KEBAJIKAN ( De 德 ) - Beberapa tahun silam, saya diajak pergi ke sebuah mall oleh seorang teman lama, namanya Aan. Kami pergi bersama dengan isteri dan anaknya yang masih balita. Sepanjang perjalanan, anak mereka terlihat rewel dan menangis.
Saya mendengar Aan selalu mengingatkan isterinya untuk segera menenangkan putera semata wayang mereka, dengan nada tinggi. Saya sedikit terkejut melihat perangainya yang tidak biasa. Selama ini saya mengenal Aan sebagai sosok yang ramah dan santun.
Saat berada di dalam mall, saya melihat bagaimana Aan memperlakukan sang isteri dengan tidak semestinya. Kami berdua berjalan di depan, sedangkan isterinya mengikuti kami di belakang sambil menggendong si kecil. Berusaha mengikuti langkah kami yang cepat. Berulangkali saya mengingatkan Aan untuk menurunkan kecepatan langkah agar sang isteri dapat berjalan dengan santai, namun tidak dihiraukan oleh Aan. Saya mulai merasa tidak enak hati...
Tiba-tiba isteri Aan berteriak : "Pak, tunggu sebentar, jepitan sandal saya putus...."
Aan menoleh ke belakang, lalu berkata dengan nada ketus : "Bagaimana sich kamu ini, kok bisa-bisanya mengenakan sandal hinggal putus?"
Isteri Aan : "Saya tidak tahu, mas... Yang saya tahu umur sandal ini sudah 3 tahun. Mungkin sudah saatnya untuk diganti..."
Aan : "Itu cuma alasan kamu saja. Sekarang pergi ke toko sepatu dan cari sandal yang sesuai dengan kakimu..."
Dengan masih menggendong si kecil, perempuan yang sudah dinikahi Aan selama 5 tahun, mengarahkan langkahnya ke sebuah toko sepatu, tidak jauh dari kami berdiri.
Dengan mengeluarkan kalimat yang cukup keras, Aan berkata : "Cepat pilih sandal di sana. Jangan pakai lama, ya!"
Beberapa pengunjung dan pegawai toko sempat menoleh heran ke arah Aan. Terutama diriku yang menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan Aan. Sebenarnya saya ingin segera menegur Aan, namun saya yakin, dengan ego yang masih tinggi, Aan pasti akan membela diri, ujung-ujungnya bisa terjadi pertengkaran di antara kami.
Isteri Aan masih sibuk memilih-milih sandal dengan terus menggendong anaknya yang sedang tertidur pulas. Terlihat dia mengalami kesulitan. Namun tidak sedikitpun terbersit niat Aan untuk membantunya. Sementara itu, saya hanya mampu mengelus dada melihat kejadian ini.
Belum sampai sepuluh menit berlalu, Aan kembali berkata sangat keras, kali ini terdengar seperti berteriak : "Kok lama sekali memilih sandalnya. Gak bisa lebih cepat sedikit?"
Akhirnya sang isteri berhasil juga memilih sandal, yang menurut saya tidak jauh berbeda dengan sandal jepit murahan yang dijual di pasar tradisional.
Saat berada di dalam kafe, Aan membuka pembicaraan kami mengenai rencana proyek yang akan kami tangani bersama-sama. Sejujurnya saya sudah tidak berniat lagi untuk bekerjasama dengannya, setelah melihat perlakuan kasarnya kepada isterinya.
Saya hanya mendengarkan apa yang dikatakan Aan, sesekali terbuai dalam lamunan, membayangkan apa yang bakal terjadi jika saya benar-benar bekerjasama dengannya. Bayangan perlakuan buruknya, membuatku menjadi apatis dan menguatkan niatku untuk mundur saja.
Saat Aan pergi ke kamar kecil, isteri Aan berkata lirih kepadaku : "Maafkan atas kejadian kurang terpuji yang ditunjukkan suamiku. Setahun belakangan ini, kelakuannya berubah seratus delapan puluh derajat. Semula Aan adalah seorang yang santun dan penuh pengertian, namun sejak dia berkecimpung dalam sebuah organisasi kemasyarakatan, tabiatnya justru menjadi kasar, beringas dan mau menang sendiri. Sebenarnya saya sudah hampir habis kesabaran melihat tingkah lakunya...."
Saya terhenyak mendengar pengakuan isteri Aan. Sesuatu yang sama sekali tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Tiga tahun kami tidak berjumpa dan hari ini adalah pertama kali kami berjumpa untuk membicarakan proyek yang digagas Aan.
Dibalik wajahnya yang kalem, akhirnya sebutir air mata keluar dari pelupuk matanya yang indah. Saya sungguh tidak tega melihat kesedihan wanita yang tegar ini.
Isteri Aan berkata lagi : "Pak, tadi saya tidak bermaksud membuat suamiku menunggu lama. Saya lama memilih-milih hanya karena ingin membeli sandal yang paling murah dan tahan lama, agar tidak membebani suami."
Saya semakin terkejut melihat pengorbanan isteri Aan. Mengapa harus memilih sandal yang murah sampai memakan waktu begitu lama? Padahal mobil yang dipakai Aan menjemput diriku, saya rasa harganya lebih dari setengah milyar. Sebuah mobil yang mewah.
Saya menyadari ada tekanan yang begitu kuat merongrong batin sang isteri. Dan saya semakin yakin bahwa Aan bukanlah partner bisnis yang baik.
Saat Aan kembali, saya berupaya mengingatkan dia akan perilakunya yang tidak elok dipandang mata. Aan berkilah, isterinya harus patuh kepadanya. Harus mengetahui kemauannya dan tidak boleh sekalipun membantahnya. Ini yang didapatnya dari organisasi yang ditekuninya saat ini.
Saya mencoba mengingatkan lagi : "Kalau itu niat kamu, sejujurnya kamu tidak dalam posisi yang patut dipersalahkan sepenuhnya. Namun niat untuk menguasai isteri sesuai dengan keinginanmu, itu yang tidak benar. Memangnya isterimu itu bisa mengetahui apapun yang ada di dalam pikiranmu?"
Aan menyolot : "Mengapa kamu membela isteriku..?"
Saya langsung memotong kalimatnya : "Saya mencoba menjadi penengah yang baik. Saya akan membela sesuatu yang saya anggap benar. Yang paling mengganggu pikiranku saat kamu membentak isterimu di depan orang banyak. Bahkan terhadap seorang pembantu pun, kita tidak pantas melakukannya. Tahukah kamu, mengapa isterimu begitu lama memilih sandal?"
Aan : "Dia ingin memilih yang terbaik dan mahal harganya..."
Saya : "Kamu salah besar... Justru isterimu tidak ingin membebanimu, sehingga mengorbankan letihnya dengan memilih sandal yang murah. Lihat saja sandal baru yang dipakainya saat ini. Bahkan harganya tidak lebih mahal dari segelas kopi yang kita minum saat ini..."
Setelah beberapa saat, saya pamit karena ingin bertemu teman lain di lantai atas. Hal ini hanyalah alasanku agar tidak berlama-lama dengannya. Hatiku perih melihat perangai Aan yang buruk. Padahal, saya hanya ingin bergegas pergi meninggalkan Aan, pergi ke pintu keluar mall, memanggil becak dan langsung pulang ke rumah.
Sejak kejadian di mall, saya menolak dengan halus tawaran kerjasama dengan Aan. Saya yakin bakal terjadi konflik jika harus memaksakan diri berbisnis dengan orang yang berperilaku kasar. Saya tidak ingin hubungan pertemanan kami hancur.
Setahun kemudian, Aan meneleponku, mengajakku untuk bertemu. Kami berjanji ketemuan di tempat yang dulu, tempat yang sama dimana menjadi saksi bisu "kekejaman" Aan terhadap isterinya.
Tubuh Aan tidak lagi berisi, melainkan kurus ceking dengan pipi cekung. Matanya tidak lagi bersinar, namun layu dan meredup. Kondisi tubuhnya menunjukkan Aan sedang mengalami tekanan batin yang hebat sehingga mempengaruhi pola makannya.
Akhirnya Aan menceritakan kepahitan hidupnya setelah ditinggal pergi isterinya. Walaupun sering bertindak kasar, namun Aan benar-benar mencintai sang isteri dan merasa sangat kehilangan sosok wanita yang selama ini memendam kesabaran hingga level tertinggi.
Aan berkata : "Ternyata saya bukan suami yang baik. Saya tidak mampu menjadi pelindung dan pengayom keluarga yang benar. Sesungguhnya, bukan isteriku yang membutuhkan diriku, namun sebenarnya saya yang sangat membutuhkan dirinya. Semua perbuatanku menghasilkan buah karma yang begitu pahit...."
Saya : "Isterimu pergi meninggalkan dirimu bersama anak semata wayang kalian...?"
Aan : "Iya... Saya dengar dia pergi ke luar negeri bersama anak kami. Saya sudah berupaya mencarinya namun belum berhasil. Saya menyesal. Saya bukanlah suami yang baik..."
Saya : "Bersyukurlah jika kamu sudah menyadari kesalahan kamu. Jodoh itu tidak kemana-mana. Jika memang dia jodohmu, pasti suatu hari nanti, kalian akan bisa bersama lagi..."
Aan berbisik perlahan : "Saya akan terus menunggu kepulangannya, walaupun hingga ajalku menjelang..."
Sejak pertemuan kami yang terakhir, hingga saat ini saya tidak pernah lagi mendengar kabar Aan. Keberadaannya hilang bagaikan ditelan bumi.
Saya hanya berharap, semoga pembelajaran ini akan berguna bagi kehidupanku dalam membina berumah tangga yang harmonis. Saya akan berusaha menjadi suami yang baik dan santun, dibalik keterbatasanku sebagai manusia biasa yang tidak luput dari kekurangan dan kekeliruan. Salam kebajikan #firmanbossini
Tidak ada komentar:
Write komentar