KEBAJIKAN ( De 德 ) - Salah satu ritual yang digelar dalam rangkaian perayaan Imlek yang berlangsung selama 15 hari adalah Sembahyang King Thi Kong, pada hari ke sembilan lunar Tionghoa yang disebut juga sebagai Tahun Barunya Orang Hok kian, yang tahun ini jatuh pada tanggal 16 Februari 2016.
Seperti kita ketahui istilah Shang Di (上帝) atau Tuhan Yang Maha Esa di kalangan penganut agama Tionghoa (善男信女) Buddha, Taoisme, dan Khong Hu Cu disebut Thian (天) Tian, yang kemudian secara lebih akrab disebut Tian Gong (天公) {Dalam Hok Kian =Thi Kong}.
Sebenarnya Tuhan itu sendiri tak dapat dijangkau oleh daya pikir /
nalar umat manusia yang terbatas, juga tidak dapat dijelaskan melalui
ucapan dan tulisan yang amat sangat terbatas, namun melalui
penciptaan-Nya kita mempercayai adanya SATU TUHAN, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Percaya dan hormat kepada Tuhan Yang Maha Esa telah ada sejak 5.000-an tahun yang lalu pada zaman 五帝 Wu Di (Ngo Tee = 5 Kaisar Kuno, tahun 2952 – 2205 SM).
Asal Mula King Thi Kong
Tidak jelas kapan masyarakat propinsi Hok Kian dan Taiwan memulai King Thi Kong ini. Sebuah sumber mengatakan bahwa King Thi Kong baru mulai diadakan pada masa awal Dinasti Qing [1644 - 1911]. Seperti diketahui bahwa Hok Kian merupakan basis terakhir perlawanan sisa-sisa pasukan yang masih setia kepada Dinasti Ming [1368 – 1644].
Pada waktu pasukan Qing (Man Zhu) memasuki Hok Kian, mereka berhadapan dengan perlawanan gigih dari rakyat setempat dan sisa-sisa pasukan Ming. Setelah perlawanan ditaklukkan dengan penuh kekejaman, akhirnya seluruh propinsi Hok Kian dapat dikuasai oleh pihak Qing.
Tradisi
Sembahyang King Thi
Kong (敬天公) ini turun temurun hingga
sekarang, itulah sebabnya setiap tahunnya pada tanggal 9 bulan 1 Imlek,
orang Tionghoa
terutama orang Hok Kian,
melakukan upacara sembahyang King Thi
Kong (敬天公) yang dalam Bahasa Mandarin dilafalkan Jìng Tiān Gōng berarti
sembahyang kepada Tuhan yang disebut juga perayaan Tahun Baru orang
Hokkian.
Tidak jelas kapan masyarakat propinsi Hok Kian dan Taiwan memulai King Thi Kong ini. Sebuah sumber mengatakan bahwa King Thi Kong baru mulai diadakan pada masa awal Dinasti Qing [1644 - 1911]. Seperti diketahui bahwa Hok Kian merupakan basis terakhir perlawanan sisa-sisa pasukan yang masih setia kepada Dinasti Ming [1368 – 1644].
Pada waktu pasukan Qing (Man Zhu) memasuki Hok Kian, mereka berhadapan dengan perlawanan gigih dari rakyat setempat dan sisa-sisa pasukan Ming. Setelah perlawanan ditaklukkan dengan penuh kekejaman, akhirnya seluruh propinsi Hok Kian dapat dikuasai oleh pihak Qing.
Selama terjadinya peperangan dan kekacauan ini, banyak rakyat yang bersembunyi di dalam perkebunan tebu yang banyak tumbuh di sana. Di dalam rumpun tebu itulah mereka melewati malam dan hari Tahun Baru Imlek. Setelah keadaan aman, pada Cia Gwe Cwe Kaw (Tanggal 9 bulan 1 Imlek) pagi mereka berbondong-bondong keluar dan kembali ke rumah masing-masing.
Untuk menyatakan rasa syukur karena terhindar dari bencana maut akibat perang, mereka lalu mengadakan upacara sembahyang King Thi Kong pada tanggal 9 bulan 1 Imlek ini sebagai ucapan rasa terima kasih kepada Thi Kong atas lindungan-Nya. Oleh karena ini, maka sebagian besar orang Hok Kian mengatakan bahwa Cia Gwe Cwe Kaw adalah Tahun Baru-nya orang Hok Kian, sedikitpun tidak salah.
Upacara sembahyang King Thi Kong
ini telah meluas dan bisa dilakukan mulai dari kalangan atas sampai ke
golongan masyarakat yang paling bawah atau orang-orang miskin sekalipun, seperti petani, pedagang dan
lain-lain. Wilayah Tiongkok yang menyelenggarakan upacara ini adalah propinsi Fujian
dan Taiwan. Upacara ini juga diadakan di tempat-tempat lain yang didiami
oleh komunitas yang leluhurnya berasal dari kedua propinsi tersebut.
Di Propinsi Fu Jian (福建) Hok Kian dan Taiwan (臺灣) muncul istilah yang
sangat populer, yaitu Chu Jiu Tian Gong Sheng (初九天公聖), yang berarti bahwa
pada Cia Gwe Cwe Kaw (Tanggal 9 bulan pertama Imlek) adalah Hari Ulang
Tahun Thi Kong. Upacara King Ti Kong ini di Indonesia disebut juga dengan istilah Sembahyang Tebu.
Sehingga
masyarakat di propinsi Hok Kian dan Taiwan
mengadakan sembahyang khusus untuk menghormati Thi Kong (Tuhan).
Upacara King Thi Kong ini juga telah menyebar di negara-negara Asia
Tenggara termasuk Indonesia. Saat ini yang sembahyang King Thi Kong,
bukan hanya orang Hok Kian saja, tapi sudah menyebar dengan suku
Tionghoa lainnya seperti Tio Ciu, Kong Hu, Hakka dll.
Persiapan Upacara King Thi Kong
Upacara King Thi Kong dapat diselenggarakan secara sederhana atau lengkap, yang terpenting adalah ketulusan dan kesuciannya, bukan kemewahannya. Sembahyang King Thi Kong ini biasanya dilakukan pada Cia Gwe Ce Pek (Tanggal 8 bulan 1 imlek) tengah malam pukul 12 yang berarti sudah masuk Cia Gwee Ce Kaw (Tanggal 9 bulan 1 imlek).
Yang
melaksanakan ritual King Thi Kong adalah orang yang sudah berpantang
makanan berjiwa atau vegetarian sejak hari ke 4 bulan 1 sampai dengan
hari ke 9 bulan 1. Pantang makan daging merupakan syarat, karena dahulu para warga yang
bersembunyi ke kebun tebu itu sama sekali tidak mengkomsumsi daging.
Dalam ritual ini, segala perlengkapan harus khusus
atau tidak pernah dipergunakan untuk keperluan lainnya, bersih lahir dan
batin. Pagi hari di hari ke 9, upacara dimulai oleh anggota keluarga
tertua (kakek) atau kepala keluarga (suami, ayah).
Upacara King Ti Kong
dipandang terpenting dalam rangkaian upacara Sincia karena merupakan
kunci dan penentu semua langkah kehidupan bagi seluruh anggota keluarga
di tahun yang akan dijalani.
Bagi yang kurang mampu, cukup menempatkan sebuah Hiolo (tempat menancapkan
dupa) kecil yang digantungkan di depan pintu rumahnya dan menyalakan hio
(dupa) dari pagi sampai tengah malam secara terus menerus. Bagi orang
berada, acara sembahyang ini merupakan hal yang paling megah dan
khidmat.
Hal-hal yang dapat mengingatkan orang Tionghoa kepada pengalaman
leluhurnya waktu itu, biasanya diikut sertakan dalam tata-cara
sembahyang King Thi Kong, misalnya :
- Sebuah Meja sembahyang King Thi Kong dengan
taplak meja warna merah. Meja altar biasanya diletakkan di atas dua atau empat bangku kecil.
Hal
ini
disebabkan sewaktu pertama kali mengadakan sembahyang King Thi Kong
sebagai rasa syukur, leluhur mereka tidak memiliki meja khusus dan
leluhur juga mempercayai bahwa pemujaan kepada Thi Kong (Tuhan) harus
di atas pemujaan biasa (melakukan penghormatan di atas kepala). Itulah
sebabnya maka
meja yang biasa (pendek) diberi ganjal bangku supaya menjadi lebih
tinggi.
-
Sepasang tebu yang diikatkan di sebelah kanan dan kiri sisi meja,
biasanya diikatkan sebatang tebu yang
masih utuh (ada akar sampai ujung daunnya). Ada juga sebagian yang
memotong tebu menjadi 9 bagian untuk disajikan dalam sembahyang syukur
ini.
Hal ini untuk mengingatkan
saat leluhur dikejar-kejar pasukan Manchuria dan bersembunyi di
kebun tebu. Selain itu, tebu yang masih utuh juga melambangkan hidup
manusia, bahwa kesuksesan seseorang harus dibangun dengan akar yang kuat
(akar tebu), melalui berbagai rintangan dan pengalaman hidup (ruas
tebu) sampai tercapainya kesuksesan (daun tebu yang menjulang tinggi).
- Lilin merah besar sepasang
(2 batang) dipasang di depan altar meja sebelah kiri dan kanan.
- Tiga buah Shen Wei (神位
) atau Tempat Dewa yang terbuat dari kertas warna-warni yang saling
dilekatkan.
- Tiga buah cawan kecil
yang berisi teh di depan Shen Wei dijajarkan.
- Tiga buah mangkuk yang berisi misoa yang diikat
dengan kertas merah.
- Wajik biasanya disajikan dalam bentuk gunungan seperti tumpeng, yang bermakna agar keberuntungannya menggunung, dan melambangkan hok lok siu (fu lu shou).
- Kue mangkok (Huat kueh) yang bentuknya selalu merekah
pada bagian atasnya, bermakna agar hidupnya berkembang dan melambangkan kemakmuran atau hok lok siu (fu lu shou).
- Kue keranjang (Nian Gao / 年糕), yang bermakna agar kehidupan selalu manis dan
melambangkan kesejahteraan dan keberuntungan untuk tahun-tahun berikutnya.
melambangkan kesejahteraan dan keberuntungan untuk tahun-tahun berikutnya.
- Kue Khu, yang
cetakannya berbentuk kura-kura, yang bermakna agar hidupnya panjang usia
seperti kura-kura dan melambangkan hok lok siu (fu lu shou).
- Lima jenis Buah-buahan dan enam macam masakan vegetarian yang disebut Wu Guo Liu Cai (五果六菜) atau Go Ko
Lak Chai dalam bahasa Hok Kian, diatur di bagian depan altar meja. Ini menjadi dasar utama
dalam penataan barang sajian upacara sembahyang orang Tionghoa.
- Masakan dari tiga macam
hewan (Sam Sing / San Xing) atau lima macam hewan (Ngo Sing / Wu Xing),
dimana sajian Sam Sing atau Ngo Sing itu sebenarnya ditujukan untuk para
malaikat pengawal Thian Kong / Tuhan.
- Kim cua dan Ti Kong Kim (kertas sembahyang) biasanya dilipat dan ditumpuk secara bertingkat keatas.
Cara Sembahyang King Thi Kong
- Sebelum dimulai upacara sembahyang (Cia Gwe Cwe Pe = Tanggal 8 bulan 1 Imlek), seluruh penghuni rumah melakukan mandi keramas dan ganti baju.
- Sembahyang dilakukan tepat pukul 12 tengah malam ( Cia Gwe Ce Kaw), dimulai
dengan anggota keluarga yang paling tua dalam urutan generasinya.
- Semua orang
melakukan San Gui Jiu Kou (三跪九叩) atau Sam Kwi Kiu Kho dalam bahasa Hok Kian yaitu 3 kali
berlutut dan 9 kali menyentuhkan kepala ke tanah.
- Setelah selesai baru
kemudian kertas emas (kertas sembahyang ) yang dibuat khusus itu lalu dibakar bersama dengan Shen
Wei yang terbuat dari kertas warna-warni.
- Setelah kertas sembahyang ini dibakar, maka anggota keluarga kemudian mengambil
sepasang batang tebu dari altar (Umumnya cuma dipotong bagian atas pucuk tebu saja) dan
melemparkannya ke dalam api.
- Petasan dinyalakan untuk mengantar kepergian para malaikat pengiring, yang melambangkan atau menandai awal dari hari kesembilan serta kelangsungan hidup orang-orang Hokkian.
Selain upacara King Thi Kong, pada tanggal 9 bulan 1 Imlek ini bertepatan pula dengan Hari Kelahiran Maha Dewa, Yu Huang Shang Di (玉皇上帝) dalam bahasa Hok Kian = Giok Hong Siong Tee = Maha Dewa Kumala Raja}, yaitu Dewata Tertinggi yang melaksanakan pemerintahan alam semesta dan dibantu oleh para dewata lain.
Karena 2 hal yang bertepatan inilah maka orang Tionghoa seing menganggap Giok Hong Siong Tee sebagai penitisan dari 天 Tian (Tuhan YME). Disini jelaslah bahwa orang Tionghoa mempercayai adanya Tuhan sebagai penguasa tertinggi di jagat raya ini.
Hanya saja konsepsi ke-Tuhanan ini berbeda dengan agama-agama lain, sebab bagi orang Tionghoa, Tuhan memiliki pembantu-pembantu yang terdiri dari berbagai dewa yang mempunyai jabatan dan wilayah tertentu, serta berkewajiban melakukan pengawasan terhadap perbuatan manusia dalam lingkungan kekuasaan dan wilayah masing-masing. Salam kebajikan
Tidak ada komentar:
Write komentar