Semua
orang juga tahu bahwa, "Seseorang yang mudah merasa puas diri, akan
mudah pula menemukan kebahagiaan," tetapi amat sedikit yang benar-benar
dapat memandang hambar terhadap ketenaran dan keuntungan di dalam
hidupnya. Jika seseorang menginginkan kehidupan yang bahagia, satu
kebijakan yang harus dijalani adalah melepaskan nafsu keinginan diri
sendiri. Itulah yang terpenting.
Memandang hambar pada ketenaran dan keuntungan bukan saja dapat memperpanjang usia, tetapi juga dapat memurnikan tubuh dan pikiran, membuat diri sendiri merasakan kebebasan dan keleluasaan yang sejati.
Sekarang telah melewati waktu ribuan tahun, dan kebanyakan orang masih saja mencari ketenaran dan keuntungan, jatuh bangun di dalam dunia ini, sibuk dalam mencari keuntungan materi sepanjang hidup mereka. Meski bagaimana kekayaan material di dunia ini sangat terbatas, sedangkan nafsu keinginan manusia terhadap kekayaan adalah tak terbatas.
Dalam masyarakat realitas ini, seseorang yang berumur
setengah baya jika belum juga mengerti bagaimana untuk memandang hambar
berbagai nafsu keinginan, maka hal-hal yang tidak berkenan di hati kian
hari akan kian bertambah datang menghampiri kita.
Su Dongpo menulis puisi ini, ketika ia diturunkan jabatannya dan dimutasi ke kota Huangzhou sebagai wakil milisia. Ia tinggal di sana selama lima tahun. Selama berada di Huangzhou, Su Dongpo mengalami tekanan bathin yang membuatnya menderita, tetapi ia tidak patah semangat di tengah penderitaan. Puisi ini mencerminkan pikiran pengarangnya yang luas terbuka : yaitu mengabaikan ketenaran atau keuntungan, merindukan kebebasan dan ketenangan mental, lapang dada serta pikiran lurus.
Memandang hambar pada ketenaran dan keuntungan bukan saja dapat memperpanjang usia, tetapi juga dapat memurnikan tubuh dan pikiran, membuat diri sendiri merasakan kebebasan dan keleluasaan yang sejati.
Sekarang telah melewati waktu ribuan tahun, dan kebanyakan orang masih saja mencari ketenaran dan keuntungan, jatuh bangun di dalam dunia ini, sibuk dalam mencari keuntungan materi sepanjang hidup mereka. Meski bagaimana kekayaan material di dunia ini sangat terbatas, sedangkan nafsu keinginan manusia terhadap kekayaan adalah tak terbatas.
Baru-baru ini aku reuni dengan beberapa teman sekelas
dahulu di SMA. Meski mereka baru berumur 40an, kebanyakan dari
mereka telah kehilangan rambut dan sebagian bahkan telah ubanan. Sulit
dipercaya bahwa mereka adalah seusia denganku. Aku tanya mereka apa yang
telah terjadi. Mereka semua berkata bahwa tekanan-tekanan hidup dan
pekerjaan sepanjang waktu telah membebani usia mereka.
Mereka
bertanya kepadaku bagaimana aku mengaturnya sehingga tetap memiliki
kesehatan yang baik sedemikian rupa. Aku menjawab, "Sekali seseorang
memandang hambar pada ketenaran, keuntungan dan nafsu keinginan, ia
segera akan memiliki perasaan yang terbebaskan. Bagi orang yang berniat
menjalani kultivasi, hal pertama yang harus dilakukan ialah mengeliminir
nafsu keinginan dan membersihkan pikirannya."
Jika
kita memperhatikan dunia ini dengan tenang, kita akan melihat setiap
orang itu sibuk sepanjang hidup mereka, tetapi sesungguhnya untuk apa?
Kapan baru dapat melupakan semua ini agar tidak lagi mengejar berbagai
hal dengan susah payah ? Aku pikir kata mutiara dari pujangga Su Dongpo
betul-betul telah menampilkan kondisi hati yang dimaksud, " Aku selalu
menyayangkan bahwa tubuh ini bukanlah milikku, sampai kapan aku
berhenti menikmatinya demi kepentingan sendiri?"
Sebuah sajak dari Su Dongpo yang berjudul "Orang suci yang
berada di tepi sungai" ( Lin Jiang Xian ).
Minum arak di malam hari membuat Dongpo mabuk tertidur, setelah bangun kembali minum hingga mabuk lagi.
Ketika pulang ke rumah tampaknya telah jam tiga menjelang subuh.
Pelayan cilikku tertidur lelap suara dengkurnya seperti guntur.
Pintu digedor-gedor tetapi tiada respon.
Maka aku berjalan ke sungai Yangtze dengan sebuah tongkat mendengarkan bunyi sungai yang mengalir.
Aku selalu menyayangkan bahwa tubuh ini bukanlah milikku,
Kapan aku akan berhenti menikmatinya demi kepentingan diri?
Malam menjadi semakin gelap, tiada tiupan angin.
Kurai-kurai di lembah gunung menjadi datar.
Aku akan menenangkan segalanya dan pergi dengan mengayuh perahu kecil ku,
Menggantungkan hari-hari ku kepada sungai dan laut.
Su Dongpo menulis puisi ini, ketika ia diturunkan jabatannya dan dimutasi ke kota Huangzhou sebagai wakil milisia. Ia tinggal di sana selama lima tahun. Selama berada di Huangzhou, Su Dongpo mengalami tekanan bathin yang membuatnya menderita, tetapi ia tidak patah semangat di tengah penderitaan. Puisi ini mencerminkan pikiran pengarangnya yang luas terbuka : yaitu mengabaikan ketenaran atau keuntungan, merindukan kebebasan dan ketenangan mental, lapang dada serta pikiran lurus.
Su Dongpo
patut disebut sebagai orang berbakat yang genius dengan watak yang
tidak dapat dihalangi. "Malam menjadi semakin gelap, tiada tiupan angin,
kurai-kurai di lembah gunung menjadi datar". Bait puisi tersebut
melukiskan suatu pemandangan yang betapa tenang dan damai, pemandangan
indah seperti ini perlu sebuah hati yang tenang dan bebas baru dapat
merasakannya.
Setelah sadar kembali dari mabuknya,
Ia seolah terbangun dari sebuah mimpi, maka ia berkata, " Aku akan
menenangkan segalanya dan pergi dengan mengayuh perahu kecil ku,
menggantungkan hari-hariku kepada sungai dan laut."
Ini
adalah betapa terbuka pikirannya dan terbebas dari hal-hal duniawi!
Mengayuh perahu kecil, bergerak mengikuti arus, mengarungi sungai dan
laut, pergi kemana saja sesuai kehendak, menempatkan kehidupannya yang
terbatas pada alam semesta yang tanpa batas – betapa indah nan alami.
Dongpo telah terbebas dalam memandang kehormatan dan aib, ia sudah tidak
lagi terikat dengan pengejaran-pengejaran duniawi. Dengan demikian
pemikirannya mampu menjangkau sesuatu di luar langit dan bumi, sehingga
tersusunlah bait-bait sajak yang sangat terkenal ini.
Tidak ada komentar:
Write komentar