Gunung Changbai yang
terpencil di Provinsi Jilin sangat dikenal karena tumbuhnya akar-akar
ginseng liar yang berusia ratusan atau bahkan ribuan tahun. Namun
legenda mengatakan bahwa asal ginseng adalah dari Shandong, bukan timur laut
China.
Dahulu kala ada sebuah kuil yang bernama kuil Yunmeng di gunung Yunmeng, Shandong. (Yunmeng berarti “awan-awan mimpi” dalam bahasa Mandarin). Ada dua biksu di kuil itu, satu guru dan satu murid. Sang guru tidak pernah ingin membaca kitab-kitab Buddha ataupun bekerja di ladang.
Ia memperlakukan murid mudanya begitu kejam, dan si biksu kecil menjadi pucat dan terlihat sangat lemah.
Suatu hari biksu tua itu pergi meninggalkan kuil dan membiarkan si murid kecil bekerja sendirian di kuil itu. Muncullah seorang anak memakai celemek merah. Tidak seorang pun tahu dari mana ia berasal. Ia membantu biksu kecil itu bekerja. Sejak saat itu, kapanpun biksu tua pergi, anak itu datang membantu biksu muda bekerja di kuil. Begitu orang tua itu datang, anak kecil itu menghilang.
Seiring waktu berlalu, biksu tua memperhatikan bahwa muridnya terlihat agak merah dan ia sepertinya bisa menyelesaikan setiap pekerjaan yang diberikan. Biksu tua menjadi bingung dan ia berpikir ini adalah sesuatu yang benar-benar aneh. Ia memanggil muridnya dan menginterogasinya mengenai apa yang terjadi. Dengan rasa malas, biksu muda memberitahukan yang sebenarnya. Biksu tua berpikir, “Ada sedikit orang tinggal di gunung ini, lalu dari mana asal anak kecil bercelemek merah itu? Jangan-jangan dia ‘batang tumbuhan obat’ (ginseng) yang legendaris itu.” Karena itu, ia mengambil sehelai benang merah dari kantongnya, memasangnya pada sebatang jarum, dan memberikanya kepada biksu muda. Ia memerintahkan biksu muda untuk menusukkan jarum itu ke celemek merah bocah itu jika ia muncul lagi.
Hari berikutnya, biksu tua itu pergi. Si biksu muda ingin memberitahu bocah itu apa yang telah terjadi, tapi ia sangat takut. Ia akhirnya menusukkan jarum itu ke celemek merah sang bocah ketika bocah itu akan bergegas pulang. Pagi-pagi sekali di hari berikutnya, biksu tua mengunci muridnya di kuil, dan kemudian mengambil cangkulnya dan mengikuti benang merah dengan segala cara hingga ke sebuah pohon cemara tua berwarna merah. Di sana ia menemukan satu batang tanaman obat.
Si biksu tua mengambil anak ginseng itu kembali ke kuil dan menaruhnya di dalam sebuah periuk berisi air. Lalu ia menindih penutupnya dengan sebuah batu. Kemudian, ia memanggil muridnya untuk menyalakan api dan memasaknya. Sayangnya ia harus pergi lagi atas panggilan mendesak dari temannya yang tidak bisa ia tolak. Sebelum pergi, ia memberitahu biksu muda dengan serius, “Kamu tidak boleh membuka penutupnya sebelum saya kembali.” Setelah biksu tua itu pergi, periuk itu tak henti-hentinya mengeluarkan bau yang fantastik.
Si biksu muda tak kuasa menahan penasaran. Ia mengabaikan perintah gurunya, menyingkirkan batu itu, dan mengangkat tutup periuk itu. Baunya sungguh nikmat hingga ia mencabut sepotong batang untuk dicoba. Sangat manis dan berair! Maka, lupa segalanya, si biksu kecil melahap habis semua ginseng dan sup itu. Kemudian, biksu tua datang terburu-buru. Si murid sangat gelisah ingin melakukan sesuatu sehingga ia lari ke arah kuil. Tiba-tiba, ia merasa kakinya menjadi ringan, dan ia terbang ke langit. Ketika biksu tua melihat pemandangan ini, ia tahu bahwa muridnya telah memakan semua ginseng itu. Ia sangat sedih.
Sebenarnya, bocah dengan celemek merah itu adalah akar ginseng. Ia adalah satu di antara sepasang batang ginseng yang hidup di bawah pohon cemara tua berwarna merah itu. Sejak biksu tua hanya mengambil salah satu dari mereka, salah satu yang masih tertinggal menangis karena kesepian. Pohon cemara merah berkata, “Anak baik, jangan menangis. Saya akan membawa kamu ke timur laut China dimana ada sedikit orang di sana. Di sana saya bisa melindungi kamu selamanya.” Si ginseng berhenti menangis, dan mengikuti pohon cemara tua melarikan diri. Mereka menetap di gunung Changbai di timur laut China. Sejak itu kemudian, tidak ada ginseng lagi di pedalaman China. Sebaliknya, akar-akar ginseng di gunung Changbai jadi semakin berlimpah-limpah.
Dahulu kala ada sebuah kuil yang bernama kuil Yunmeng di gunung Yunmeng, Shandong. (Yunmeng berarti “awan-awan mimpi” dalam bahasa Mandarin). Ada dua biksu di kuil itu, satu guru dan satu murid. Sang guru tidak pernah ingin membaca kitab-kitab Buddha ataupun bekerja di ladang.
Ia memperlakukan murid mudanya begitu kejam, dan si biksu kecil menjadi pucat dan terlihat sangat lemah.
Suatu hari biksu tua itu pergi meninggalkan kuil dan membiarkan si murid kecil bekerja sendirian di kuil itu. Muncullah seorang anak memakai celemek merah. Tidak seorang pun tahu dari mana ia berasal. Ia membantu biksu kecil itu bekerja. Sejak saat itu, kapanpun biksu tua pergi, anak itu datang membantu biksu muda bekerja di kuil. Begitu orang tua itu datang, anak kecil itu menghilang.
Seiring waktu berlalu, biksu tua memperhatikan bahwa muridnya terlihat agak merah dan ia sepertinya bisa menyelesaikan setiap pekerjaan yang diberikan. Biksu tua menjadi bingung dan ia berpikir ini adalah sesuatu yang benar-benar aneh. Ia memanggil muridnya dan menginterogasinya mengenai apa yang terjadi. Dengan rasa malas, biksu muda memberitahukan yang sebenarnya. Biksu tua berpikir, “Ada sedikit orang tinggal di gunung ini, lalu dari mana asal anak kecil bercelemek merah itu? Jangan-jangan dia ‘batang tumbuhan obat’ (ginseng) yang legendaris itu.” Karena itu, ia mengambil sehelai benang merah dari kantongnya, memasangnya pada sebatang jarum, dan memberikanya kepada biksu muda. Ia memerintahkan biksu muda untuk menusukkan jarum itu ke celemek merah bocah itu jika ia muncul lagi.
Hari berikutnya, biksu tua itu pergi. Si biksu muda ingin memberitahu bocah itu apa yang telah terjadi, tapi ia sangat takut. Ia akhirnya menusukkan jarum itu ke celemek merah sang bocah ketika bocah itu akan bergegas pulang. Pagi-pagi sekali di hari berikutnya, biksu tua mengunci muridnya di kuil, dan kemudian mengambil cangkulnya dan mengikuti benang merah dengan segala cara hingga ke sebuah pohon cemara tua berwarna merah. Di sana ia menemukan satu batang tanaman obat.
Si biksu tua mengambil anak ginseng itu kembali ke kuil dan menaruhnya di dalam sebuah periuk berisi air. Lalu ia menindih penutupnya dengan sebuah batu. Kemudian, ia memanggil muridnya untuk menyalakan api dan memasaknya. Sayangnya ia harus pergi lagi atas panggilan mendesak dari temannya yang tidak bisa ia tolak. Sebelum pergi, ia memberitahu biksu muda dengan serius, “Kamu tidak boleh membuka penutupnya sebelum saya kembali.” Setelah biksu tua itu pergi, periuk itu tak henti-hentinya mengeluarkan bau yang fantastik.
Si biksu muda tak kuasa menahan penasaran. Ia mengabaikan perintah gurunya, menyingkirkan batu itu, dan mengangkat tutup periuk itu. Baunya sungguh nikmat hingga ia mencabut sepotong batang untuk dicoba. Sangat manis dan berair! Maka, lupa segalanya, si biksu kecil melahap habis semua ginseng dan sup itu. Kemudian, biksu tua datang terburu-buru. Si murid sangat gelisah ingin melakukan sesuatu sehingga ia lari ke arah kuil. Tiba-tiba, ia merasa kakinya menjadi ringan, dan ia terbang ke langit. Ketika biksu tua melihat pemandangan ini, ia tahu bahwa muridnya telah memakan semua ginseng itu. Ia sangat sedih.
Sebenarnya, bocah dengan celemek merah itu adalah akar ginseng. Ia adalah satu di antara sepasang batang ginseng yang hidup di bawah pohon cemara tua berwarna merah itu. Sejak biksu tua hanya mengambil salah satu dari mereka, salah satu yang masih tertinggal menangis karena kesepian. Pohon cemara merah berkata, “Anak baik, jangan menangis. Saya akan membawa kamu ke timur laut China dimana ada sedikit orang di sana. Di sana saya bisa melindungi kamu selamanya.” Si ginseng berhenti menangis, dan mengikuti pohon cemara tua melarikan diri. Mereka menetap di gunung Changbai di timur laut China. Sejak itu kemudian, tidak ada ginseng lagi di pedalaman China. Sebaliknya, akar-akar ginseng di gunung Changbai jadi semakin berlimpah-limpah.
Tidak ada komentar:
Write komentar