|
Welcome To My Website Kebajikan (De 德)......KEBAJIKAN ( De 德 ) Mengucapkan Xin Nian Kuai Le (新年快乐) 2571 / 2020...Xīnnián kuàilè, zhù nǐ jiànkāng chángshòu, zhù nǐ hǎo yùn..Mohon Maaf Blog ini masih dalam perbaikan....Dalam era kebebasan informasi sekarang, hendaknya kita dapat lebih bijak memilah, mencerna dan memilih informasi yang akurat. Kami menempatkan kepentingan pembaca sebagai prioritas utama. Semangat kami adalah memberikan kontribusi bagi pembaca agar dapat meningkatkan Etika dan Moral dalam kehidupan serta meningkatkan Cinta kasih tanpa pamrih pada sesama baik dalam lingkup lingkungan sekitar maupun lingkup dunia dan menyajikan keberagaman pandangan kehidupan demi meningkatkan pemahaman dan penghargaan terhadap kehidupan. Tanpa dukungan Anda kami bukan siapa-siapa, Terima Kasih atas kunjungan Anda

Rabu, 10 Agustus 2011

Wejangan Buddha Hidup Ci Kung, Serakah Mencari Enak

 

Petikan Wejangan Guru Suci kita, Buddha Hidup Ci Kung,
“Nasehat untuk Manusia di Dunia”

Manusia di dunia serakah dan maunya enak terus. Yang dipikirkan hanya kenikmatan duniawi.

Memotong babi yang besar, memakan daging yang gemuk. Cara memasaknya pun bermacam-macam, ditim sekuali besar

Membantai babi pun tidak perlu dengan tangan, diciptakan mesin pembantai, kenop sekali ditekan, babi sengsara.
Seekor demi seekor, digantung semua, bulu pun sudah tercabut, darah tercecer, 10 menit kemudian, dagingnya akan terasa lezat. Dibawa pulang, kaki paha dibacok golok besar, kepala pun diputuskan, perut dirobek, ususnya ditarik keluar dan dipijat-pijat, dicuci bersih perlahan-lahan, dagingnya digantung.

Pembeli berkata : usus lebih murah dari daging, yang paling bagus daging tanpa minyak, lebih mahal dari daging yang gemuk, masih ada isi perut (jeroan) babi , bagus buat jantung, menambah darah dan menggemukkan badan.

Makan semua itu, semangat bisa tinggi.

Masih ada kaki lagi, ditim lezat rasanya, dibumbui dengan vetsin, garam dan kecap, sedikit minyak wijen, wanginya tak terucap, disajikan di meja makan untuk sekeluarga menambah gizi.

Ayam kecil dibantai untuk sembahyang Buddha, sesudah sembahyang, ayam diambil, dibawa pulang. Sayap, kaki dan kepalanya dipotong, perutnya dijejali jamur hitam, ditim dalam kuali sejam.

Rasanya enak, harganya murah, murah meriah, dibandingkan dengan daging sapi, rasanya lebih lezat.

Ada orang berkata, daging ayam, babi, bebek juga daging angsa sudah sering disantap, hanya daging sapi belum puas, ditambah sari rasa daging kambing.

Mari, marilah. Ada uang kita puaskan diri, hidup baru tidak percuma.

Pergi membeli daging hewan, tengoklah, paha sapi tergantung di toko. Kita beli, dibawa pulang, dengan berbagai cara menyantapnya. Terpikir di dalam hati, sapi itu jauh lebih besar dari diriku.

Aku berbisik kepada sang sapi, aku makan kamu, bukan demi kenikmatan, tapi hanya ingin mencicipi rasamu saja, bukan aku pula yang membantaimu, kalau mau membalas dendam, carilah tukang daging.

Tengah malam, ayam berkotek, anjing menggonggong, sapi pun menguak, terdengar kentongan 3 kali, sudah jam 3, angin dingin berhembus.

Di luar jendela terdengar suara, seperti sapi menagih jiwa, kembalikan jiwaku, kembalikan jiwaku, sekarang kamu akan kubawa. Keduanya bergulat tak terlepaskan, tiba-tiba dia terbangun, baru tahu hanya mimpi buruk.

Ada juga yang berkata, hidup di dunia, pakaian necis, tinggal di gedung yang besar, makan pun serba enak, buat apa harus bersembah sujud kepada Dewa?

Dewa-dewa pun tidak seenak diriku.

Mereka bervegetarian, aku makan daging. Kelezatan yang kunikmati lebih banyak dari mereka, pakaianku ada yang terbuat dari sutera dan bahan mahal, setiap buah bermodel-model.

Sedangkan Bodhisatva itu, pakaian mainan yang dipakai sampai 100 tahun. Aku, sehari ganti pakaian sekali, sedangkan dia (Bodhisatva) hari-hari hanya itu yang dipakai.

Aku punya intan berlian yang mahal-mahal, Bodhisatva tidak punya, dikasih orang pun tidak mampu berucap.
Kalau aku, aku bilang terima kasih sambil merunduk.

Dipikir-pikir, orang lebih enak daripada Dewa.

Aku tinggal di gedung besar dan tinggi, dengan segudang pelayan dan pembantu, semua di bawah perintah dan kuasaku.

Memerintah orang bukan main gayanya, Bodhisatva itu hanya dihukum duduk di klenteng setiap hari, lantai tidak ada yang membersihkan pun sulit bicara, sarang laba-laba bergelantungan.

Tengoklah aku, aku tidak perlu buka mulut, pembantu rumah tangga pasti akan membersihkannya.

Bila aku keluar rumah, mobil pribadi tersedia, tidak usah berjalan kaki.

Jalan-jalan berdarmawisata, pesawat terbang, ada uang, tidak usah khawatir tidak dapat tempat duduk.

Kalau aku disuruh sembahyang, jika tangan sudah gemetar, kaki tidak bisa berjalan, baru aku mau.

Buat aku, makan, pakaian dan segalanya tidak usah pusing. Siapa yang lebih enak dari aku?

Bicara sampai disini, sejuta kata pun tidak akan selesai dibicarakan.

Tetapi, tidak disangka, tidak terduga, waktu berlalu cepat, bagai anak panah melesat.

Masa jaya dan bahagia bagai musim semi, sudah berlalu, berganti dengan musim gugur, daun kering berserakan.

Air sungai memang sekali mengalir tidak pernah kembali.

Manusia, siapa pun, akhirnya gigi ompong kepala botak, telinga tuli, mata rabun, badan pegal linu, berjalan sulit, ingusan, alis mengkerut.

Anak cucupun tidak ada yang sayang, tidak ada yang berbakti, hati kesal juga sedih. Seorang diri, berdiam di rumah bertingkat tinggi.

Tidak seorangpun yang bertanya, kasihan !

Terkenang di masa jaya, wajah cantik bagai bidadari dari khayangan, tak disangka kini tua dan kurus kering.
Jangan dibandingkan dengan Dewa dan Malaikat, jeleknya seperti seekor kunyuk.

Bedak segunung pun tidak bisa lagi membuatku menjadi gadis mungil.

Jangan suka membandingkan diri dengan Dewa dan Buddha, tengoklah Aku, Ci Kung, meskipun tidak bersolek, rambut gondrong tiga inchi, tapi badan lebih gesit daripada kamu, mau ke timur, langsung ke timur, mau ke selatan atau ke utara, terserah senangnya Aku, santai bergembira berkelana.

Masih ada buah Tho yang besar, aromanya harum, rasanya manis. Ada madu, ada buah Dewa, lebih lezat dari daging empuk yang kau punya. Ada cara ajaib, dapat menolong anak bakti cepat berjaya.

Orang memanggil Aku Ci Kung sebagai Buddha Hidup.

Kamu mau membandingkan diri dengan Aku soal senang, kalah jauh sekali, Aku tidak menjadi tua, tidak bisa jelek, apalagi kesal, tidak mungkin.

Gunung indah, sungai jernih, menanti Aku menjelajahinya, angin sepoi-sepoi bisa kukendarai, tidak perlu berjalan kaki, lebih hemat bensin dari mobilmu.

Kalau Aku mau makan, hanya mengangkat tangan saja, meja dan bangku Dewa lengkap dengan buahnya, langsung muncul.

Masih ada para Dewi dan malaikat kecil, bernyanyi dan menari, gambira bahagia bukan main.

Kamu makan daging, harus beli pakai uang, harus dibawa pulang masak.

Dibandingkan dengan Aku, hidupmu masih kalah bahagia dan senang.

Kamu hanya bisa menambah dosa dan hutang, sampai waktunya, hakim neraka akan menangkapmu hidup-hidup, berkeliling gunung berpisau, kuali berminyak panas.

Kaki tangan diborgol, meringkuk di penjara akherat.

Tengoklah Aku, Buddha Ci Kung, begitu banyak orang membakar dupa, menyembah Aku.

Apa itu hidup senang, hidup enak, haha, hihi, bodohmu terlalu.

Sekarang kamu jatuh sakit, minta tolong kepada Sien Fo, Sien Fo tertawa geli meninggalkan kamu.

Kamu ini, orang yang berbuat dosa, siapa peduli.

Aku menasehati manusia di dunia, membina Tao sedini mungkin, cepat sadar, belajar kepada Buddha, menempa diri, membina diri, rajin-rajin sembahyang, yang lalu kamu tobat, jadilah manusia baru, habis gelap , pasti terang, susah habis, senang pun datang.

Tanamlah bibit yang baik.

Tidak ada komentar:
Write komentar