|
Welcome To My Website Kebajikan (De 德)......KEBAJIKAN ( De 德 ) Mengucapkan Xin Nian Kuai Le (新年快乐) 2571 / 2020...Xīnnián kuàilè, zhù nǐ jiànkāng chángshòu, zhù nǐ hǎo yùn..Mohon Maaf Blog ini masih dalam perbaikan....Dalam era kebebasan informasi sekarang, hendaknya kita dapat lebih bijak memilah, mencerna dan memilih informasi yang akurat. Kami menempatkan kepentingan pembaca sebagai prioritas utama. Semangat kami adalah memberikan kontribusi bagi pembaca agar dapat meningkatkan Etika dan Moral dalam kehidupan serta meningkatkan Cinta kasih tanpa pamrih pada sesama baik dalam lingkup lingkungan sekitar maupun lingkup dunia dan menyajikan keberagaman pandangan kehidupan demi meningkatkan pemahaman dan penghargaan terhadap kehidupan. Tanpa dukungan Anda kami bukan siapa-siapa, Terima Kasih atas kunjungan Anda

Sabtu, 09 Januari 2016

Mengapa Cerita Berperan Dalam Pembelajaran Anak

 


KEBAJIKAN ( De 德 )Pernahkah Anda bertanya-tanya mengapa anak laki-laki dan perempuan memilih mainan, warna dan cerita tertentu? Mengapa anak perempuan ingin berpakaian warna pink dan menjadi putri raja, atau anak laki-laki ingin menjadi Darth Vader, prajurit dan petualang ruang angkasa?

Kisah yang diceritakan kepada anak-anak dapat membuat sebuah perbedaan

Para ahli telah menemukan bahwa cerita atau dongeng memiliki pengaruh yang kuat pada pema-haman anak terhadap peran budaya dan gender. Cerita tidak hanya mengembangkan literasi anak; mereka juga menyampaikan nilai-nilai, keyakinan, sikap dan norma-norma sosial yang pada gilirannya membentuk persepsi anak tentang realitas.

Melalui penelitian, saya menemukan bahwa anak-anak belajar bagaimana berperilaku, berpikir, dan bertindak melalui karakter yang mereka temui dalam cerita.

Jadi, bagaimana cerita bisa membentuk perspektif anak-anak?

Mengapa cerita berperan

Cerita atau dongeng yang dikisahkan melalui buku gambar, tari, gambar, persamaan matematika, lagu atau lisan adalah salah satu cara yang paling mendasar di mana kita berkomunikasi.

Hampir 80 tahun yang lalu, Louise Rosenblatt, seorang sarjana sastra yang telah dikenal luas, mengartikulasikan bahwa kita memahami diri sendiri melalui kehidupan karakter dalam cerita. Dia berpendapat, bahwa cerita dapat membantu pembaca memahami bagaimana penulis dan karakter si tokoh berpikir dan mengapa bertindak dengan cara yang mereka lakukan.

Demikian pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Kathy Short, seorang sarjana sastra anak-anak, ia menunjukkan bahwa anak-anak belajar untuk berkembang melalui perspektif kritis cerita tentang bagaimana untuk terlibat dalam aksi sosial.

Cerita membantu anak-anak mengembangkan rasa empati dan menumbuhkan imajinatif serta berpikir secara berbeda, yaitu pemikiran yang menghasilkan berbagai ide yang mungkin dan atau solusi di seputar peristiwa cerita, daripada mencari tanggapan tunggal atau literal.

Dampak cerita

Jadi, kapan dan di mana anak-anak mulai mengembangkan perspektif tentang dunia mereka, dan bagaimana cerita membentuknya?

Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak dapat mengembangkan perspektifnya pada aspek-aspek identitas seperti jenis kelamin dan ras, sebelum usia lima tahun.

Sebuah karya kunci dari novelis John Berger menunjukkan bahwa, sejak usia sangat dini anak-anak mulai mengenali pola dan membaca secara visual pada dunia mereka sebelum belajar berbicara, menulis atau membaca bahasa tulisan. Cerita-cerita yang mereka baca atau lihat, dapat berpengaruh kuat pada bagaimana mereka berpikir dan berperilaku.

Misalnya, penelitian yang dilakukan oleh ilmuwan Vivian Vasquez menunjukkan bahwa anak-anak kecil bermain di luar atau menggambar narasi di mana mereka menjadi bagian dari cerita tersebut. Dalam penelitiannya, Vivian menjelaskan bagaimana Hannah yang masih berusia empat tahun, mencampur-kan realitas dengan fiksi di dalam gambarnya, si Rudolph rusa. Han¬nah menambahkan seseorang di tengah-tengah dengan tanda silang merah di atasnya, di samping rusa tersebut.

Vasquez menjelaskan bahwa Hannah pernah diganggu oleh anak-anak laki di kelas dan tidak suka melihat bahwa Rudolph diberi julukan dan diintimidasi oleh rusa lain ketika dia membaca cerita Ru-dolph the Red-Nosed Reindeer (Rudolph si Rusa Berhidung Merah). Vasquez menjelaskan bahwa gambar Hannah telah menyampaikan keinginan Hannah untuk tidak ingin anak-anak laki menggoda Rudolph, dan yang lebih penting, adalah dia.

Penelitian saya juga telah menghasilkan wawasan yang sama. Saya menemukan bahwa anak-anak menginternalisasikan peran budaya dan jenis kelamin si tokoh dalam cerita.

Dalam sebuah studi seperti yang saya dilakukan selama periode enam mingguan, anak-anak kelas tiga membaca dan membahas peran tokoh laki-laki dan perempuan melalui sejumlah cerita yang berbeda.

Anak-anak kemudian mengulang kembali peran gender (misalnya, anak perempuan adalah pasif; saudara tiri jahat). Setelah itu, anak-anak menulis ulang kisah-kisah ini sebagai “retakan dongeng”. Artinya, anak-anak menulis ulang karakter dan peran mereka menjadi orang-orang yang mencerminkan peran masa kini bahwa pria dan wanita setara. Peran untuk anak perempuan, misalnya, ditulis ulang untuk menunjukkan bahwa mereka bekerja dan bermain di luar rumah.

Selanjutnya, kami meminta anak-anak perempuan untuk meng¬gambar apa yang mereka pikir anak laki-laki akan tertarik, dan anak laki-laki diminta untuk menggambar apa yang mereka pikir anak perem-puan akan tertarik.

Kami terkejut bahwa hampir semua anak menarik simbol, cerita dan pengaturan yang mewakili persepsi tradisional tentang peran gender. Artinya, anak laki-laki menggambarkan perempuan sebagai putri di istana dengan laki-laki yang akan menyelamatkan mereka dari naga. Gambar-gambar ini dihiasi dengan pelangi, bunga dan hati. Anak perempuan menggambarkan anak laki-laki berada di luar ruangan, dan sebagai petualang atau atlet.

Misalnya, mengamati gambar hasil karya seorang anak laki-laki usia delapan tahun, telah menggambarkan dua hal: Pertama, anak itu mencipta ulang alur cerita tradisional dari bacaan dongengnya (putri perlu diselamatkan oleh pangeran). Kedua, ia “mencampur ulang” bacaan dongengnya dengan minatnya sendiri dalam perjalanan ruang angkasa.

Meskipun ia terlibat dalam diskusi tentang bagaimana gender tidak harus menentukan peran tertentu dalam masyarakat (misalnya, perempuan sebagai pengasuh; laki-laki sebagai pencari nafkah), dalam gambarannya menunjukkan bahwa membaca cerita tradisional, seperti dongeng, memberikan kontribusi untuk pemahaman tentang peran gender.

Temuan kami selanjutnya dikuatkan oleh karya tulis peneliti Karen Wohlwend, yang menemukan pengaruh kuat dari cerita Disney pada anak-anak. Dalam penelitiannya, ia menemukan bahwa anak-anak perempuan yang dipengaruhi oleh cerita, lebih mungkin untuk menjadi “gadis dalam kesulitan” selama bermain.

Namun, tidak hanya kata-kata tertulis yang berpengaruh pada anak-anak. Sebelum mereka mulai membaca kata-kata tertulis, anak-anak usia dini mengandalkan pada gambar untuk membaca dan memahami cerita. Peneliti lainnya, Hilary Janks, telah menunjukkan bahwa anak-anak menafsirkan dan internalisasi perspektif melalui gambar, yang merupakan jenis lain dari cerita.

Cerita untuk perubahan

Para peneliti telah menunjukkan bagaimana cerita bisa digunakan untuk mengubah perspektif anak-anak tentang pandangan mereka terhadap orang-orang di berbagai belahan dunia. Dan tidak hanya itu; cerita juga dapat memengaruhi bagaimana anak-anak memilih peran di dunia.

Misalnya, Hilary Janks meneliti anak-anak dan guru tentang bagaimana gambar dalam cerita memengaruhi perasaan pengungsi.

Kathy Short mempelajari keterlibatan anak-anak dengan literatur diseputar HAM. Dalam pekerjaan mereka, yakni sekolah K-5 dengan 200 anak, mereka menemukan bahwa cerita telah menggerakkan anak-anak bahkan di usia dini sekalipun untuk mempertimbangkan bagaimana mereka bisa membawa perubahan pada komunitas lokal mereka sendiri dan sekolah.

Anak-anak ini dipengaruhi oleh kisah nyata seorang aktivis anak, Iqbal Masih, seorang anak yang giat berkampanye untuk undang-undang yang menentang pekerja anak. (Dia dibunuh pada usia 12 tahun akibat dari aktivitasnya ini) Anak-anak yang membaca cerita ini, bersamaan belajar tentang pelanggaran hak asasi manusia dan kekurangan pangan bagi banyak orang di seluruh dunia. Di sekolah ini, anak-anak termotivasi untuk membuat kebun masyarakat untuk mendukung pasokan pangan lokal.

Membangun perspektif interkultural

Kelas kali ini mewakili keragaman yang luas. Di Atlanta, di mana saya mengajar dan tinggal, dalam satu gugus sekolah saja, anak-anak telah mewakili lebih dari 65 negara dan berbicara lebih dari 75 bahasa.

Memang, keragaman dunia ini ditenun menjadi kehidupan kita sehari-hari melalui berbagai bentuk media.

Ketika anak-anak membaca cerita tentang anak-anak lain dari seluruh dunia, seperti Iqbal, mereka belajar perspektif baru yang keduanya melampaui jauh diluar mereka dan juga terhubung dengan konteks lokal mereka.

Pada saat anak-anak terkena narasi negatif tentang sebuah kelompok religius dari calon Presiden AS dan lain-lain, maka anak-anak butuh untuk membaca, melihat, dan mendengar cerita global yang melawan dan menantang narasi tersebut. Salam kebajikan (Sumber)

Peggy Albers adalah profesor bahasa dan pendidikan keaksaraan di Georgia State University, Amerika Serikat. Artikel ini diterbitkan onTheConversation.com.

Tidak ada komentar:
Write komentar