KEBAJIKAN (De 德) - Seorang wanita yang akan segera menikah mengeluh kepada saya, ia mengatakan bahwa meskipun ia dan kekasihnya saling mencintai, namun acap kali mereka tidak bisa sehati.
Hanya sedikit masalah sepele, mereka sering sekali bertengkar. Misalnya, janji yang telah disepakati bersama diubah karena mendadak ada hal lain, akan memicu masalah. Karena itu, ia mengeluh, “Jarak sehati kami masih sangat jauh.”
Saling mencintai, apakah pasti akan sehati? Berharap dapat menjalani dengan saling mencintai dan sehati bersama pasangan hidup, semua ini hampir merupakan harapan dari setiap pasangan suami-istri sebelum dan sesudah menikah.
Namun pada kenyataannya, baik itu sebelum atau sesudah menikah, meskipun mereka saling mencintai, suatu ketika bentrokan pasti akan datang. Bila kita mendapati ketika orang lain tidak dapat bersama kita secara bersamaan, maka kita merasakan penyesalan yang tidak sehati itu.
Suatu ketika, saya menumpang mobil sebuah keluarga mengikuti sebuah acara reuni, tuan rumah keluarga itu yang mengendarai mobil. Saat istirahat dalam perjalanan, setelah nyonya rumah sendiri membawa anaknya ke toilet, lalu berkata pada suaminya, “Hei, sudah boleh berangkat.”
Sang suami tidak menyahut. Nyonya rumah itu, oleh karena dirinya tidak bisa mengendarai mobil, maka sama sekali tidak memahami rasa lelah mengendarai mobil dalam perjalanan jarak jauh. Mengira bahwa istirahat hanya untuk ke toilet saja.
Tidak terpikir dalam benaknya bahwa ke toilet adalah salah satu sebab, dan masih ada satu sebab lagi yang juga sangat penting, yakni agar sang sopir dapat istirahat. Maka saya melihat nyonya tidak mendapat respons suami.
Lalu secara diam-diam menasihati nyonya rumah itu, “Ia adalah sopir. Ia lebih tahu, kapan waktu istirahat itu baru cukup baginya. Lebih baik kita jangan mendesaknya. Sang nyonya rumah segera paham, Oh, ya! Betul! Betul!”
Saya bisa membayangkan sebelumnya nyonya rumah itu selalu begitu mendesak suami untuk menyanggupi kemauannya. Dan saya juga percaya di kemudian hari nyonya rumah itu tidak akan begitu lagi. Ia sudah memahami bagaimana agar dirinya sejalan dengan suaminya.
Saat baru saja saya menuju ke tempat kerja, pernah menemani sepasang suami-istri terkenal. Waktu itu, atasan saya menyuruh saya mengantar mereka pergi melihat-lihat sebuah lokasi wisata.
Ketika memasuki sebuah toko permata. Sang nyonya lama berada di dalam dan lupa pulang. Saya melihat sang suami menemukan sebuat tempat yang tidak begitu ramai, dan berdiri di sana.
Karena saya khawatir dia merasa kesepian. Lalu bertanya padanya, “Apakah Anda sudah ingin pergi? Apakah perlu saya bantu untuk memanggil nyonya Anda?”
Jawaban yang didapat adalah, “Jangan! Jangan! Jangan mendesaknya.”
Satu sisi yang jelas adalah dia tidak tertarik pada batu permata, namun segala-galanya selalu berpikir untuk orang lain. Menaruh perhatian pada keinginan istrinya.
Pemandangan yang mengharukan ini benar-benar menggugah saya yang waktu itu juga sedang pacaran. Ketika suami itu menaruh perhatian pada kegemaran sang istri, ia sedang berusaha memelihara hubungan dengan sang istri.
Lalu, dari manakah landasan suami-istri sehati itu? Menurut pengalaman saya adalah melalui perhatian dan pengertian untuk pihak lain (pasangan kita) dalam segala hal, dan menaruh perhatian untuk keperluannya. Salam kebajikan
Tidak ada komentar:
Write komentar