Kebajikan ( De 德 ) - Legenda Pulo Kemaro adalah sebuah legenda yang mengisahkan Kisah cinta antara dua etnis yaitu Tan Bun An dan Siti Fatimah yang menjadi
legenda asal mula terbentuknya Pulau Kemaro ini.
Pulau Kemaro merupakan sebuah pulau kecil yang membentang diatas Sungai Musi. Sungai yang memisahkan antara seberang ulu dan seberang ilir kota Palembang. Pulau Kemaro dalam bahasa Palembang berarti “Pulau Kemarau”.
Menurut masyarakat Palembang, nama tersebut diberikan karena pulau ini tidak pernah tergenang air. Ketika air pasang besar dan volume air Sungai Musi meningkat, Pulau Kemaro tidak akan kebanjiran dan akan terlihat dari kejauhan terapung di atas perairan Sungai Musi.
Pulau Kemaro ini selalu ramai dikunjungi khususnya oleh warga Tionghoa apalagi ketika Cap Go Me tiba. Di Pulau Kemaro terdapat sebuah batu besar yang bertuliskan Legenda mengenai sejarah Pulau Kemaro/ Legenda tersebut tertera di dekat Klenteng Hok Tjing Rio yang ditulis oleh Disparbud Kota Palembang tahun 2009.
Ada juga sebuah Pohon cinta yang diyakini sebagai lambang legenda cinta Tan Bun An dan Siti Fatimah. Pohonnya sendiri memang unik, pohon ini lebih rendah dari pohon-pohon lainnya di Pulau Kemaro. Itulah sebabnya Pulau ini juga disebut sebagai Pulau Jodoh.
Konon menurut penduduk asli setempat, bila dua
orang pasang kekasih mengukir namanya di Pohon Cinta tersebut maka cinta
mereka akan abadi. Tapi kini, Pohon Cinta itu
sudah dipagari dan diberi larangan untuk tidak dicorat-coret. Masyarakat
setempat sebenarnya risih dengan aksi corat-coret tersebut, namun
wisatawan tampaknya masih tak peduli dan menulis nama diri dan
pasangannya di pagar.
Selain itu juga terdapat sebuah pagoda yang memiliki sembilan lantai dan menjulang tinggi ditengah-tengah pulau. Selain pagoda ada klenteng tua Hok Cing Bio yang diyakini telah dibangun sejak ratusan tahun lalu.
Di depan klenteng tua ini terdapat makam Tan Bun An (Pangeran) dan Siti Fatimah (Putri) yang berdampingan. Ada juga sebuah Rupang Buddha Maitreya berwarna kuning emas di belakang viharanya. Rupang Buddha ini besar dan tingginya sekitar dua meter lebih. Letak pagoda, Pohon cinta, dan patung Buddha ini saling berdekatan.
Legenda Kisah Cinta yang Romantis dibalik terbentuknya Pulau Kemaro ini
Dahulu kala ada seorang putri raja Palembang yang cantik jelita bernama Siti Fatimah. Wajahnya sangat menawan. Sehingga banyak pemuda-pemuda kaya yang datang berbondong-bondong untuk mempersuntingnya. Namun tidak ada satupun dari mereka yang berhasil, karena sang raja hanya menginginkan menantu yang berasal dari keturunan bangsawan dan yang sederajat dengannya.
Bersamaan pada waktu itu ada seorang pemuda dari negeri China bernama Tan Bun An bersama awak kapalnya berlabuh di negeri melayu tersebut dengan maksud untuk berdagang.
Tan Bun An rupanya bukanlah seorang pelayar biasa. Dia adalah putra mahkota dari raja China yang bermaksud untuk membuat hubungan dagang dengan kerajaan Palembang. Lalu dia menemui raja Palembang untuk menyampaikan maksud dari kedatangannya tersebut.
Raja Palembang menyambut kedatangan Tan Bun An dengan baik dan ramah. Sejak itu, setiap hasil yang didapat oleh Tan Bun An dari perdagangannya dibagikan kepada raja Palembang sesuai dengan perjanjian.
Hingga pada suatu waktu, Tan Bun An bertemu dengan Siti Fatimah. Tan Bun An sangat terpesona melihat kecantikan Siti Fatimah. Siti Fatimah pun tertarik dengan sosok pemuda yang gagah dan penuh sopan-santun tersebut. Akhirnya mereka pun saling jatuh cinta.
Tan Bun An tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Lalu dia membulatkan hatinya untuk melamar Siti Fatimah. Alangkah senangnya sang raja mendengar berita yang disampaikan oleh sang putra mahkota raja China tersebut. Karena Tan Bun An sangat memenuhi kriteria yang diinginkannya.
Namun sang raja meminta sebuah persyaratan yang harus dipenuhi oleh Tan Bun An, yaitu sembilan buah guci yang berisi emas sebagai mas kawin untuk putrinya. Tan Bun An pun menyanggupi persyaratan sang raja tersebut. Lalu ia menyuruh para pengawal dan awak kapalnya untuk menyampaikan berita ini kepada orang tuanya yang tidak lain adalah penguasa negeri china pada saat itu.
Awak bersama kapalnya pun kembali ke negeri China untuk menyampaikan surat dari Tan Bun An kepada raja mereka. Sementara pernikahan Tan Bun An dan Siti Fatimah dilangsungkan secara besar-besaran di Palembang.
Setelah enam bulan purnama, para awak kapal dan pengawal Tan Bun An kembali dari negeri China bersama sebuah surat dari orang tuanya dan sembilan buah guci berisi emas yang dipinta oleh raja Palembang. Namun guci-guci tersebut sengaja ditutupi oleh sayur-sayuran agar agar terhindar dari perompak laut.
Mendengar berita ini, Tan Bun An bersama Siti Fatimah dan dayang-dayang bergegas menemui awak kapal dan pengawalnya tersebut dibantaran sungai Musi Palembang.
Dalam surat yang disampaikan oleh orang tuanya itu, mereka meminta maaf kepada Tan Bun An putranya karena tidak dapat berkunjung ke Palembang untuk melihat menantu mereka yang cantik jelita tersebut. Sedangkan sesuai dengan permintaan raja Palembang, mereka sudah menyiapkan sembilan buah guci berisi emas tersebut diatas kapal.
Alangkah senangnya Tan Bun An setelah membaca surat dari orang tuanya itu. Dengan semangat, kemudian ia pun naik ke atas kapal bersama Siti Fatimah untuk memeriksa ke sembilan guci tersebut.
Namun alangkah terkejutnya Tan Bun An saat mendapati isi dari guci pertama hanyalah berupa sayur-sayuran. Belum lagi sayur-sayuran tersebut sudah membusuk dan melepaskan aroma yang tidak sedap.
Dalam hatinya berkata, bagaimana mungkin dia bisa menemui mertuanya raja Palembang itu, kalau ternyata yang ia bawa adalah guci berisi sayur-sayuran yang sudah membusuk. Pastinya dia akan sangat malu sekali.
Tan Bun An pun marah dan melemparkan guci tersebut ke dalam sungai musi. Begitu juga dengan guci-guci kedua, ketiga, ke-empat dan seterusnya. Hingga guci yang ke-sembilan, saat Tan Bun An ingin melemparkannya keatas sungai musi tiba-tiba ia tersandung sesuatu dan jatuhlah guci tersebut hingga pecah diatas kapal.
Betapa terkejutnya Tan Bun An, saat ia melihat ada batangan-batangan emas yang berhamburan keluar dari dalam guci itu. Ia pun menyesal. Lalu dia menyeburkan dirinya kedalam sungai Musi dengan maksud untuk mengambil guci-guci emas itu kembali.
Namun, Tan Bun An tak pernah muncul-muncul lagi ke permukaan. Siti Fatimah yang cemas dengan keadaan Tan Bun An yang tak kunjung timbul ke permukaan sungai, lalu ikut menceburkan diri kedalam sungai Musi. Sebelumnya dia sempat mengatakan sesuatu kepada para dayangnya, bahwa jika ada seonggok tanah yang muncul diatas permukaan sungai Musi ini, maka berarti itu adalah makamnya.
Para dayang, awak kapal, dan pengawal Tan Bun An yang setia kemudian ikut menenggelamkan diri kedalam sungai Musi bersama kapalnya. Setelah beberapa bulan dari peristiwa itu Tan Bun An, Siti Fatimah, beserta dayang-dayang dan para pengawal Tan Bun An tak kunjung ditemukan lagi. Mereka hilang dikedalaman sungai Musi bagaikan ditelan bumi.
Lalu muncul sedikit demi sedikit seonggok tanah diatas permukaan sungai Musi seperti yang dikatakan oleh Siti Fatimah sebelum ajalnya. Hingga sekarang seonggok tanah yang sedikit demi sedikit itu membentuk sebuah pulau kecil ditengah-tengah sungai Musi yang dinamakan Pulau Kemaro. Pulau yang selalu tampak seperti mengalami musim kemarau yang tak pernah usai. Walaupun keadaan sungai Musi sedang pasang naik. Salam kebajikan.
Jika anda merasa artikel ini bermanfaat dan menurut Anda bisa mengilhami orang untuk menjadi baik dan berbuat kebajikan, maka anda dipersilahkan untuk mencetak dan mengedarkan semua artikel yang dipublikasikan pada Blog Kebajikan ( De 德 ) ini; Mengutip atau mengcopy artikel di Blog ini harus mencantumkan Kebajikan ( De 德 ) sebagai sumber artikel.
Pulau Kemaro merupakan sebuah pulau kecil yang membentang diatas Sungai Musi. Sungai yang memisahkan antara seberang ulu dan seberang ilir kota Palembang. Pulau Kemaro dalam bahasa Palembang berarti “Pulau Kemarau”.
Menurut masyarakat Palembang, nama tersebut diberikan karena pulau ini tidak pernah tergenang air. Ketika air pasang besar dan volume air Sungai Musi meningkat, Pulau Kemaro tidak akan kebanjiran dan akan terlihat dari kejauhan terapung di atas perairan Sungai Musi.
Pulau Kemaro ini selalu ramai dikunjungi khususnya oleh warga Tionghoa apalagi ketika Cap Go Me tiba. Di Pulau Kemaro terdapat sebuah batu besar yang bertuliskan Legenda mengenai sejarah Pulau Kemaro/ Legenda tersebut tertera di dekat Klenteng Hok Tjing Rio yang ditulis oleh Disparbud Kota Palembang tahun 2009.
Ada juga sebuah Pohon cinta yang diyakini sebagai lambang legenda cinta Tan Bun An dan Siti Fatimah. Pohonnya sendiri memang unik, pohon ini lebih rendah dari pohon-pohon lainnya di Pulau Kemaro. Itulah sebabnya Pulau ini juga disebut sebagai Pulau Jodoh.
Pohon Cinta |
Selain itu juga terdapat sebuah pagoda yang memiliki sembilan lantai dan menjulang tinggi ditengah-tengah pulau. Selain pagoda ada klenteng tua Hok Cing Bio yang diyakini telah dibangun sejak ratusan tahun lalu.
Di depan klenteng tua ini terdapat makam Tan Bun An (Pangeran) dan Siti Fatimah (Putri) yang berdampingan. Ada juga sebuah Rupang Buddha Maitreya berwarna kuning emas di belakang viharanya. Rupang Buddha ini besar dan tingginya sekitar dua meter lebih. Letak pagoda, Pohon cinta, dan patung Buddha ini saling berdekatan.
Legenda Kisah Cinta yang Romantis dibalik terbentuknya Pulau Kemaro ini
Dahulu kala ada seorang putri raja Palembang yang cantik jelita bernama Siti Fatimah. Wajahnya sangat menawan. Sehingga banyak pemuda-pemuda kaya yang datang berbondong-bondong untuk mempersuntingnya. Namun tidak ada satupun dari mereka yang berhasil, karena sang raja hanya menginginkan menantu yang berasal dari keturunan bangsawan dan yang sederajat dengannya.
Bersamaan pada waktu itu ada seorang pemuda dari negeri China bernama Tan Bun An bersama awak kapalnya berlabuh di negeri melayu tersebut dengan maksud untuk berdagang.
Tan Bun An rupanya bukanlah seorang pelayar biasa. Dia adalah putra mahkota dari raja China yang bermaksud untuk membuat hubungan dagang dengan kerajaan Palembang. Lalu dia menemui raja Palembang untuk menyampaikan maksud dari kedatangannya tersebut.
Raja Palembang menyambut kedatangan Tan Bun An dengan baik dan ramah. Sejak itu, setiap hasil yang didapat oleh Tan Bun An dari perdagangannya dibagikan kepada raja Palembang sesuai dengan perjanjian.
Hingga pada suatu waktu, Tan Bun An bertemu dengan Siti Fatimah. Tan Bun An sangat terpesona melihat kecantikan Siti Fatimah. Siti Fatimah pun tertarik dengan sosok pemuda yang gagah dan penuh sopan-santun tersebut. Akhirnya mereka pun saling jatuh cinta.
Tan Bun An tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Lalu dia membulatkan hatinya untuk melamar Siti Fatimah. Alangkah senangnya sang raja mendengar berita yang disampaikan oleh sang putra mahkota raja China tersebut. Karena Tan Bun An sangat memenuhi kriteria yang diinginkannya.
Namun sang raja meminta sebuah persyaratan yang harus dipenuhi oleh Tan Bun An, yaitu sembilan buah guci yang berisi emas sebagai mas kawin untuk putrinya. Tan Bun An pun menyanggupi persyaratan sang raja tersebut. Lalu ia menyuruh para pengawal dan awak kapalnya untuk menyampaikan berita ini kepada orang tuanya yang tidak lain adalah penguasa negeri china pada saat itu.
Awak bersama kapalnya pun kembali ke negeri China untuk menyampaikan surat dari Tan Bun An kepada raja mereka. Sementara pernikahan Tan Bun An dan Siti Fatimah dilangsungkan secara besar-besaran di Palembang.
Setelah enam bulan purnama, para awak kapal dan pengawal Tan Bun An kembali dari negeri China bersama sebuah surat dari orang tuanya dan sembilan buah guci berisi emas yang dipinta oleh raja Palembang. Namun guci-guci tersebut sengaja ditutupi oleh sayur-sayuran agar agar terhindar dari perompak laut.
Mendengar berita ini, Tan Bun An bersama Siti Fatimah dan dayang-dayang bergegas menemui awak kapal dan pengawalnya tersebut dibantaran sungai Musi Palembang.
Dalam surat yang disampaikan oleh orang tuanya itu, mereka meminta maaf kepada Tan Bun An putranya karena tidak dapat berkunjung ke Palembang untuk melihat menantu mereka yang cantik jelita tersebut. Sedangkan sesuai dengan permintaan raja Palembang, mereka sudah menyiapkan sembilan buah guci berisi emas tersebut diatas kapal.
Alangkah senangnya Tan Bun An setelah membaca surat dari orang tuanya itu. Dengan semangat, kemudian ia pun naik ke atas kapal bersama Siti Fatimah untuk memeriksa ke sembilan guci tersebut.
Namun alangkah terkejutnya Tan Bun An saat mendapati isi dari guci pertama hanyalah berupa sayur-sayuran. Belum lagi sayur-sayuran tersebut sudah membusuk dan melepaskan aroma yang tidak sedap.
Dalam hatinya berkata, bagaimana mungkin dia bisa menemui mertuanya raja Palembang itu, kalau ternyata yang ia bawa adalah guci berisi sayur-sayuran yang sudah membusuk. Pastinya dia akan sangat malu sekali.
Tan Bun An pun marah dan melemparkan guci tersebut ke dalam sungai musi. Begitu juga dengan guci-guci kedua, ketiga, ke-empat dan seterusnya. Hingga guci yang ke-sembilan, saat Tan Bun An ingin melemparkannya keatas sungai musi tiba-tiba ia tersandung sesuatu dan jatuhlah guci tersebut hingga pecah diatas kapal.
Betapa terkejutnya Tan Bun An, saat ia melihat ada batangan-batangan emas yang berhamburan keluar dari dalam guci itu. Ia pun menyesal. Lalu dia menyeburkan dirinya kedalam sungai Musi dengan maksud untuk mengambil guci-guci emas itu kembali.
Namun, Tan Bun An tak pernah muncul-muncul lagi ke permukaan. Siti Fatimah yang cemas dengan keadaan Tan Bun An yang tak kunjung timbul ke permukaan sungai, lalu ikut menceburkan diri kedalam sungai Musi. Sebelumnya dia sempat mengatakan sesuatu kepada para dayangnya, bahwa jika ada seonggok tanah yang muncul diatas permukaan sungai Musi ini, maka berarti itu adalah makamnya.
Para dayang, awak kapal, dan pengawal Tan Bun An yang setia kemudian ikut menenggelamkan diri kedalam sungai Musi bersama kapalnya. Setelah beberapa bulan dari peristiwa itu Tan Bun An, Siti Fatimah, beserta dayang-dayang dan para pengawal Tan Bun An tak kunjung ditemukan lagi. Mereka hilang dikedalaman sungai Musi bagaikan ditelan bumi.
Lalu muncul sedikit demi sedikit seonggok tanah diatas permukaan sungai Musi seperti yang dikatakan oleh Siti Fatimah sebelum ajalnya. Hingga sekarang seonggok tanah yang sedikit demi sedikit itu membentuk sebuah pulau kecil ditengah-tengah sungai Musi yang dinamakan Pulau Kemaro. Pulau yang selalu tampak seperti mengalami musim kemarau yang tak pernah usai. Walaupun keadaan sungai Musi sedang pasang naik. Salam kebajikan.
Jika anda merasa artikel ini bermanfaat dan menurut Anda bisa mengilhami orang untuk menjadi baik dan berbuat kebajikan, maka anda dipersilahkan untuk mencetak dan mengedarkan semua artikel yang dipublikasikan pada Blog Kebajikan ( De 德 ) ini; Mengutip atau mengcopy artikel di Blog ini harus mencantumkan Kebajikan ( De 德 ) sebagai sumber artikel.
Tidak ada komentar:
Write komentar