Dalam perjalanan hidup ini, sering kali kita lebih mengutamakan harta benda dari nyawa kita sendiri. Harta benda bisa dicari kembali, tapi kalau
nyawa sudah tiada maka hidup pun berakhir sampai di situ. Ada seseorang yang setelah bertahun-tahun berdagang
mendapatkan banyak keping emas, memutuskan untuk pulang. Tapi jalan yang
akan dilaluinya tidak mudah, karena harus menyeberangi hamparan padang
pasir yang ganas.
Dengan pertimbangkan membawa makanan dan air yang
banyak, ditambah lagi dengan kepingan emasnya, ini pasti cukup berat.
Sehingga akan membuatnya lamban kalau berjalan. Karena itu dia
memutuskan, mengurangi air dan makanan, sehingga akan dapat mengurangi
beban, dan memudahkan secepatnya keluar dari padang pasir.
Setelah
mengarungi padang pasir, karena bekal yang dibawanya terbatas dalam
waktu singkat telah habis. Ia memikul kepingan emas dan melangkah dengan
susah payah di padang pasir, ia cukup menyesal hanya membawa sedikit
makanan dan air. Tapi di benaknya, ia akan merasa lega kalau bisa
secepatnya keluar dari padang pasir ini. Lalu ia melanjutkan
perjalanannya sambil menahan haus dan lapar sekaligus memberi semangat
pada dirinya.
Ketika rasa haus dan laparnya tak
tertahankan lagi, sayup-sayup ia mendengar suara lonceng unta, ia
bertemu dengan serombongan pedagang yang berjalan ke arah lain di padang
pasir. Di atas pundak unta rombongan pedagang itu tergantung sekantong
air. Ia meminta sedikit air pada rombongan pedagang itu, namun kafilah
itu tidak bersedia memberikan airnya. Kafilah-kafilah itu hendak menjual
airnya dengan mahal, sebab di padang pasir, air sangat berharga.
Orang
ini meraba-raba kantong yang berisi kepingan emas, kemudian menjadi
ragu. Ia berpikir, kalau sudah beli air itu, maka ia dapat keluar dari
padang pasir. Tapi ia takut emas yang dikumpulkan selama bertahun-tahun
itu akan banyak terbuang! Ia menggeretakkan giginya, lalu berkata pada
kafilah itu, “Saya tidak jadi beli, selama saya bisa menahan haus dan
lapar saya bisa keluar dari padang pasir ini.” Setelah itu, ia
melanjutkan perjalanan sambil memikul tas bawaannya. Kafilah itu
menertawakannya sembari berkata : “Dasar orang kikir, perjalanan masih
sangat panjang baru bisa keluar. Kalau tidak ada air, kau tidak akan
bisa keluar hidup-hidup.” Ia tidak peduli dengan ejekan kafilah itu dan
melanjutkan perjalanannya.
Karena tidak ada air,
ia merasa tenggorokannya kering, kepalanya pusing mata berkunang-kunang,
lemas tidak bertenaga. Namun ia tetap bersikeras terus berjalan, 2 hari
kemudian, ia merasa dirinya hampir tidak sanggup bertahan lagi.
Tepat
di saat itu, kembali ia mendengar lonceng unta, lagi-lagi serombongan
kafilah padang pasir berlalu di sisinya. Lalu ia meminta minum pada
kafilah ini. Tapi kafilah ini menjual airnya lebih mahal. Kalau bukan
karena lemas, lapar dan haus yang tak tertahankan, sudah pasti ia akan
meloncat kaget, hanya sekantong kecil air, harus menghabiskan emas yang
didapat dengan susah payah selama bertahun-tahun ! Ia tidak jadi beli,
lalu melanjutkan perjalanannya.
Kafilah ini
berseru padanya : “Hei, kalau tidak ada air, kau tidak akan bisa keluar
hidup-hidup dari padang pasir. Keluarkan beberapa keping emasmu, selain
dapat mengurangi bebanmu, kau juga bisa keluar dengan selamat dari
padang pasir. Sebenarnya mana yang lebih penting emas (harta) atau
nyawa?” ia tidak peduli dan terus berjalan.
Dua
hari kemudian, dalam keadaan tidak adanya air, ia berusaha dengan susah
payah berjalan sampai di ujung padang pasir, ia juga melihat asap yang
keluar dari cerobong dapur di kejauhan. Tapi, karena sudah lemas di saat
demikian, tidak ada lagi tenaga untuk melangkah. Akhirnya ia terkulai
lemas di padang pasir .
Sebelum menghembuskan
napas terakhirnya, ia menarik napas panjang sambil berkata : “Aku begitu
tolol, jika sejak awal melepaskan ( keterikatan jiwa terhadap hal-hal
duniawi ), aku tidak akan seperti ini.
Tidak ada komentar:
Write komentar