Cheng Yen ( Hanzi tradisional : 證嚴法師, Hanyu Pinyin : Zhèngyán; lahir di Kabupaten Taichung, Republik Cina, 11 Mei 1937; umur 72 tahun ) adalah seorang bhikkhuni Taiwan.
Cheng Yen dikenal karena mendirikan Yayasan Buddha Tsu Chi tahun 1966, sebuah organisasi kemanusiaan Buddhis yang memiliki misi untuk membantu korban bencana alam di berbagai penjuru dunia, pelestarian lingkungan dan dunia relewan.
Cheng Yen terlahir dengan nama Wang Jinyun ( 王錦雲 ) tahun 1937 di desa Chingshui Village, Kabupaten Taichung, Taiwan. Pamannya tidak memiliki anak, sehingga Cheng Yen diberikan untuk dibesarkan oleh paman dan bibinya.
Pada awal 1945, ia harus mengalami pengalaman rasa sakit dan ketidakberdayaan di umurnya yang kedelapan ketika ia harus menjaga kakaknya yang sedang sakit di rumah sakit selama delapan bulan. Ketika berusia 15 tahun, ibunya menderita penyakit perforasi lambung akut dan perlu menjalani operasi. Pada masa itu, operasi masih beresiko besar, dalam kondisi penuh kerisauan, Master Cheng Yen sering berdoa demi ibunya, dengan melafalkan nama “Bodhisattva Alalokitesvara” dengan tulus, beliau berjanji jika ibunya sembuh, akan menjadi seorang vegetarian, juga rela jika panjang usianya berkurang selama 20 tahun, demi menambah panjang usia ibunya.
Mungkin wujud baktinya telah menggugah Tuhan, sehingga penyakit ibunya tidak perlu dioperasi lagi, sembuh hanya dengan memakan obat saja, sejak saat itu Master Cheng Yen mulai menjadi seorang vegetarian.
Pada bulan Juni 1960, ayahnya yang kala itu masih berusia dibawah 40 tahun tiba-tiba meninggal dunia karena sakit, dari awal menunjukkan gejala sakit sampai menghembuskan nafas terakhir tidak sampai 24 jam, hal ini memberikan pukulan batin sangat dahsyat pada diri Master Cheng Yen. Master Cheng Yen bertanya dalam hati, dari manakah sebetulnya asal kehidupan dan kemana pula perginya sesudah mati? Apa tujuan manusia itu lahir? Dalam keadaan sedih dan bingung, ia teringat kata-kata di sebuah buku Dharma, pemberian Maha Bhiksu Miau Kuang yaitu : “setiap manusia yang hidup pasti mati ”.
Akhirnya, ia memutuskan ke Vihara Chen-Yin di Taiwan untuk pelimpahan jasa bagi ayah angkatnya. Ketika itulah ia menyadari bahwa apapun yang dimiliki, tidak bisa dibawa serta hanya perbuatanlah yang akan mengikuti kita. Begitu pulang dari Vihara Chen-Yin, ia mulai serius memperdalami agama Buddha.
Pada ketika itu, Master Cheng Yen mendapatkan pemahaman bahwa bukan ibu rumah tangga yang berkuasa untuk mengatur duit keluarga saja yang dapat disebut berbahagia, “Wanita bukan hanya perlu bersumbangsih demi sebuah keluarga, semestinya sama saja dengan pria, dapat memikul tanggung jawab terhadap masyarakat, di mana perasaan iba terhadap masyarakat dapat disebarkan kepada seluruh umat manusia, ‘kasih terhadap keluarga’ diperluas menjadi kasih terhadap masyarakat dan semua makhluk hidup, demikian barulah dapat disebut kebahagiaan sesungguhnya”.
Master Cheng Yen beberapa kali mencoba meninggalkan rumah dan urusan duniawi, namun menemui kegagalan, setelah berkelana ke banyak tempat, beliau masih saja belum menemukan tempat pelatihan yang sesuai, terakhir Master Cheng Yen tinggal di vihara Pu-ming, sebuah vihara kecil di kecamatan Xiu-lin, kabupaten Hualien, walau kehidupan dilalui dengan susah payah, namun tekad Master Cheng Yen untuk belajar ajaran Buddha tidak pernah padam.
Musim gugur tahun 1962, pada usia 25 tahun, Master Cheng Yen mencukur sendiri rambutnya tanpa guru pembimbing, beliau dengan hening melangkah masuk ke dalam kehidupan pelatihan sebagai biksuni. Pada Februari 1963, Vihara Lin-ji di Taipei membuka pendaftaran untuk penahbisan biksu-biksuni baru, Ia tidak mendapat izin untuk ikut karena tidak mempunyai guru pembimbing Dharma.
Ia merasa sedih atas penolakan dirinya dan mengunjungi perpustakaan di Vihara Ling Ci untuk membeli buku Dharma karangan Maha Bhiksu Yin Shun. Tanpa disangka, ia bertemu Maha Bhiksu Yin Shun dan mohon diterima sebagai murid. Dengan kemauan dan usaha kerasnya, ia berhasil diterima sebagai murid pada usia 26 tahun dan diberi nama Chen Yen. Nasehat dari Maha Bhiksu Yin Shun yang diingat dan memberkas di hatinya sampai kini adalah ““Jalinan jodoh di antara kita sangat istimewa, karena engkau hendak menjadi biksuni, engkau harus senantiasa berbuat demi agama Buddha dan demi semua makhluk hidup."
Master memberikannya nama tahbis “Cheng Yen”, aksara “Hui-zhang”. Setelah melalui upacara mengambil perlindungan pada Triratna secara sederhana, Master Cheng Yen segera menuju Vihara Lin-ji dan berhasil mengikuti upacara penahbisan biksu-biksuni baru.
Selesai latihan ia kembali ke rumah untuk memperdalami sutra “Fa Hua Ching” Ia bertekad membawa semangat Bodhisatva Avalokitesvara untuk menolong manusia. Di mana ada orang menderita, disitulah ia akan hadir untuk menolong.
Asal Mula “Yayasan Buddha Tzu Chi”
Dua tahun kemudian, ia berjalan-jalan ke rumah sakit untuk mengunjungi teman yang sakit. Di pintu masuk, ia terhenti karena terkejut melihat genangan darah di lantai. “Apa yang terjadi disini?” tanyanya. “Seorang wanita desa yang keguguran dibawa keluarganya ke sini. Mereka tidak mempunyai uang muka sehingga wanita itu diminta pergi.” jawab orang itu.
Apakah manusia sudah begitu kejam sehingga tega mengusir kaum sakit dari rumah sakit hanya karena tidak mempunyai uang? ia bertanya kepada dirinya sendiri. Ia tidak dapat berkata apa-apa, kejadian mengerikan di rumah sakit masih mengganggu pikirannya.
Kebetulan ada tiga orang biarawati Kristen dari Sekolah Menengah Hai-xing Hualien datang berkunjung kepada Master Cheng Yen, mereka membahas tentang guru manusia, tujuan dan makna agama. Sebelum meninggalkan Master Cheng Yen, biarawati berkata : “Hari ini akhirnya saya mengerti kalau kewelas asihan Sang Buddha melingkupi segala jenis kehidupan, benar-benar sangat agung.
Namun, walau cinta kasih universal Tuhan dalam agama Kristen hanya demi umat manusia saja, tetapi kami mendirikan begitu banyak gereja, rumah sakit dan panti jompo di dalam masyarakat, lalu apa saja karya nyata dari agama Buddha bagi masyarakat?”
Seketika hati Master Cheng Yen terasa terbenam, penganut agama Buddha sering berbuat amal tanpa mau diketahui orang, namun masing-masing berbuat sendiri tanpa mau bersatu. Sayang sekali semua hati cinta kasih melimpah ini tercerai berai tanpa terorganisir. Master Cheng Yen memutuskan untuk menyatukan semua kekuatan ini, dimulai dari upaya menolong orang miskin. Dia sudah tahu apa yang harus dikerjakan.
Tanggal 14 Mei 1966 (tanggal 24 bulan 3 penanggalan lunar), “Yayasan Amal Penanggulangan Kesusahan Tzu Chi” resmi didirikan. Kegiatan amal Tzu Chi dimulai dengan enam orang murid Master Cheng Yen yang setiap orang setiap hari membuat sepasang sepatu bayi lebih banyak.
Dengan bantuan beberapa gadis desa yang telah kenal baik dengannya, ia menebang batang bambu dan membuatnya menjadi mangkuk lalu memberikan mangkuk itu kepada 30 ibu rumah tangga yang biasa mengunjunginya. "Sebelum kalian pergi ke pasar setiap hari, ambillah 50 sen dari uang belanja kalian dan simpanlah ke dalam mangkuk untuk disumbangkan bagi kaum miskin?” jelasnya.
”Bukankah lebih mudah jika kita menyumbang 15 dollar setiap akhir bukan?” tanya mereka. “Tidak, jika berdana sebulan sekali, kalian melakukan perbuatan baik hanya sekali sebulan?”
Para ibu tersebut mulai menabung, memberi makanan, pakaian, dan tempat tinggal untuk disumbangkan ke keluarga miskin dan tuna wisma, dan kaum tua yang hidup sebatang kara mereka dampingi dan rawat.
Pada bulan kedua berdirinya yayasan, Tzu Chi telah mampu membantu kehidupan seorang wanita lanjut usia sebatang kara asal Tiongkok, Tzu Chi mengupah orang untuk setiap hari mengantarkan makanan dan membersihkan rumah nenek tua ini, sampai saat nenek tua meninggal dunia, Tzu Chi membantu pemakamannya. Sebuah proyek maha agung namun penuh kesulitan telah dimulai sejak saat itu.
Ketika sepasang mata melihat, ribuan pasang mata ikut melihat.
Ketika sepasang tangan bergerak, ribuan pasang tangan ikut bergerak.
Berita pendirian rumah sakit modern berperalatan lengkap menggugah perasaan rakyat Taiwan. Hasilnya, dana sebesar 700 dollar Taiwan terkumpul. Dan pada tanggal 17 Agusuts 1986, 100 ranjang di rumah sakit Umum Buddhis Tzu-Chi siap melayani pasien.
Suatu hari, seorang gadis berusia 15 tahun mengalami kerusakan otak berat akibat kecelakaan mobil. Setibanya di rumah sakit, gadis itu berada dalam keadaan koma. “Pasien dengan kecelakaan seperti itu tipis harapannya untuk diselamatkan jika rumah sakit Buddhis Tzu-Chi belum berdiri” ungkap Dr. Tsai Swei Chang. Selang sehari kemudian, kondisi gadis itu membaik.
Rumah sakit ini penuh kasih sayang dan merupakan vihara yang dapat menyembuhkan secara fisik maupun psikologis. Dokter yang tidak berhasil menyembuhkan pasien, dengan rendah hati meminta maaf dengan air mata berlinang di pipinya. Baginya, senyum pasien adalah hal yang terindah di dunia ini.
Empat misi utama Tzu-Chi adalah amal, pengobatan, pendidikan dan kebudayaan. Sedangkan kata Tzu-Chi merupakan : Tzu - Phei - Si - Se. Tzu artinya : Memberikan cinta kasih dengan tulus ikhlas tanpa penyesalan. Phei artinya : Tabah dalam mengalami kesusahan dan celaan. Si artinya sikap saling menghargai, menghormati dan mengasihi. Se artinya : Apabila kita memberi, jangan menuntut balasan.
Pesan Maha Bhikshuni Chen Yen : ”Bersikaplah bagaikan butiran-butiran beras berkumpul menjadi satu karung, bagaikan tetesan-tetesan air berkumpul menjadi sungai. Dalam mengerjakan sesuatu, kita harus memiliki keyakinan bahwa jika kita merasa apa yang akan dikerjakan itu benar dan dikerjakan dengan cara yang benar maka kerjakanlah dan pasti akan berhasil.”
Tidak ada komentar:
Write komentar