Menurut tradisi, orang-orang percaya bahwa seorang komandan pasukan perang yang gagah dan berotot merupakan pilihan terbaik sebagai kepala kantor di kota perbatasan. Namun untuk dengan benar menangani penduduk yang tidak berpendidikan dan berhubungan dengan orang barbar yang tidak ramah, seorang pemimpin garnisun membutuhkan kecerdasan dan keberanian, yang merupakan karakteristik yang tidak dapat diketahui melalui penampilan fisik. Berikut ini adalah sebuah kisah menarik yang mengilustrasikan pemikiran tersebut. Pada awal abad kesebelas, seorang pejabat pemerintah bernama Lee Gi di luar dugaan ditunjuk menjadi komandan di suatu kota perbatasan.
Promosi ini membuat semua teman dan koleganya terkejut dan khawatir. Karena dia bertubuh kecil dan tingkah lakunya sangat tertutup, mereka menganggap dia terlalu lemah untuk bekerja sama dengan para jenderal yang galak yang akan ditempatkan menjadi bawahannyaDengan acuh tak acuh, pejabat ini dengan tenang menerima tugas yang tidak lazim ini dan memulai perjalanannya yang membosankan menuju kota yang jauh itu. Sesudah berjalan berminggu-minggu, ia mencapai perbatasan dan disambut dengan hangat oleh para pengusaha dan jenderal setempat. Keheranan karena penampilannya yang di luar dugaan, mereka mulai menyangsikan kemampuannya.Sesudah beberapa penyambutan yang hangat, ucapannya yang lembut dan pembawaannya yang pendiam semakin membuat mereka sangsi.
Mereka sepenuhnya percaya bahwa pemimpin baru mereka hanyalah seorang bekas politikus, yang sedang menantikan masa pensiun.Sebagai konsekuensinya, para pedagang jarang mengundangnya ke pertemuan sosial mereka. Para jenderal dan bawahannya, yang telah mendapatkan posisi mereka dnegan memenangkan banyak pertempuran berdarah dan brutal, diam-diam memandang rendah, mengabaikan dan memperlakukannya sebagai pemimpin boneka.Meski pun mereka menghargai pendidikannya, mereka amat meragukan kemampuannya untuk menangani pasukan dan jarang mendiskusikan persoalan militer dengannya. Tetapi Lee Gi tidak tersinggung sama sekali.
Dia melewati hari-hari yang panas dan monoton dengan membaca buku-buku sastra klasik sendirian di kantornya.Suatu hari di kota tersebut, seorang tentara merampok seorang wanita di siang bolong. Dia segera ditangkap dan secara tak sengaja dikirim ke Lee Gi untuk diadili. Seperti biasa, Lee Gi sedang membaca sebuah buku dengan santai.Sambil meletakkan bukunya, ia mengajukan beberapa pertanyaan penting kepada tentara itu dan si tentara tersebut mengaku terus terang.Tanpa ragu-ragu, Lee Gi memutuskan bahwa tentara itu harus menerima hukuman mati. Dia menuliskan perintah tersebut, memberikannya kepada asistennya dan dengan tegas memerintahnya untuk melaksanakannnya.
Meski pun terkejut akan tindakan atasannya yang cepat itu, sang asisten memerintahkan tiga penjaga untuk menyeret pelanggar yang terbengong-bengong itu keluar dari ruangan dan memenggalnya di halaman depan. Keseluruhan pengadilan dan eksekusi itu dilaksanakan tidak lebih dari satu jam.Sesudah menuliskan perintah tadi, Lee Gi mengambil bukunya dan meneruskan bacaannya, seolah-olah tidak terjadi sesuatu sama sekali. Melihat hal ini, para bawahannya mendadak menyadari bahwa komandan mereka sebenarnya seorang pemimpin yang jempolan dan tegas dan mereka segera menyebarkan berita ini ke seluruh kota.
Setelah mendengar hal ini, para jenderal dan pejabat setempat terkagum-kagum akan tindakannya yang cepat dan tegas. Sejak saat itu, mereka mulai menaruh hormat kepadanya.Perkataan dan ucapan itu murah dan tidak efektif. Tindakan lebih penting. Sikap membuktikan kemampuannya dan menimbulkan keyakinan dari rekan-rekan seperjuangannya.
Tidak ada komentar:
Write komentar