunani, serta sangat memahami botani, zoologi, fisika dan kimia.
Pada usia 10 tahun ia diterima kuliah di Universitat Gottingen, pada umur 14 tahun mendapatkan gelar Doktor dalam bidang filsafat, pada usia 16 tahun menerima gelar Doktor dalam bidang hukum, dan direkrut menjadi Guru Besar dalam bidang Hukum di Universitas Berlin. Pada usia 23 tahun ia menerbitkan buku "Salah Tafsir Dante", menjadi pakar periset Dante Alighieri.
Anak tersebut adalah Karl Witte, seorang ahli matematika Jerman yang sangat berbakat. Karena moto ayahnya dalam mendidik "Bila menyayanginya, jangan menggendongnya", hal ini jadi mengingatkan saya akan sejumlah orangtua masa kini yang berperilaku kurang pada tempatnya saat mendidik anak.
Menurut berita, ada seorang anak lelaki Beijing yang kuliah di Shanghai, ibu anak tersebut minta tolong temannya di Shanghai untuk menyewa kamar yang dapat ditempati berdua di dekat universitas yang bersangkutan. Ibunya berkata, "Saya akan mendampinginya kuliah. Karena khawatir sang anak yang belum pernah bepergian sendiri, kurang suka bergaul dan tidak bisa mengurus diri sendiri."
Di Yulin, Guangxi (Wilayah Otonomi Guangxi Zhuang), Tiongkok, terdapat seorang bapak bermarga He, ketika mengetahui sang putri yang kuliah di Universitas Nanning tidak lulus ujian semester untuk lima mata kuliah, ia lalu rela meninggalkan warung mie tempat mencari nafkah bagi keluarganya dan pergi mendampingi sang putri di Nanning.
Di Chengdu, Provinsi Sichuan, di dekat dua buah sekolah menengah terdapat sebuah jalanan yang padat dengan perumahan yang ditempati oleh para "pendamping sekolah". Di sekitar Universitas Beijing terdapat banyak rumah persewaan yang ditinggali oleh para orangtua mahasiswa dari luar daerah. "Rasa khwawatir yang berlebihan" ataupun "tidak mampu melepas" merupakan cara menyatakan "kasih sayang" yang khas dari banyak orangtua di Tiongkok.
Memang benar, sekarang ini taraf hidup materi telah meningkat, lagi pula kebanyakan adalah anak tunggal, sebagai orangtua siapakah yang tidak menyayangi anak sendiri, yang tidak berharap anak memiliki masa depan yang baik, "menjadi orang sukses".
Sebab itu para orangtua bersedia melayani sang anak dengan mencurahkan segenap waktu, uang, kasih, tenaga, kemampuan pada seluruh perjalanan hidupnya. Terlebih lagi daya juang hidup anak sekarang lemah, lingkungan masyarakat juga lebih kompleks, barulah para orangtua memulai perilaku baru "istimewa yang sesuai kebutuhan zaman". Benar-benar dapat dianggap mengorbankan kebahagiaan diri sendiri, untuk masa depan anak.
Di balik "keistimewaan" perilaku baru ini mengandung rasa cemas yang tersembunyi. Baik mendampingi kuliah maupun mengerjakan baginya, dapat dilakukan sementara namun tidak dapat dilakukan selama satu generasi.
Masa kanak-kanak merupakan masa keemasan untuk belajar mendapatkan kemajuan karakter pribadi. Bukan saja memelajari ilmu pengetahuan namun juga belajar untuk memeroleh kemampuan hidup, kepribadian yang normal dapat menjadi sehat sempurna pada tahap ini.
Jiwa kekanak-kanakan akan menjadi semakin matang, bahkan membentuk pandangan dasar terhadap masyarakat dan mengenali diri sendiri secara mendasar serta memeroleh pola pengendalian terhadap perilaku diri sendiri. Dengan demikian baru dapat tumbuh menjadi sosok pilar yang kokoh dan rindang.
Saat ini, kesempatan baik yang harus dimilikinya telah dirampas secara kejam, bukan saja dapat menumbuhkan kebiasaan bersantai dan tidak mau repot, bahkan dapat memupuk keegoisan, dapat mengurangi rasa belas kasih maupun rasa sayang pada orangtua.
Paling tidak, anak yang tumbuh pada lingkungan sedemikian akan kekurangan "ketegaran" dalam hidup, "keteguhan" watak, "kegigihan" dalam pekerjaan, bahkan dapat menumbuhkan kondisi psikis tidak sehat "takut bersosialisasi", akhirnya akan memengaruhi pembentukan karakter mereka. "Kasih sayang" yang dapat berakibat buruk ini apakah tidak perlu ditinjau ulang secara mendalam?
Anak yang sudah mempunyai pemikiran sendiri, kekangan yang berlebihan oleh orangtua terkadang justru akan mengakibatkan "air susu terbalas dengan air tuba", menimbulkan antipati sang anak.
Seperti yang pernah dikatakan oleh seorang anak lelaki di Beijing, "Alasan mendaftar ke universitas luar kota adalah ingin melepaskan diri dari kekangan dan perlindungan orangtua, menempuh kehidupan universitas yang bebas. Tak disangka Ibu malah memaksa untuk mendampingi kuliah, bahkan ingin beli rumah di seputar tempat sekolah, kalau dikenang sungguh mengerikan!"
"Saya sangat ingin dapat kembali berkumpul di antara teman-teman sekolah, hidup berkelompok bersama mereka, makan dan tinggal bersama mereka. Namun saya tidak berani meminta pada orangtua untuk kembali ke asrama, bagaimanapun juga mereka telah terlalu banyak berkorban bagiku."
Seorang mahasiswa yang telah didampingi kuliah oleh orangtuanya selama tiga tahun mengatakan, "Teguran dan perlindungan dari ibu selalu membuatku menderita. Saya mengetahui ibu sangat menyayangiku, bahkan untuk itu telah meninggalkan pekerjaan, namun kurasakan kasih sayangnya terlalu berat."
Perilaku diktator orangtua yang tidak demokratis, telah mengabaikan perasaan sang anak, telah menginjak-injak relung hati sang anak, hal ini tentu saja merupakan pemasungan batin yang berat bagi seorang anak yang sedang berkembang, merantai jiwa raganya, merusak semai hatinya, hal mana bukanlah seperti perilaku di abad-21 melainkan seperti kembali pada zaman feodal yang kelam tanpa pengetahuan dan penuh egois.
Mungkin ada orangtua yang mengatakan bahwa kemampuan anak mengurus diri terlalu lemah, memang benar, sebab itu perlu keputusan bulat untuk melepasnya terbang, dengan berani melatihnya dan siap mendukungnya pada saat diperlukan, dengan metode yang tepat memupuk kemampuan anak untuk hidup mandiri dan kemampuan mengendalikan perilaku diri sendiri, bukan malah diperparah dengan mendampinginya kuliah atau menyayanginya secara membuta.
Hasil riset masa kini menunjukkan, kemampuan seseorang lebih banyak diperoleh dari belajar dalam masyarakat, sebab itu "anak yang diasuh srigala" menjadi seorang yang berintelegensi rendah dan terlepas dari hubungan akrab dengan lingkungan masyarakat.
Ada sebuah kasus, karena melahirkan seorang "anak haram", ibunya takut pada tekanan masyarakat sehingga dibesarkan dalam kamar loteng dan terisolasi dari masyarakat. Pada usia 5 tahun, ketika dia mulai menghadapi masyarakat, orang-orang menemukan bahwa intelegensinya jauh berada di bawah taraf yang seharusnya.
Tidak tega membiarkan anak mandiri atau mengalami sendiri kegagalan, hanya dapat membuat kemampuan hidup mereka semakin melemah, akhirnya malah mungkin akan menjadi orang-orang yang tersisihkan dari masyarakat.
Kembali pada konsep pendidikan ayah Karl Witte, ia mengatakan, "Terlalu banyak mengerjakan hal-hal bagi anak, membuat anak kehilangan kesempatan mempraktekkan dan berlatih. Bukan saja begitu, yang lebih parah lagi bila mengerjakan hal-hal untuk anak secara berlebihan, sesungguhnya berarti mengatakan pada anak: dia tidak dapat mengerjakan apa pun, ia adalah anak yang bodoh, ia harus mengandalkan orangtua, kalau tidak demikian tidak akan dapat hidup.
Anak yang dibesarkan dalam lingkungan demikian ketika dilepas dalam masyarakat akan sulit menyesuaikan diri, ke mana-mana selalu mencari bantuan, namun di luar rumah tidak dapat ia temukan pelayanan seperti yang diberikan orangtua kepadanya, lebih-lebih kalau ia diminta memiliki kesadaran mandiri, hal-hal ini sesungguhnya adalah mencelakai mereka."
Bila kita mau mengingat kembali apa yang telah dilakukan Karl Witte senior, lalu melihat kembali pada diri kita sendiri, tentu kita sudah dapat membuat pilihan yang bijaksana!
Saya juga mempunyai seorang ayah yang sangat disiplin dalam mendidik anak, saat kecil adik saya selalu mengeluhkan sikap ayah yang terlalu otoriter, tetapi saya berusaha mengingatkan dirinya bahwa ayah bersikap demikian karena ia sangat menyayangi kita, peduli pada kita dan untuk kebaikan kita kelak.
Setiap orangtua tentu sangat mencintai anaknya, tetapi bila orangtua kurang berhati-hati dan bersikap terlalu melindungi maka tanpa ia sadari ia telah menjerumuskan anaknya menjadi manusia yang memiliki sifat ketergantungan yang tinggi, tidak bisa mandiri dan tidak punya percaya diri.
Mencintai anak bukan harus selalu menggendongnya, takut ia terjatuh. Kalau senantiasa menggendongnya, lalu kapan anak bisa belajar berjalan? Bila sampai tidak bisa berjalan bukankah akan menyengsarakan kehidupan anak dan diri kita sendiri? Salam kebajikan (theepochtimes)
Tidak ada komentar:
Write komentar