KEBAJIKAN ( De 德 ) - Pada suatu hari Minggu, ibunda tercinta berkunjung ke rumah. Beliau mengajak saya pergi berbelanja, membeli baju kebaya yang akan digunakan untuk menghadiri pesta pernikahan salah seorang sahabatnya.
Sejujurnya, saya sedang kurang enak badan, namun saya juga tidak tega membiarkan beliau pergi sendiri mencari baju kebaya. Setelah mengkonsumsi sebuah tablet pereda deman, akhirnya saya mengajak isteriku, menemani kami berbelanja.
Sebelumnya, ibu sangat ngotot pergi ke pasar tradisional. Alasan utamanya karena harganya lebih terjangkau. Mungkin beliau tidak ingin menambah pengeluaran keluarga kami dengan sesuatu yang berharga mahal.
Isteri saya menganjurkan kepada saya untuk membawa beliau ke butik saja, selain lebih nyaman dan tidak perlu berdesak-desakan dengan pengunjung lain, di butik juga tersedia ruang ganti yang cukup saat ingin mencoba pakaian yang akan dibeli.
Kami mengunjungi beberapa butik yang menyediakan pakaian wanita. Ibu memilih dengan seksama tanpa pernah lupa melihat harga yang tertera.
Melihat keraguan ibu, lantas saya berujar : "Bu, pilih saja yang sesuai dengan ibu. Jangan pikirkan harganya. Yang penting cocok dan enak dipakai..."
Sambil berbisik, ibu berkata : "Harganya mahal-mahal... Tidak seperti di pasar tradisional. Atau kita pergi ke sana aja...?"
Saya menolak permintaan ibu dengan halus dan menyarankan beliau untuk mencoba beberapa baju kebaya yang menurutnya pas di badan.
Sehelai demi sehelai kebaya dipilih dan diposisikan di depan badan beliau, namun belum ada yang sesuai dengan selera beliau. Pakaian yang sudah dipilih, kemudian dirapikan dan dikembalikan ke tempat semula.
Saya : "Bu, bajunya tidak usah dirapikan, nanti pegawai di sini akan merapikannya. Ini sudah tugas mereka..."
Ibu : "Kamu tidak boleh berpikir seperti itu. Mereka juga pasti akan merasakan capek jika semua pengunjung mengambil pakaian dan meletakkan secara sembarangan. Lagipula, ini bukan pekerjaan yang susah...."
Saya terdiam mendengar kalimat bijak ibu. Memang ada benarnya apa yang dikatakan beliau. Mata saya melihat ke sekeliling ruangan, ternyata banyak pengunjung yang berperilaku "serampangan", dengan mengacak-acak tumpukan baju dan membiarkannya berserakan, bahkan ada yang jatuh ke lantai dan dibiarkan olehnya.
Seiring dengan berlalunya waktu, saya mulai merasa penat, namun yang membuat saya lebih penat tatkala melihat raut kekecewaan ibu yang belum kunjung mendapatkan baju kebaya yang sesuai.
Akhirnya, pada butik terakhir yang kami kunjungi, mata ibu tertuju ke sebuah baju kebaya berwarna kuning, cantik dan sangat elegan. Dalam hati saya bermohon, semoga baju kebaya ini cocok dengan tubuh beliau.
Ibu mengambil baju kebaya itu, lantas mengarahkan langkahnya ke ruang ganti. Sepuluh menit telah berlalu, namun ibu belum kunjung keluar dari ruangan sempit itu.
Isteriku : "Coba saya menjumpai ibu, mana ada tahu beliau mengalami kesulitan di dalam..."
Saya mengangguk...
Cukup lama, isteri saya juga berada di dalam fitting room. Akhirnya mereka berdua keluar. Ibu menoleh kepadaku. Saya menggangguk dan mengatakan bajunya cantik sekali. Cocok banget dengan tubuh ibu.
Namun yang mengherankan diriku, mata isteriku sedikit sembab dan ada setitik air mata menetes dari pelupuk matanya. Saya terkejut, tercengang dan hati saya berdebar dengan kencang.
Dalam hati saya bertanya-tanya : "Mengapa isteriku menangis? Apakah karena dimarahi oleh ibu? Saya tahu selama ini, hubungan isteriku dan ibu sangat baik, tidak pernah terjadi konfrontasi, karena isteriku lebih banyak mengalah jika ibu mulai cerewet."
Saya menggenggam tangan isteriku dan merangkul pundaknya, berusaha menenangkannya.
Saya bertanya dengan suara lirih : "Ada apa sayang? Ibu memarahi dirimu...?"
Isteriku menggeleng-gelengkan kepala dan memberi isyarat tangan agar saya menyusul ibu masuk ke ruang ganti pakaian.
Di dalam ruang ganti, saya melihat bagaimana ibu mencoba melepaskan pakaian kebaya tersebut. Dengan bersusah payah, ibu berusaha melepaskan satu persatu pengait. Saya merasa ibu sedang mengalami kesulitan. Saat saya menawarkan bantuan, ibu segera menepis tanganku.
Ternyata tangan beliau sudah mulai "disusupi" oleh penyakit radang sendi yang menyebabkan pergerakan tangannya menjadi kaku. Tidak bebas dan sedikit gemetaran. Saya merasa sangat kasihan kepada beliau.
Tidak terasa hatiku mulai menangis, melihat kegigihan tangan ibu melepaskan baju, tangan yang dulu begitu kekar, sanggup menggendongku kesana kemari hingga berjam-jam.
Saya berbalik pergi keluar sejenak dan mencoba menyembunyikan air mata yang keluar tanpa saya sadari. Di depan pintu, isteriku melihat wajahku, lalu mendekap tubuhku dengan erat.
Saya baru menyadari mengapa tadi isteriku menangis, bukan karena dimarahi atau merasa kesal, namun hatinya tersentuh melihat perilaku ibuku, seorang wanita berusia lanjut yang tidak menyadari sepenuhnya bahwa usia uzur telah menghambat kelancaran aktivitas kesehariannya.
Setelah mendapatkan ketenangan lagi, saya masuk ke dalam fitting room untuk membantu ibu mengenakan pakaiannya kembali.
Sepanjang perjalanan pulang, saya dan isteriku duduk diam dalam lamunan masing-masing. Sesekali saya menjawab pertanyaan ibu dengan singkat, ntah ngelantur atau tidak. Seakan-akan rohku tidak bersamaku saat ini, melainkan sedang berkelana ke masa silam, membayangkan saat-saat beliau mendekapku dengan erat ketika seorang badut bermuka jelek melintas di hadapan kami.
Saat tiba di rumah, ibu turun dari mobil dengan perlahan. Langkahnya sedikit tertatih-tatih. Saya bersama isteriku menggandeng tangan beliau hingga masuk ke dalam rumah.
Hari ini saya merasa bahagia, karena ibu berhasil mendapatkan baju kebaya kesukaannya. Namun, sepanjang sisa hari ini, pikiran kami berdua selalu terbayang akan kesulitan yang dialami ibu saat berada di dalam fitting room. Begitu kuat ingatan itu menari-nari dalam pikiran, saat tangan lemah ibu sedang berusaha melepaskan dan mengenakan pakaiannya seorang diri.
Kedua tangan yang penuh kasih sayang, yang pernah menyuapiku dengan sabar, membasuh tubuhku yang kotor, memakaikan baju, membelai serta memeluk diriku, melindungiku dari ketakutan dan terlebih dari semuanya, senantiasa berdoa untukku sepanjang hidupnya. Sekarang tangan itu tidak sekokoh tangan yang dulu lagi.
Berawal dari peristiwa di fitting room, tangan "rapuh" beliau telah menyentuh hati kami yang terdalam. Peristiwa ini sungguh membuatku semakin yakin, bahwa tiada yang lebih mulia di dunia ini selain belaian tangan penuh kasih dari kedua orang tua.
Saya sangat bersyukur bahwa Tuhan membuka mata saya sejelas-jelasnya betapa bernilai dan berharganya kasih sayang serta pengorbanan seorang ibu.
Dunia ini begitu indah, namun tidak ada yang mampu menandingi keindahan tangan seorang ibu. Sinar mentari begitu hangat, namun tidak akan mampu menandingi kehangatan tangan seorang ibu. Salam kebajikan #firmanbossini
Tidak ada komentar:
Write komentar