Beberapa tahun lalu, seorang Direktur mengalami kecelakaan sehingga kedua daun telinganya harus diamputasi.
Namun, ia tetap merasa sangat percaya diri karena kebanyakan orang
nyatanya memang tidak memperhatikan atau melihat daun telinganya itu.
Satu kali, sang direktur ini ingin merekrut pegawai penjualan. Ia membuka lowongan dan memanggil 3 orang untuk diwawancara. Namun pada akhir pembicaraan, ia bertanya," Apakah Anda melihat sesuatu yang berbeda pada saya?"
Pelamar pertama menjawab,"Karena bapak menanyakannya, maka saya katakan terus terang. Bapak terlihat sangat aneh."
Mendengar itu sang direktur kecewa dan menolaknya. Ia lalu memanggil pelamar kedua, Pada akhir wawancara, ia kembali menanyakan hal yang serupa.
Pelamar kedua menjawab,"Bapak cacat karena tidak punya daun telinga." Lagi-lagi ia kecewa dan menolaknya.
Kemudian ia mewawancarai pelamar ketiga. Pada akhir wawancara ia kembali menanyakan pertanyaan yang sama.
Pelamar ketiga menjawab,"Bapak menggunakan kontak lens.". "Bagaimana Anda tahu saya memakai kontak lens?" Tanya direktur itu.
Ia menjawab,"Bapak tidak punya daun telinga sehingga tidak mungkin memakai kaca mata."
Kali ini, sang direktur puas dengan jawaban itu sehingga ia mempekerjakannya. Ya, kita semua memang perlu belajar untuk berkata-kata dengan bijak dan cerdas.
Seperti cerita di atas, sebenarnya ketiga pelamar tersebut memberikan jawaban yang sama, tetapi orang pertama dan kedua menyampaikannya tanpa perhitungan, kasar dan sebaliknya yang ketiga menyampaikannya dengan lebih halus.
Ia tahu dan mengerti dampak dari ucapannya bagi sipendengar. Ini bukan berarti kita harus memanipulasi. Kata-kata atau berbohong, tapi berkata-katalah dengan bijak dan cerdas sambil tetap tulus.
Dalam sebuah bisnis, negosiasi, kehumasan, penjualan, dll hal ini tentu sangat penting, bukankah demikian?
Tidak ada komentar:
Write komentar