KEBAJIKAN ( De 德 ) - Masaru Emoto, ketua IHM Institute Jepang yang menjalankan perusahaan berlisensi Amerika Serikat “US Low-Frequency Treatment Device”, setelah melakukan riset teknologi terkait dengan air, memicu pemikirannya untuk mengambil foto kristalisasi air setelah membeku. Oleh karena itu, sejak 1994 dengan teknik fotografi kecepatan tinggi, Emoto mengembangkan serangkaian penelusuran ilmiah terkait dengan “kristalisasi air”.
Dalam riset di Jepang, air juga menangkap adanya rasa baik dan jahat, termasuk ketika memutar musik untuk didengar air, membaca, memancarkan niat pikiran terhadap air baik berupa pikiran yang bajik maupun pikiran yang jahat, kristalisasi air yang dihasilkan pun sangat berbeda.
Dalam riset di Jepang, air juga menangkap adanya rasa baik dan jahat, termasuk ketika memutar musik untuk didengar air, membaca, memancarkan niat pikiran terhadap air baik berupa pikiran yang bajik maupun pikiran yang jahat, kristalisasi air yang dihasilkan pun sangat berbeda.
Lewat banyak percobaan ilmiah, IHM Institute membuktikan, ketika orang memancarkan niat pikiran yang baik seperti “kebajikan, berterima kasih, memuji” dan lain-lain terhadap air, maka kristalisasi air akan membentuk pola yang indah.
Namun pada saat orang memancarkan niat pikiran negatif seperti “kebencian, mengeluh, penderitaan” dan lain-lain, maka kristal air juga akan membentuk wujud yang jelek. Bukankah ini sedang menjelaskan bahwa pikiran manusia yang baik maupun yang jahat dapat menimbulkan pengaruh yg sangat besar terhadap lingkungan di sekitarnya?
Profesor Emoto pernah melakukan suatu percobaan di wilayah teluk di Danau Biwako, Jepang. Dipilihnya tempat ini karena endapan air di daerah teluk itu sangat kotor, aromanya juga tidak sedap. Ia mengumpulkan lebih dari 150 orang untuk ambil bagian dalam percobaan, melepaskan segenap pikiran liar dan tidak baik, hanya membatin dengan sungguh-sungguh, “Air danau telah bersih”.
Lebih dari 150 orang partisipan ini bersama-sama mengucapkan kalimat ini selama 1 jam setiap hari. Hingga hari ketiga, kualitas air diuji kembali, ternyata air-air tersebut telah menjadi bersih, aroma yang tidak sedap pun telah hilang. Air di danau Biwako yang berubah menjadi berkualitas baik berkat pikiran manusia itu terus bertahan selama lebih dari setengah tahun.
Meskipun hasil percobaan ini dianggap agak tidak masuk akal, tapi air danau yang berubah menjadi jernih adalah fakta, juga memberi pencerahan dan pemikiran baru bagi masyarakat dunia yang telah terbiasa tergantung peralatan yang bersifat materi. Jika setiap hari kita memancarkan niat pikiran yang baik kepada diri kita sendiri, keluarga dan lingkungan sekitar kita, apakah juga dapat mengubah lingkungan tempat tinggal kita, mengubah beban perasaan yang berat? Juga akan dapat menyelaraskan hubungan yang tegang menjadi lebih baik.
Saat mendidik putra putri kita, juga dapat dibayangkan, anak-anak yang dimarahi sepanjang hari akan sulit memiliki psikologi yang sehat. Seperti pada percobaan Emoto ini, ketika manusia berkata-kata penuh kecemasan dan kemarahan pada air, akhirnya kristalisasi air menunjukkan bentuk/pola jelek yang terdistorsi. Jika menghadapi hidup dengan sikap yang baik dalam mendidik anak, maka anak akan tumbuh sehat (jiwa-raganya), hubungan antara orang tua dan anak juga akan merasakan kristalisasi dari cinta kasih dan berkat, sangat teratur dan cerah.
Kisah Pemahat Memperbaiki Paras Wajah
Pikiran seseorang tidak hanya dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan sekitarnya, juga dapat mempengaruhi jiwa dan paras wajahnya. Ada sebuah cerita mengisahkan seorang seniman pahat modern, yang kerap mengukir mahluk aneh yang sedang tren pada masa itu, yang kebanyakan berwujud setan dan iblis.
Suatu hari, seorang teman yang lama tak berjumpa dengannya mendapati paras wajahnya menjadi sangat jelek dibandingkan dulu. Sebenarnya, seniman ini sendiri juga mendapati kenyataan bahwa paras wajahnya berubah menjadi jelek, hal yang sangat menyedihkan. Untuk memperbaiki paras wajahnya, ia pergi memeriksakan diri ke rumah sakit, namun para pakar tidak bisa menemukan penyebab penyakitnya.
Karena jodoh pertemuan, seniman ini bertemu dengan seorang arif bijaksana yang dengan yakin mengatakan, masalah wajahnya pasti bisa disembuhkan, namun dengan satu syarat, yakni si seniman ini diharuskan memahat 100 buah patung Buddha. Karena merasa masalah paras jeleknya bisa disembuhkan, seniman itu pun mengiyakan dengan gembira.
Begitu sang seniman ukir tiba di rumah, ia segera menghentikan seni pahat modernnya dan berkonsentrasi mengukir patung Buddha, agar penyakit paras jeleknya segera bisa disembuhkan. Selama seniman itu mengukir patung Buddha, teman yang datang berkunjung mendapati perubahan yang sangat besar pada parasnya. Ketika seniman itu merampungkan 100 patung Buddha, temannya mengatakan bahwa parasnya telah kembali normal, bahkan lebih baik daripada dulu.
Kemudian seniman pun sadar akan penyebab parasnya berubah jelek, saat dirinya mengukir patung setan atau iblis, niat pikirannya selalu memikirkan sosok iblis, lama kelamaan sosok jelek itu pun mengendap di dalam hatinya. Inilah yang disebut dalam istilah Tiongkok kuno “paras memancarkan niat hati (wajah terbentuk oleh hati)”, ketika hati seseorang penuh dengan citra sosok iblis atau setan, maka parasnya juga akan berubah menjadi jelek.
Saat mengukir patung Buddha, di dalam hatinya selalu terbayang akan keagungan dan kesucian Buddha, kesadarannya lama kelamaan menyimpan pencerahan, belas kasih, dan keindahan Buddha, lambat laun jiwa seseorang pun akan menjadi cerah dan cemerlang, sehingga parasnya berubah ke arah kebaikan.
Presiden Lincoln: Manusia Harus Bertanggung Jawab Terhadap Parasnya Setelah Usia 35 Tahun
Menurut cerita, Presiden Lincoln mewawancara seorang karyawan baru, tapi karena tidak menyukai parasnya, akhirnya orang itu tidak direkrut. Seorang asistennya sangat tidak memahami keputusan sang presiden, karena pengalaman kerja (CV) orang itu cukup baik, maka ia berkata pada presiden, seseorang yang berparas jelek, apakah itu adalah salahnya?
“Paras seseorang saat berusia kurang dari 35 tahun ditentukan oleh orang tuanya, tapi setelah 35 tahun ditentukan oleh dirinya sendiri. Seseorang harus bertanggung jawab sendiri terhadap parasnya setelah berusia 35 tahun,” kata Lincoln.
Benar, ketika hati seseorang penuh dengan kebajikan, maka akan memancarkan secercah sinar dari dalam dirinya, membuat orang semakin semakin merasa nyaman menatapnya, serta suka berinteraksi dengan orang tersebut. Kalau begitu, ungkapan Presiden Lincoln ini sangat menyerupai ungkapan Tiongkok kuno “paras memancarkan niat hati (wajah terbentuk oleh hati)”. Salam kebajikan (Sumber)
Profesor Emoto pernah melakukan suatu percobaan di wilayah teluk di Danau Biwako, Jepang. Dipilihnya tempat ini karena endapan air di daerah teluk itu sangat kotor, aromanya juga tidak sedap. Ia mengumpulkan lebih dari 150 orang untuk ambil bagian dalam percobaan, melepaskan segenap pikiran liar dan tidak baik, hanya membatin dengan sungguh-sungguh, “Air danau telah bersih”.
Lebih dari 150 orang partisipan ini bersama-sama mengucapkan kalimat ini selama 1 jam setiap hari. Hingga hari ketiga, kualitas air diuji kembali, ternyata air-air tersebut telah menjadi bersih, aroma yang tidak sedap pun telah hilang. Air di danau Biwako yang berubah menjadi berkualitas baik berkat pikiran manusia itu terus bertahan selama lebih dari setengah tahun.
Meskipun hasil percobaan ini dianggap agak tidak masuk akal, tapi air danau yang berubah menjadi jernih adalah fakta, juga memberi pencerahan dan pemikiran baru bagi masyarakat dunia yang telah terbiasa tergantung peralatan yang bersifat materi. Jika setiap hari kita memancarkan niat pikiran yang baik kepada diri kita sendiri, keluarga dan lingkungan sekitar kita, apakah juga dapat mengubah lingkungan tempat tinggal kita, mengubah beban perasaan yang berat? Juga akan dapat menyelaraskan hubungan yang tegang menjadi lebih baik.
Saat mendidik putra putri kita, juga dapat dibayangkan, anak-anak yang dimarahi sepanjang hari akan sulit memiliki psikologi yang sehat. Seperti pada percobaan Emoto ini, ketika manusia berkata-kata penuh kecemasan dan kemarahan pada air, akhirnya kristalisasi air menunjukkan bentuk/pola jelek yang terdistorsi. Jika menghadapi hidup dengan sikap yang baik dalam mendidik anak, maka anak akan tumbuh sehat (jiwa-raganya), hubungan antara orang tua dan anak juga akan merasakan kristalisasi dari cinta kasih dan berkat, sangat teratur dan cerah.
Kisah Pemahat Memperbaiki Paras Wajah
Pikiran seseorang tidak hanya dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan sekitarnya, juga dapat mempengaruhi jiwa dan paras wajahnya. Ada sebuah cerita mengisahkan seorang seniman pahat modern, yang kerap mengukir mahluk aneh yang sedang tren pada masa itu, yang kebanyakan berwujud setan dan iblis.
Suatu hari, seorang teman yang lama tak berjumpa dengannya mendapati paras wajahnya menjadi sangat jelek dibandingkan dulu. Sebenarnya, seniman ini sendiri juga mendapati kenyataan bahwa paras wajahnya berubah menjadi jelek, hal yang sangat menyedihkan. Untuk memperbaiki paras wajahnya, ia pergi memeriksakan diri ke rumah sakit, namun para pakar tidak bisa menemukan penyebab penyakitnya.
Karena jodoh pertemuan, seniman ini bertemu dengan seorang arif bijaksana yang dengan yakin mengatakan, masalah wajahnya pasti bisa disembuhkan, namun dengan satu syarat, yakni si seniman ini diharuskan memahat 100 buah patung Buddha. Karena merasa masalah paras jeleknya bisa disembuhkan, seniman itu pun mengiyakan dengan gembira.
Begitu sang seniman ukir tiba di rumah, ia segera menghentikan seni pahat modernnya dan berkonsentrasi mengukir patung Buddha, agar penyakit paras jeleknya segera bisa disembuhkan. Selama seniman itu mengukir patung Buddha, teman yang datang berkunjung mendapati perubahan yang sangat besar pada parasnya. Ketika seniman itu merampungkan 100 patung Buddha, temannya mengatakan bahwa parasnya telah kembali normal, bahkan lebih baik daripada dulu.
Kemudian seniman pun sadar akan penyebab parasnya berubah jelek, saat dirinya mengukir patung setan atau iblis, niat pikirannya selalu memikirkan sosok iblis, lama kelamaan sosok jelek itu pun mengendap di dalam hatinya. Inilah yang disebut dalam istilah Tiongkok kuno “paras memancarkan niat hati (wajah terbentuk oleh hati)”, ketika hati seseorang penuh dengan citra sosok iblis atau setan, maka parasnya juga akan berubah menjadi jelek.
Saat mengukir patung Buddha, di dalam hatinya selalu terbayang akan keagungan dan kesucian Buddha, kesadarannya lama kelamaan menyimpan pencerahan, belas kasih, dan keindahan Buddha, lambat laun jiwa seseorang pun akan menjadi cerah dan cemerlang, sehingga parasnya berubah ke arah kebaikan.
Presiden Lincoln: Manusia Harus Bertanggung Jawab Terhadap Parasnya Setelah Usia 35 Tahun
Menurut cerita, Presiden Lincoln mewawancara seorang karyawan baru, tapi karena tidak menyukai parasnya, akhirnya orang itu tidak direkrut. Seorang asistennya sangat tidak memahami keputusan sang presiden, karena pengalaman kerja (CV) orang itu cukup baik, maka ia berkata pada presiden, seseorang yang berparas jelek, apakah itu adalah salahnya?
“Paras seseorang saat berusia kurang dari 35 tahun ditentukan oleh orang tuanya, tapi setelah 35 tahun ditentukan oleh dirinya sendiri. Seseorang harus bertanggung jawab sendiri terhadap parasnya setelah berusia 35 tahun,” kata Lincoln.
Benar, ketika hati seseorang penuh dengan kebajikan, maka akan memancarkan secercah sinar dari dalam dirinya, membuat orang semakin semakin merasa nyaman menatapnya, serta suka berinteraksi dengan orang tersebut. Kalau begitu, ungkapan Presiden Lincoln ini sangat menyerupai ungkapan Tiongkok kuno “paras memancarkan niat hati (wajah terbentuk oleh hati)”. Salam kebajikan (Sumber)
Tidak ada komentar:
Write komentar