Sore itu, saya baru pulang kerja. Seperti biasa, setelah
meletakkan tas kerja dan barang-barang bawaan, saya langsung menuju
kamar mandi untuk mencuci kaki dan tangan, kemudian menuju kamar mama
untuk menyapa mama yang terbaring di ranjang.
Sudah tiga tahun terakhir ini mama tidak dapat berjalan. Walaupun tidak dapat berjalan, beliau masih bisa merangkak di lantai untuk keluar dari kamarnya menuju ruang keluarga sekedar untuk menonton TV atau berbaring sejenak di sofa hitam favorit keluarga.
Tapi tiga bulan terakhir kondisinya semakin parah, sehingga mama hanya bisa berbaring di tempat tidur. Saya masuk ke kamar mama dan menyapa mama dengan ciuman. Mama membuka matanya sejenak, kemudian kembali terpejam.
Ketika saya menanyakan kabarnya, beliau hanya bergumam tidak jelas sambil mengeluh capek. Saya pun duduk di pinggir ranjang mama. Melihat mama yang kelelahan, saya hanya bisa terdiam tanpa dapat melakukan apapun.
Tiba-tiba mama minta dikipasi. Karena tidak ada kipas, saya menyambar selembar kertas lusuh yang tergeletak di atas ranjang mama. Saya menggunakan kertas itu untuk mengipasi mama. Tidak lama, mama tertidur. Tanpa sadar perhatian saya tertuju pada brosur tersebut.
Ternyata brosur berwarna hitam dan memuat beberapa foto orang yang sudah sangat renta itu berisi puisi dalam bahasa Mandarin di sebelah kiri dan di sebelah kanannya adalah terjemahan dalam bahasa Indonesia. Puisi itu berjudul Disaat Daku Tua. Berikut kutipan puisinya :
DI SAAT DAKU TUA
Di saat daku tua, bukan lagi diriku yang dulu,
maklumilah diriku, bersabarlah dalam menghadapiku.
Di saat daku menumpahkan kuah sayuran di bajuku, di saat daku tidak lagi mengingat cara mengikatkan tali sepatu, Ingatlah saat-saat bagaimana daku mengajarimu, membimbingmu untuk melakukannya.
Di saat saya dengan pikunnya mengulang terus menerus ucapan yang membosankanmu,
Bersabarlah mendengarkanku, jangan memotong ucapanku,
Di masa kecilmu, daku harus mengulang dan mengulang terus sebuah cerita yang telah saya ceritakan ribuan kali hingga dirimu terbuai dalam mimpi.
Di saat saya membutuhkanmu untuk memandikanku,
Janganlah menyalahkanku. Ingatlah di masa kecilmu, bagaimana daku dengan berbagai cara membujukmu untuk mandi?
Di saat saya kebingungan menghadapi hal-hal baru dan teknologi modern,
Janganlah menertawaiku. Renungkan bagaimana daku dengan sabarnya menjawab setiap “mengapa” yang engkau ajukan di saat itu.
Di saat kedua kakiku terlalu lemah untuk berjalan,
Ulurkanlah tanganmu yang muda dan kuat untuk memapahku. Bagaikan di masa kecilmu daku menuntunmu melangkahkan kaki untuk belajar berjalan.
Di saat daku melupakan topik pembicaraan kita,
Berilah sedikit waktu padaku untuk mengingatnya. Sebenarnya, topik pembicaraan bukanlah hal yang penting bagiku, asalkan engkau berada di sisiku untuk mendengarkanku, daku telah bahagia.
Di saat engkau melihat diriku menua, janganlah bersedih.
Maklumilah diriku, dukunglah daku, bagaikan daku terhadapmu di saat engkau mulai belajar tentang kehidupan.
Dulu daku menuntunmu menapaki jalan kehidupan ini, kini temanilah daku hingga akhir jalan hidupku, berilah daku cinta kasih dan kesabaranmu, Daku akan menerimanya dengan senyuman penuh syukur, di dalam senyumku ini, tertanam kasihku yang tak terhingga bagimu.
Sejenak, saya terpekur menatapi lembar brosur tua tersebut, kemudian saya membaca kembali sambil mencari nama penulis puisi tersebut. Tapi saya tidak dapat menemukan nama penulisnya. Yang saya temukan adalah tulisan “tidak diperjual-belikan”.
Membaca kalimat tidak diperjual-belikan, saya yakin, tujuan penulisan dan penyebaran brosur itu pasti untuk amal atau sekadar untuk mengingatkan siapa saja yang membacanya, agar jangan menyia-nyiakan orang tua yang telah melahirkan, merawat, dan mendidiknya hingga besar dan menjadi individu yang mandiri.
Jika saja saya menemukan brosur itu di saat yang berbeda, mungkin brosur itu tidak akan terlalu menyita perhatian saya. Mungkin saya akan merasa sedikit bersimpati dan merasa bahwa itu adalah sebuah puisi yang bagus. That’s it. Hanya itu.
Tapi karena saya membaca puisi itu di hadapan mama yang tergeletak tak berdaya di atas tempat tidur, di mana setiap kebutuhan mama selalu tergantung pada orang yang ada di sampingnya, mulai dari makan, duduk, membalikkan badan, apalagi membersihkan diri sendiri, semua harus dibantu oleh orang lain, maka efek puisi itu begitu besar terhadap saya.
Saya sampai menitikkan air mata ketika membaca puisi tersebut. Saya merasa inilah saatnya bagi saya untuk membalas semua budi baik yang telah mama lakukan pada saat saya masih kecil. Sanggupkah saya membalas semua budi mama pada saya?
Yang pasti brosur lusuh itu telah membuka pikiran saya. Saya masih punya kesempatan yang begitu besar untuk membalas kebaikan yang telah mama berikan. Walau tidak sanggup membalas semuanya, paling tidak saya mencoba melakukan semaksimal mungkin yang saya bisa. Jadi, betapa bersyukurnya saya yang masih tinggal serumah dengan mama, karena itu berarti saya punya kesempatan yang begitu besar untuk melayaninya, seperti dulu beliau melayani saya.
Saya ingat beberapa tahun yang lalu, waktu itu ayah mertua saya dirawat di rumah sakit. Kebetulan yang menjaganya adalah ibu mertua. Kecuali pada hari sabtu dan minggu, suami saya akan menggantikan ibunya menjaga ayahnya.
Entah karena memang sudah waktunya atau apa, pada saat itu, ayah mertua saya agak rewel, sehingga membuat suami saya kesal. Setiap beberapa menit suami saya menelpon dan dengan kesal mengeluhkan ayahnya yang rewel, tidak mau makan, dan tidak mau minum obat. Pada saat itu, saya hanya mengingatkan dia untuk sabar menghadapi ayahnya. Karena ayahnya sudah dirawat begitu lama di rumah sakit, wajar jika dia agak kesal dan capek.
Dua hari berselang, tepatnya pada hari selasa pagi, pada saat kami semua akan pergi kerja, ibu mertua mengabarkan ayah sedang kritis, dan beberapa jam kemudian, ayah mertua meninggal dunia. Mendengar ayah mertua meninggal, saya hanya termenung. Tetapi suami saya sangat terpukul dan berulang kali menyesali ketidaksabarannya menghadapi ayahnya pada detik-detik terakhirnya.
Akhirnya yang tersisa hanya penyesalan yang selalu datang terlambat. Suami saya selalu berpikir seandainya pada saat itu dia punya sedikit saja kesabaran, pasti dia akan menanggapi kerewelan ayahnya dengan cara yang lain. Tapi apa boleh buat nasi sudah menjadi bubur. Kita tidak mungkin dapat memutarbalikkan waktu untuk memberi kita kesempatan yang sama.
Ada sebuah pepatah yang mengatakan bahwa air tidak mungkin mengalir ke atas. Air senantiasa mengalir ke bawah. Arti peribahasa itu adalah bahwa kasih sayang orang tua kepada anak adalah sesuatu yang wajar, yang memang sudah kodratnya.
Kasih sayang orang tua kepada anak itu tiada batasnya. ”Bagai sang surya menyinari dunia”, begitu seorang penulis lagu menggambarkan kasih sayang orang tua kepada kita. Tidak ada batas ruang dan waktu, begitu abadi dan tanpa syarat. Sedangkan kasih sayang anak kepada orang tua itu sangat terbatas. Bahkan, ada anak yang menghitung untung-ruginya dengan orang tua. Sehari-hari, kita juga sering menemukan, entah di media cetak atau elektronik, berita mengenai anak yang melakukan perbuatan-perbuatan tak terpuji terhadap orang tuanya.
Betapa bersyukurnya saya, punya kesempatan yang begitu besar untuk membalas jasa mama. Walau hanya sekadar meluangkan sedikit waktu yang tersisa. Semua itu akan sangat terasa karena mama pernah berkata pada saya bahwa waktunya yang tersisa sudah tidak banyak. Dan mama juga pernah mengatakan, “janganlah selalu memberi saya uang, karena saya sudah tidak dapat lagi menggunakannya, tetapi berilah saya sedikit dari waktu kalian untuk mengobrol dengan saya.”
Mendengar kata-kata mama tersebut mengingatkan saya akan betapa pendeknya waktu saya yang tersisa untuk mama, karena sebagian besar waktu yang saya memiliki saya gunakan untuk bekerja. Kalau dipikir-pikir, saya masih memiliki waktu yang begitu panjang untuk bekerja, lalu kenapa saya selalu terlalu sibuk untuk sejenak berhenti dan mendengarkan, menghibur dan bernostalgia bersama mama? ( Anita Hia )
Sudah tiga tahun terakhir ini mama tidak dapat berjalan. Walaupun tidak dapat berjalan, beliau masih bisa merangkak di lantai untuk keluar dari kamarnya menuju ruang keluarga sekedar untuk menonton TV atau berbaring sejenak di sofa hitam favorit keluarga.
Tapi tiga bulan terakhir kondisinya semakin parah, sehingga mama hanya bisa berbaring di tempat tidur. Saya masuk ke kamar mama dan menyapa mama dengan ciuman. Mama membuka matanya sejenak, kemudian kembali terpejam.
Ketika saya menanyakan kabarnya, beliau hanya bergumam tidak jelas sambil mengeluh capek. Saya pun duduk di pinggir ranjang mama. Melihat mama yang kelelahan, saya hanya bisa terdiam tanpa dapat melakukan apapun.
Tiba-tiba mama minta dikipasi. Karena tidak ada kipas, saya menyambar selembar kertas lusuh yang tergeletak di atas ranjang mama. Saya menggunakan kertas itu untuk mengipasi mama. Tidak lama, mama tertidur. Tanpa sadar perhatian saya tertuju pada brosur tersebut.
Ternyata brosur berwarna hitam dan memuat beberapa foto orang yang sudah sangat renta itu berisi puisi dalam bahasa Mandarin di sebelah kiri dan di sebelah kanannya adalah terjemahan dalam bahasa Indonesia. Puisi itu berjudul Disaat Daku Tua. Berikut kutipan puisinya :
DI SAAT DAKU TUA
Di saat daku tua, bukan lagi diriku yang dulu,
maklumilah diriku, bersabarlah dalam menghadapiku.
Di saat daku menumpahkan kuah sayuran di bajuku, di saat daku tidak lagi mengingat cara mengikatkan tali sepatu, Ingatlah saat-saat bagaimana daku mengajarimu, membimbingmu untuk melakukannya.
Di saat saya dengan pikunnya mengulang terus menerus ucapan yang membosankanmu,
Bersabarlah mendengarkanku, jangan memotong ucapanku,
Di masa kecilmu, daku harus mengulang dan mengulang terus sebuah cerita yang telah saya ceritakan ribuan kali hingga dirimu terbuai dalam mimpi.
Di saat saya membutuhkanmu untuk memandikanku,
Janganlah menyalahkanku. Ingatlah di masa kecilmu, bagaimana daku dengan berbagai cara membujukmu untuk mandi?
Di saat saya kebingungan menghadapi hal-hal baru dan teknologi modern,
Janganlah menertawaiku. Renungkan bagaimana daku dengan sabarnya menjawab setiap “mengapa” yang engkau ajukan di saat itu.
Di saat kedua kakiku terlalu lemah untuk berjalan,
Ulurkanlah tanganmu yang muda dan kuat untuk memapahku. Bagaikan di masa kecilmu daku menuntunmu melangkahkan kaki untuk belajar berjalan.
Di saat daku melupakan topik pembicaraan kita,
Berilah sedikit waktu padaku untuk mengingatnya. Sebenarnya, topik pembicaraan bukanlah hal yang penting bagiku, asalkan engkau berada di sisiku untuk mendengarkanku, daku telah bahagia.
Di saat engkau melihat diriku menua, janganlah bersedih.
Maklumilah diriku, dukunglah daku, bagaikan daku terhadapmu di saat engkau mulai belajar tentang kehidupan.
Dulu daku menuntunmu menapaki jalan kehidupan ini, kini temanilah daku hingga akhir jalan hidupku, berilah daku cinta kasih dan kesabaranmu, Daku akan menerimanya dengan senyuman penuh syukur, di dalam senyumku ini, tertanam kasihku yang tak terhingga bagimu.
Sejenak, saya terpekur menatapi lembar brosur tua tersebut, kemudian saya membaca kembali sambil mencari nama penulis puisi tersebut. Tapi saya tidak dapat menemukan nama penulisnya. Yang saya temukan adalah tulisan “tidak diperjual-belikan”.
Membaca kalimat tidak diperjual-belikan, saya yakin, tujuan penulisan dan penyebaran brosur itu pasti untuk amal atau sekadar untuk mengingatkan siapa saja yang membacanya, agar jangan menyia-nyiakan orang tua yang telah melahirkan, merawat, dan mendidiknya hingga besar dan menjadi individu yang mandiri.
Jika saja saya menemukan brosur itu di saat yang berbeda, mungkin brosur itu tidak akan terlalu menyita perhatian saya. Mungkin saya akan merasa sedikit bersimpati dan merasa bahwa itu adalah sebuah puisi yang bagus. That’s it. Hanya itu.
Tapi karena saya membaca puisi itu di hadapan mama yang tergeletak tak berdaya di atas tempat tidur, di mana setiap kebutuhan mama selalu tergantung pada orang yang ada di sampingnya, mulai dari makan, duduk, membalikkan badan, apalagi membersihkan diri sendiri, semua harus dibantu oleh orang lain, maka efek puisi itu begitu besar terhadap saya.
Saya sampai menitikkan air mata ketika membaca puisi tersebut. Saya merasa inilah saatnya bagi saya untuk membalas semua budi baik yang telah mama lakukan pada saat saya masih kecil. Sanggupkah saya membalas semua budi mama pada saya?
Yang pasti brosur lusuh itu telah membuka pikiran saya. Saya masih punya kesempatan yang begitu besar untuk membalas kebaikan yang telah mama berikan. Walau tidak sanggup membalas semuanya, paling tidak saya mencoba melakukan semaksimal mungkin yang saya bisa. Jadi, betapa bersyukurnya saya yang masih tinggal serumah dengan mama, karena itu berarti saya punya kesempatan yang begitu besar untuk melayaninya, seperti dulu beliau melayani saya.
Saya ingat beberapa tahun yang lalu, waktu itu ayah mertua saya dirawat di rumah sakit. Kebetulan yang menjaganya adalah ibu mertua. Kecuali pada hari sabtu dan minggu, suami saya akan menggantikan ibunya menjaga ayahnya.
Entah karena memang sudah waktunya atau apa, pada saat itu, ayah mertua saya agak rewel, sehingga membuat suami saya kesal. Setiap beberapa menit suami saya menelpon dan dengan kesal mengeluhkan ayahnya yang rewel, tidak mau makan, dan tidak mau minum obat. Pada saat itu, saya hanya mengingatkan dia untuk sabar menghadapi ayahnya. Karena ayahnya sudah dirawat begitu lama di rumah sakit, wajar jika dia agak kesal dan capek.
Dua hari berselang, tepatnya pada hari selasa pagi, pada saat kami semua akan pergi kerja, ibu mertua mengabarkan ayah sedang kritis, dan beberapa jam kemudian, ayah mertua meninggal dunia. Mendengar ayah mertua meninggal, saya hanya termenung. Tetapi suami saya sangat terpukul dan berulang kali menyesali ketidaksabarannya menghadapi ayahnya pada detik-detik terakhirnya.
Akhirnya yang tersisa hanya penyesalan yang selalu datang terlambat. Suami saya selalu berpikir seandainya pada saat itu dia punya sedikit saja kesabaran, pasti dia akan menanggapi kerewelan ayahnya dengan cara yang lain. Tapi apa boleh buat nasi sudah menjadi bubur. Kita tidak mungkin dapat memutarbalikkan waktu untuk memberi kita kesempatan yang sama.
Ada sebuah pepatah yang mengatakan bahwa air tidak mungkin mengalir ke atas. Air senantiasa mengalir ke bawah. Arti peribahasa itu adalah bahwa kasih sayang orang tua kepada anak adalah sesuatu yang wajar, yang memang sudah kodratnya.
Kasih sayang orang tua kepada anak itu tiada batasnya. ”Bagai sang surya menyinari dunia”, begitu seorang penulis lagu menggambarkan kasih sayang orang tua kepada kita. Tidak ada batas ruang dan waktu, begitu abadi dan tanpa syarat. Sedangkan kasih sayang anak kepada orang tua itu sangat terbatas. Bahkan, ada anak yang menghitung untung-ruginya dengan orang tua. Sehari-hari, kita juga sering menemukan, entah di media cetak atau elektronik, berita mengenai anak yang melakukan perbuatan-perbuatan tak terpuji terhadap orang tuanya.
Betapa bersyukurnya saya, punya kesempatan yang begitu besar untuk membalas jasa mama. Walau hanya sekadar meluangkan sedikit waktu yang tersisa. Semua itu akan sangat terasa karena mama pernah berkata pada saya bahwa waktunya yang tersisa sudah tidak banyak. Dan mama juga pernah mengatakan, “janganlah selalu memberi saya uang, karena saya sudah tidak dapat lagi menggunakannya, tetapi berilah saya sedikit dari waktu kalian untuk mengobrol dengan saya.”
Mendengar kata-kata mama tersebut mengingatkan saya akan betapa pendeknya waktu saya yang tersisa untuk mama, karena sebagian besar waktu yang saya memiliki saya gunakan untuk bekerja. Kalau dipikir-pikir, saya masih memiliki waktu yang begitu panjang untuk bekerja, lalu kenapa saya selalu terlalu sibuk untuk sejenak berhenti dan mendengarkan, menghibur dan bernostalgia bersama mama? ( Anita Hia )
Tidak ada komentar:
Write komentar