KEBAJIKAN (De 德) - Banyak orang yang setelah marah-marah terhadap kerabatnya, kemudian menjadi menyesal, namun, hal demikian selanjutnya masih akan seperti ini. Alasannya karena toleran kerabat yang membuat kita terlalu lancang.
Jika marah dengan pemimpin, rekan kerja atau orang lain, kemungkinan besar akan merusak hubungan relasi. Oleh karena itu, tanpa disadari atau tidak kita akan memerhatikan tata cara dalam komunikasi kita.
Hubungan "sesama keluarga" merupakam suatu hubungan yang lebih kokoh daripada "orang luar". Kita tahu, meskipun sikap atau perbuatan kita keterlaluan, mereka (anggota keluarga) juga tidak akan memermasalahkannya, tidak akan membenci ; kendati menjadikan mereka sebagai sarana pelampiasan kemarahan kita, mereka masih dapat menolerirnya, memahaminya, bisa bersabar atau memakluminya.
Keluarga merupakan sebuah lingkungan yang toleran dan relatif aman. Dilecehkan di luar, kita akan melampiaskannya di rumah. Dalam lingkungan yang dapat memberikan rasa aman secara psikologis seperti ini, kita lantas akan mudah lupa bagaimana cara berbicara secara baik-baik, sehingga menggunakan nada bicara yang sifatnya mengejek, membesar-besarkan, merendahkan terhadap anggota keluarga di rumah seperti hal yang biasa.
Selain itu, harapan psikologis kita terhadap kerabat terlalu tinggi, menganggap bahwa mereka semestinya mendukung anggota keluarga sendiri. Namun, begitu menemui kegagalan, akan mudah terbentuk kesenjangan psikologis, merasa " ya sudah kalau memang orang lain tidak memahami saya, tapi kenapa kamu selaku anggota keluarga sendiri juga tidak memahaminya", sehingga semakin dipikirkan semakin membuatnya emosi.
Ketika tindakan semena-mena dari orang lain atas luka yang diberikan kepada kita, kemudian kita alihkan kepada pasangan kita, krena tidak melihat segelas teh hangat berisi perhatian yang seperti bisanya secara diam-diam dihidangkan pasangan kita ; ketika dengan menggerutu memutuskan perkataan orangtua yang bermaksud baik.
Kita tidak pernah melihat orangtua kita pergi tanpa sepatah kata pun, diam-diam menyimpan rasa sedihnya di dalam hati. Orang-orang terkasih kita diam-diam tanpa berkeluh kesah menanggung luka dari kita, sebab jarak mereka paling dekat dan paling akrab dengan kita, dapat menolerir kita dengan cinta dan kasih sayangnya.
Ada netizens yang pernah menghitung waktu kebersamaan seseorang dengan orangtuanya, menghabiskan waktu bersama sekitar puluhan hari sampai lebih dari dua ratus hari, waktu berharga bersama dengan kerabat dekat lainnya juga terbatas. Mulai sekarang jangan tinggalkan sikap yang kasar dan kecaman tidak sopan kepada kerabat. Cobalah 3 aspek berikut ini untuk memperbaiki diri.
1. Melihat masalah dari sudut pandang lain
Orang-orang menginginkan dirinya itu benar, pihak lain harus menerima pendapat sendiri. Menimbangkan masalah dari sudut pandang kerabat dekat, kalau direnungkan titik awal mereka itu memang baik, belajar untuk bisa memahami mereka. Seandainya mereka terus mengoceh, Anda dapat memilih cara yang tepat untuk mengungkapkan maksud hati Anda. Katakan kepada mereka bahwa Anda sudah tahu di mana letak masalahnya, agar mereka percaya bahwa Anda dapat menyelesaikannya dengan baik.
2. Biarkan kerabat Anda menyelesaikan pembicaraannya
Seringkali sulit untuk bisa menjelaskan secara jelas dalam keadaan emosi. Dalam buku "The Right Man For the Job" karya sejarawan Inggris, Parkinson menyebutkan,"Jika terjadi keributan, ingat, diam saja jangan banyak bicara, biarkan orang lain selesai bicara, dengarkan baik-baik, dengan demikian baru bisa bicara dari hati ke hati, dan jelaskan permasalahannya."
Setelah angin mereda, ombak pun tenang, kemudian air menjadi jernih, ikan pun tampak jelas hilir mudik di dalam air, tunggu angin mereda ombak tenang baru bicarakan lagi, sehingga dengan demikian dapat menghindari luka pada perasaan masing-masing.
3. Tiga kaidah dalam menenangkan amarah
Studi psikologis mendapati, bahwa orang yang marah akan muncul gejala, "penyempitan kesadaran", selalu terpaku pada informasi negatif. Sebelum Anda sendiri kehilangan kontrol diri, coba untuk berhenti bicara dulu, atau tinggalkan tempat untuk menenangkan diri dulu.
Pangeran Lan Tian semasa Chun-Qiu (770 – 476 SM) pernah dicaci maki di kediamannya. Namun, sang pangeran tidak bicara sepatah katapun, ia berdiri menghadap tembok sampai orang yang mencacinya pergi, setelah itu sang pangeran baru melanjutkan pekerjaannya.
Profesor Orion Joris, seorang psikolog asal AS mengemukakan, turunkan intonasi suara, kemudian perlambat nada bicara, dada lurus ke depan, hal ini cukup efektif untuk meredam amarah.
Seperti kata pepatah, "Sabar dengan emosi sesaat, terhindar dari masalah lain yang lebih besar" (mengalah-menahan emosi sesaat, untuk menghindari kerugian yang lebi besar). Ingat, mengalah kepada kerabat itu tidak memalukan, tapi semua itu karena rasa cinta dan kasih sayang. Salam kebajikan (secretchina)
Tidak ada komentar:
Write komentar