Sebuah gua di sebelah selatan Gunung Wu Dang (Bu Tong) tidak hanya merupakan sebuah gua yang paling tersohor di antara 36 gua lainnya di daerah itu, tetapi juga merupakan sebuah gua yang menyatukan tiga unsur yakni keheningan, keajaiban, dan kesakralan sehingga menjadikannya sebagai suatu tempat yang disucikan.
Di sisi kanan Gua Selatan ini ada sebuah puncak yang sangat curam, menjulang menembus langit, inilah yang disebut dengan “Tebing Melayang”. Di atas tebing ini terdapat tonjolan sebuah batu raksasa, yang diberi nama “Batu Penguji Hati”.
Menurut legenda, dahulu kala hidup sepasang saudara kembar yang terlahir dengan rupa yang persis sama, tapi memiliki sifat yang sangat berbeda, sang kakak jujur dan baik hati, senang menolong sesama, sedangkan sang adik malas bekerja dan kerjanya hanya makan saja, juga sering mencuri.
Suatu hari, sang adik mendapat informasi bahwa keluarga tetangganya sedang bepergian, dia lalu menggunakan kesempatan di malam hari untuk mencuri di rumah tetangga itu.
Baru saja ia menjengukkan kepalanya lewat jendela, mata kirinya telah ditusuk dengan jarum hingga buta oleh empunya rumah yang bersembunyi di bawah jendela.
Sejak saat itu perbedaan kedua kakak beradik ini langsung terlihat jelas, yang mana yang sulung dan mana yang bungsu. Mendapat pelajaran ini, sang kakak pun menasihati adiknya agar bertobat, sang adik yang dapat pelajaran kali ini pun berjanji untuk bertobat. Sang kakak lalu mengajaknya naik ke gunung Wu Dang untuk memberi hormat kepada para dewa sebagai tanda niat sang adik untuk bertobat.
Dalam perjalanannya ke puncak gunung, kedua bersaudara ini bertemu dengan seorang tua yang berambut putih, badannya agak bungkuk, di atas punggungnya membawa sebuah tas yang berisi barang yang sangat berat. Orang tua tersebut memberitahu mereka bahwa dulu dirinya adalah seorang perampok, kini beliau ingin bertobat menjadi orang baik, dan bersedia memberikan uang hasil rampokannya untuk membeli dupa, dan akan dipersembahkan bagi Dewa Zhen Wu yang ada di dalam gua.
Sang bungsu juga bercerita kepada Pak Tua mengenai kelakuannya di masa lalu. Pak Tua sangat gembira, beliau berkata, “Dewa sangat menyenangi orang yang menyadari kesalahannya sendiri dan mau bertobat, dan Dewa sangat memandang remeh pada orang-orang yang bicaranya tidak sesuai dengan kelakuannya.”
Sewaktu berbincang-bincang, ada dua batang emas berbentuk sepatu yang jatuh dari karung yang dibawa oleh Pak Tua. Si bungsu yang melihat emas berkilauan itu segera timbul niat jahatnya.
Tak disangka si sulung telah lebih dulu memungut batang emas itu dan segera mengembalikannya pada Pak Tua. Pak Tua pun berkata pada si sulung, “Anda adalah orang yang berhati baik, emas ini saya berikan pada Anda.” Si sulung yang merasa tidak melakukan jasa apa pun, tidak berhak menerima imbalan apa pun, emas itu pun ditolaknya. Di dalam hati, si bungsu memaki si sulung yang bodoh.
Ketiga orang ini pun melanjutkan perjalanannya menyusuri jalan setapak. Sang kakak berjalan setapak demi setapak mengikuti langkah Pak Tua sambil memapah lengannya. Sedang sang adik di dalam hatinya memperhitungkan bagaimana caranya agar batang-batang emas itu dapat menjadi miliknya.
Ketika sampai di Tebing Melayang, Pak Tua berkata bahwa dirinya sangat lelah dan haus, lalu duduk untuk beristirahat, si sulung pun meninggalkan mereka untuk mencari air pelepas dahaga. Si bungsu melihat kesempatan telah datang, ia pun mendorong Pak Tua ke bawah jurang.
Pada saat sang kakak kembali membawa air minum, ia tidak melihat Pak Tua lagi, sang adik pun menceritakan kejadian yang sebenarnya. Sang kakak sangat menyesalkan hal itu, dia merasa dirinya terlalu ceroboh dengan mempercayai adiknya begitu saja, sehingga menyebabkan kematian Pak Tua.
Setelah memarahi si adik habis-habisan, ia pun meloncat ke bawah dari tebing setinggi puluhan ribu kaki itu. Bukan main senangnya hati si bungsu, dia mengira bisa memiliki semua batang emas itu seorang diri, tapi begitu ia membuka karung kain berisi batang emas itu, semua isinya telah berubah menjadi sebongkah batu besar.
Saat itu dari langit terdengarlah suara tawa dari Pak Tua, ketika si bungsu mengangkat kepalanya, ia melihat Pak Tua dan kakaknya sedang berdiri di atas awan. Pak Tua menunjuk ke batu besar di dalam karung itu, sambil tertawa ia berkata, “Yang saya gendong itu memang bukan emas, melainkan Batu Penguji Hati.”
Sejak saat itu, “Batu Penguji Hati” yang terletak di Gua Selatan dari Gunung Wu Dang itu pun terkenal dimana-mana.
Tidak ada komentar:
Write komentar