Shi Kefa ( 史可法 ) alias Sien Ce 1601-1645) adalah seorang jenderal dan patriot pada akhir Dinasti Ming, Tiongkok. Shi dilahirkan di Xiangfu (sekarang Kaifeng, Provinsi Henan) dari keluarga pejabat.
Ia adalah murid Zuo Guangdou, seorang pejabat jujur yang menemui ajal di penjara karena difitnah oleh kasim jahat, Wei Zhongxian.
Shi sempat menjenguk Zuo pada saat-saat terakhir sebelum kematiannya dan menerima nasihat terakhir dari gurunya itu.
Atas pengaruh Zuo lah, Shi bertekad untuk selalu berpegang pada kebenaran dan menjunjung tinggi kesetiaan pada negara.
Shi meraih gelar jinshinya (gelar akademis tertinggi pada masa itu) pada awal pemerintahan Kaisar Chongzhen (akhir dekade 1620an) dan setelah itu dia memegang jabatan dalam pemerintahan di Xi'an, Provinsi Shaanxi.
Tahun 1639, Shi bersama Lu Xiangsheng menumpas pemberontakan petani yang merajarela pada akhir Dinasti Ming. Atas prestasi-prestasinya, ia dipromosikan oleh atasannya, Jenderal Zhang Guowei sebagai inspektur militer yang memegang komando atas wilayah Henan, Anhui, Jiangxi, Huguang dan beberapa kabupaten sekitarnya.
Tahun 1643, ia diangkat sebagai menteri perang di Nanjing. Belum satu tahun ia memegang jabatannya, Dinasti Ming runtuh oleh serbuan pasukan pemberontak petani pimpinan Li Zicheng. Kaisar Chongzhen gantung diri di bukit belakang istana, ibukota Beijing jatuh ke tangan pemberontak, dan beberapa pangeran Ming membentuk pemerintahan baru yang dalam sejarah dikenal sebagai Dinasti Ming Selatan.
Dahulu perhubungan lalu lintas tidaklah lancar, sehingga kabar yang buruk itu baru tersebar sampai ke Nan Fang pada bulan 4 tgl 1. Waktu itu Shi Kefa sedang memimpin pasukan baru dari Nanjing melewati sungai menuju Pu Ko. Sewaktu dia mendengar kabar bahwa Nanjing telah jatuh di tangan musuh dan Kaisarpun bunuh diri maka dia sangat berduka sekali, dan memakai tanda berduka.
Pada saat itu seluruh pejabat memandang bahwa negara tidak boleh tanpa pemimpin. Kemudian Shi berdiskusi dengan pejabat teras yang ada di kota Nanjing untuk mencari penerus pemerintahan. Shi mendukung, ketika mereka mengusulkan sepupuh dari Kaisar Chongzhen dengan gelar Fu Wang yang berada di Sung Yin untuk datang menjabat sebagai Kaisar Hongguang di Nanjing.
Setelah Fu Wang menjadi Kaisar, Shi Kefa menjadi Tai Pau, dan tetap memegang pucuk pimpinan pasukan, bertugas di Yang Cho, makanya dia dibebani tanggung jawab yang besar untuk memulihkan kejayaan negara.
Li Zicheng hanya sebulan lebih berkuasa di Beijing, karena ia dikalahkan oleh suku Manchu dari utara yang dibantu oleh jenderal pengkhianat, Wu Sangui. Sejak itulah Tiongkok dikuasai Dinasti Qing dengan Beijing sebagai ibukotanya.
Para pangeran Ming mengkonsolidasi kekuatan untuk melawan bangsa asing itu dan memulihkan Dinasti Ming. Sayangnya mereka tidak kompak dan saling bertikai satu sama lain. Keadaan ini diperparah dengan para kasim dan pejabat korup yang masih mendominasi pemerintahan mereka sehingga tidak berdaya menghadapi serbuan pasukan Qing yang mulai melebarkan sayapnya ke selatan.
Pada tahun 1645, pasukan Qing yang dipimpin Pangeran Duoduo bersiap menyerbu Yangzhou yang dijaga oleh Shi Kefa setelah mengalahkan seorang jenderal Ming lainnya, Huang Degong.
Kakak Duoduo, Pangeran Duo’ergun, selaku wali kaisar, yang mengetahui kehebatan Shi Kefa memerintahkannya agar tidak menyerang terlebih dahulu, ia berencana untuk membujuk Shi Kefa menyerah pada pemerintah Qing agar dapat menghindari pertempuran dengannya.
Duo’ergun mengutus Shi Dewei, putra angkat Shi Kefa yang telah menyerah pada Qing untuk mengantar surat bujukan menyerah padanya. Shi Kefa membalas surat itu dengan meyatakan akan tetap setia hingga akhir pada Dinasti Ming. Dengan marah Duo’ergun segera memerintahkan adiknya untuk menyerang Yangzhou.
Sementara itu di Yangzhou, Shi Kefa memerintahkan Jenderal Gao Jie untuk membangun benteng di Xuzhou untuk mempertahankan diri dari serangan pasukan Qing. Namun sayangnya, Gao dibunuh oleh komandan lokal, Xu Dingguo, yang kemudian menyerahkan diri pada Qing.
Pasukan Duoduo yang diperkuat dengan pasukan Ming yang telah membelot meruntuhkan moral pasukan Ming sehingga banyak dari mereka yang desersi dan menyerahkan diri pada Qing.
Shi Kefa berkali-kali mengirim pesan pada komandan-komandan dari wilayah sekitar untuk meminta bantuan namun hanya Liu Zhaoji yang memberi tanggapan. Walaupun Shi Kefa bertekad untuk membangkitkan kejayaan negara, tetapi jika hanya sendirian saja, bukankah sama seperti nafsu besar tapi tenaga kurang.
Namun Shi tetap bertekad untuk berjuang hingga titik darah penghabisan, walaupun banyak pasukannya yang telah membelot. Ia berjuang bahu-membahu dengan Liu Zhaoji dan beberapa kali berhasil mematahkan serbuan pasukan Qing. Pertahanan Yangzhou diperkuat oleh meriam dan senapan Portugis sehingga menjatuhkan korban yang sangat banyak di pihak pasukan Qing.
Shi Kefa sebenarnya merupakan seorang atasan yang sangat rajin dan mempunyai hati yang welas asih terhadap prajuritnya, bahkan dia ikut merasakan kesulitan bersama - sama dengan prajuritnya.
Sebelum prajuritnya kenyang, maka dia tak akan makan nasi. Malahan dia makan tanpa tahu rasa. Sebelum baju tentara selesai dibagi pada semua prajurit, dia tidak akan memakainya duluan. Pada musim panas, dia tidak membawa kipas, dikala musim dingin dia tidak memakai baju kulit. Ketika tidur tidak melepaskan baju, ketika hari hujan biasanya tak pernah berpayung. Perbuatannya yang demikian, sangatlah dihormati oleh bawahannya.
Setelah dua mingguan bertahan mati-matian, maka persediaan makanan dan amunisi pasukan Ming semakin menipis, selain itu jumlah mereka pun terus berkurang. Shi sadar bahwa ia tidak akan dapat bertahan lebih lama lagi. Ia menggigit jari dan menggunakan darahnya untuk menulis surat terakhirnya.
Surat pertama ditujukan pada Kaisar Hongguang yang berisi nasihat agar sang kaisar menghentikan hidup yang bergelimang pesta-pora karena negara dalam keadaan kritis dan terus berjuang untuk memulihkan Dinasti Ming, surat berikutnya berisi kata-kata perpisahan untuk ibu dan istrinya.
Tak lama kemudian pasukan Qing berhasil merobohkan tembok kota Yangzhou dan seorang pengkhianat dari pasukan Ming membukakan gerbang kota. Pasukan Qing menyerbu ke dalam kota bagaikan air bah, Liu Zhaoji gugur dalam pertempuran itu. Shi sendiri hampir melakukan bunuh diri, namun dicegah oleh para bawahannya. Bersama beberapa bawahan yang setia, ia mencoba meninggalkan kota lewat gerbang timur.
Namun dalam pelarian ia melihat pasukan Qing membantai rakyat dan yang lebih membuatnya sedih adalah di antara mereka juga terdapat mantan pasukan Ming yang telah membelot. Karena tidak ingin kabur seperti pengecut, sementara rakyat dan pasukannya dibantai, ia keluar dari persembunyian dan berteriak lantang pada musuh, “Akulah Shi Kefa !”
Pasukan Qing segera menangkapnya dan membawanya menghadap Pangeran Duoduo. Pangeran Duoduo sangat terkesan pada kesetiaannya dan strateginya yang hebat menahan serbuan musuh dengan kekuatan yang jauh lebih kecil.
Ia mencoba membujuknya untuk menyerah, katanya, “Jenderal, anda telah melakukan tugas anda dengan baik, bila anda menyerah, saya akan memberi anda jabatan yang layak.” Namun Shi menolak dengan tegas, ia hanya ingin mati bersama dinasti yang dicintainya, ia juga meminta agar rakyat tak berdosa jangan dibunuh.
Duoduo tak punya pilihan lain selain menghukum mati Shi Kefa namun ia masih menaruh dendam atas perlawanan sengit rakyat Yangzhou yang menyebabkan banyak korban di pihaknya. Setelah Shi Kefa dihukum mati, pasukan Qing melakukan pembantaian massal terhadap rakyat Yangzhou, kebrutalan pasukan Qing berlangsung selama sepuluh hari dan menewaskan ratusan ribu rakyat disana dan sekitarnya.
Tragedi ini dikenal dalam sejarah sebagai “Pembantaian 10 hari di Yangzhou”. Jenazah Shi tidak pernah ditemukan karena telah dihancurkan oleh pasukan Qing. Makamnya yang kini terletak di sebuah bukit di pinggiran kota Yangzhou hanyalah berisi pakaian berkabung yang dikuburkan oleh Shi Dewei untuk mengenangnya secara simbolik.
Sewaktu pada zaman pemerintahan Man Ching kaisar Cien Long memberikan gelar, “Chong Chen” kepadanya. Beliau ada meninggalkan empat buku karyanya yang diberi judul dengan She Chong Cheng Chi.
Ia adalah murid Zuo Guangdou, seorang pejabat jujur yang menemui ajal di penjara karena difitnah oleh kasim jahat, Wei Zhongxian.
Shi sempat menjenguk Zuo pada saat-saat terakhir sebelum kematiannya dan menerima nasihat terakhir dari gurunya itu.
Atas pengaruh Zuo lah, Shi bertekad untuk selalu berpegang pada kebenaran dan menjunjung tinggi kesetiaan pada negara.
Shi meraih gelar jinshinya (gelar akademis tertinggi pada masa itu) pada awal pemerintahan Kaisar Chongzhen (akhir dekade 1620an) dan setelah itu dia memegang jabatan dalam pemerintahan di Xi'an, Provinsi Shaanxi.
Tahun 1639, Shi bersama Lu Xiangsheng menumpas pemberontakan petani yang merajarela pada akhir Dinasti Ming. Atas prestasi-prestasinya, ia dipromosikan oleh atasannya, Jenderal Zhang Guowei sebagai inspektur militer yang memegang komando atas wilayah Henan, Anhui, Jiangxi, Huguang dan beberapa kabupaten sekitarnya.
Tahun 1643, ia diangkat sebagai menteri perang di Nanjing. Belum satu tahun ia memegang jabatannya, Dinasti Ming runtuh oleh serbuan pasukan pemberontak petani pimpinan Li Zicheng. Kaisar Chongzhen gantung diri di bukit belakang istana, ibukota Beijing jatuh ke tangan pemberontak, dan beberapa pangeran Ming membentuk pemerintahan baru yang dalam sejarah dikenal sebagai Dinasti Ming Selatan.
Dahulu perhubungan lalu lintas tidaklah lancar, sehingga kabar yang buruk itu baru tersebar sampai ke Nan Fang pada bulan 4 tgl 1. Waktu itu Shi Kefa sedang memimpin pasukan baru dari Nanjing melewati sungai menuju Pu Ko. Sewaktu dia mendengar kabar bahwa Nanjing telah jatuh di tangan musuh dan Kaisarpun bunuh diri maka dia sangat berduka sekali, dan memakai tanda berduka.
Pada saat itu seluruh pejabat memandang bahwa negara tidak boleh tanpa pemimpin. Kemudian Shi berdiskusi dengan pejabat teras yang ada di kota Nanjing untuk mencari penerus pemerintahan. Shi mendukung, ketika mereka mengusulkan sepupuh dari Kaisar Chongzhen dengan gelar Fu Wang yang berada di Sung Yin untuk datang menjabat sebagai Kaisar Hongguang di Nanjing.
Setelah Fu Wang menjadi Kaisar, Shi Kefa menjadi Tai Pau, dan tetap memegang pucuk pimpinan pasukan, bertugas di Yang Cho, makanya dia dibebani tanggung jawab yang besar untuk memulihkan kejayaan negara.
Li Zicheng hanya sebulan lebih berkuasa di Beijing, karena ia dikalahkan oleh suku Manchu dari utara yang dibantu oleh jenderal pengkhianat, Wu Sangui. Sejak itulah Tiongkok dikuasai Dinasti Qing dengan Beijing sebagai ibukotanya.
Para pangeran Ming mengkonsolidasi kekuatan untuk melawan bangsa asing itu dan memulihkan Dinasti Ming. Sayangnya mereka tidak kompak dan saling bertikai satu sama lain. Keadaan ini diperparah dengan para kasim dan pejabat korup yang masih mendominasi pemerintahan mereka sehingga tidak berdaya menghadapi serbuan pasukan Qing yang mulai melebarkan sayapnya ke selatan.
Pada tahun 1645, pasukan Qing yang dipimpin Pangeran Duoduo bersiap menyerbu Yangzhou yang dijaga oleh Shi Kefa setelah mengalahkan seorang jenderal Ming lainnya, Huang Degong.
Kakak Duoduo, Pangeran Duo’ergun, selaku wali kaisar, yang mengetahui kehebatan Shi Kefa memerintahkannya agar tidak menyerang terlebih dahulu, ia berencana untuk membujuk Shi Kefa menyerah pada pemerintah Qing agar dapat menghindari pertempuran dengannya.
Duo’ergun mengutus Shi Dewei, putra angkat Shi Kefa yang telah menyerah pada Qing untuk mengantar surat bujukan menyerah padanya. Shi Kefa membalas surat itu dengan meyatakan akan tetap setia hingga akhir pada Dinasti Ming. Dengan marah Duo’ergun segera memerintahkan adiknya untuk menyerang Yangzhou.
Sementara itu di Yangzhou, Shi Kefa memerintahkan Jenderal Gao Jie untuk membangun benteng di Xuzhou untuk mempertahankan diri dari serangan pasukan Qing. Namun sayangnya, Gao dibunuh oleh komandan lokal, Xu Dingguo, yang kemudian menyerahkan diri pada Qing.
Pasukan Duoduo yang diperkuat dengan pasukan Ming yang telah membelot meruntuhkan moral pasukan Ming sehingga banyak dari mereka yang desersi dan menyerahkan diri pada Qing.
Shi Kefa berkali-kali mengirim pesan pada komandan-komandan dari wilayah sekitar untuk meminta bantuan namun hanya Liu Zhaoji yang memberi tanggapan. Walaupun Shi Kefa bertekad untuk membangkitkan kejayaan negara, tetapi jika hanya sendirian saja, bukankah sama seperti nafsu besar tapi tenaga kurang.
Namun Shi tetap bertekad untuk berjuang hingga titik darah penghabisan, walaupun banyak pasukannya yang telah membelot. Ia berjuang bahu-membahu dengan Liu Zhaoji dan beberapa kali berhasil mematahkan serbuan pasukan Qing. Pertahanan Yangzhou diperkuat oleh meriam dan senapan Portugis sehingga menjatuhkan korban yang sangat banyak di pihak pasukan Qing.
Shi Kefa sebenarnya merupakan seorang atasan yang sangat rajin dan mempunyai hati yang welas asih terhadap prajuritnya, bahkan dia ikut merasakan kesulitan bersama - sama dengan prajuritnya.
Sebelum prajuritnya kenyang, maka dia tak akan makan nasi. Malahan dia makan tanpa tahu rasa. Sebelum baju tentara selesai dibagi pada semua prajurit, dia tidak akan memakainya duluan. Pada musim panas, dia tidak membawa kipas, dikala musim dingin dia tidak memakai baju kulit. Ketika tidur tidak melepaskan baju, ketika hari hujan biasanya tak pernah berpayung. Perbuatannya yang demikian, sangatlah dihormati oleh bawahannya.
Setelah dua mingguan bertahan mati-matian, maka persediaan makanan dan amunisi pasukan Ming semakin menipis, selain itu jumlah mereka pun terus berkurang. Shi sadar bahwa ia tidak akan dapat bertahan lebih lama lagi. Ia menggigit jari dan menggunakan darahnya untuk menulis surat terakhirnya.
Surat pertama ditujukan pada Kaisar Hongguang yang berisi nasihat agar sang kaisar menghentikan hidup yang bergelimang pesta-pora karena negara dalam keadaan kritis dan terus berjuang untuk memulihkan Dinasti Ming, surat berikutnya berisi kata-kata perpisahan untuk ibu dan istrinya.
Tak lama kemudian pasukan Qing berhasil merobohkan tembok kota Yangzhou dan seorang pengkhianat dari pasukan Ming membukakan gerbang kota. Pasukan Qing menyerbu ke dalam kota bagaikan air bah, Liu Zhaoji gugur dalam pertempuran itu. Shi sendiri hampir melakukan bunuh diri, namun dicegah oleh para bawahannya. Bersama beberapa bawahan yang setia, ia mencoba meninggalkan kota lewat gerbang timur.
Namun dalam pelarian ia melihat pasukan Qing membantai rakyat dan yang lebih membuatnya sedih adalah di antara mereka juga terdapat mantan pasukan Ming yang telah membelot. Karena tidak ingin kabur seperti pengecut, sementara rakyat dan pasukannya dibantai, ia keluar dari persembunyian dan berteriak lantang pada musuh, “Akulah Shi Kefa !”
Pasukan Qing segera menangkapnya dan membawanya menghadap Pangeran Duoduo. Pangeran Duoduo sangat terkesan pada kesetiaannya dan strateginya yang hebat menahan serbuan musuh dengan kekuatan yang jauh lebih kecil.
Ia mencoba membujuknya untuk menyerah, katanya, “Jenderal, anda telah melakukan tugas anda dengan baik, bila anda menyerah, saya akan memberi anda jabatan yang layak.” Namun Shi menolak dengan tegas, ia hanya ingin mati bersama dinasti yang dicintainya, ia juga meminta agar rakyat tak berdosa jangan dibunuh.
Duoduo tak punya pilihan lain selain menghukum mati Shi Kefa namun ia masih menaruh dendam atas perlawanan sengit rakyat Yangzhou yang menyebabkan banyak korban di pihaknya. Setelah Shi Kefa dihukum mati, pasukan Qing melakukan pembantaian massal terhadap rakyat Yangzhou, kebrutalan pasukan Qing berlangsung selama sepuluh hari dan menewaskan ratusan ribu rakyat disana dan sekitarnya.
Tragedi ini dikenal dalam sejarah sebagai “Pembantaian 10 hari di Yangzhou”. Jenazah Shi tidak pernah ditemukan karena telah dihancurkan oleh pasukan Qing. Makamnya yang kini terletak di sebuah bukit di pinggiran kota Yangzhou hanyalah berisi pakaian berkabung yang dikuburkan oleh Shi Dewei untuk mengenangnya secara simbolik.
Sewaktu pada zaman pemerintahan Man Ching kaisar Cien Long memberikan gelar, “Chong Chen” kepadanya. Beliau ada meninggalkan empat buku karyanya yang diberi judul dengan She Chong Cheng Chi.
Tidak ada komentar:
Write komentar