Kesulitan bagi orang miskin untuk berdana, dan sulitnya bagi orang kaya untuk belajar jalan kebenaran. Orang yang miskin sulit untuk berdana mengingat dirinya sendiri masih sangat kekurangan, sementara bagi orang yang kaya raya, kehidupan yang dijalaninya membuatnya sulit untuk melangkah di jalan kebenaran. Intinya, setiap orang memiliki tantangan tersendiri untuk dijalani di dalam kehidupannya.
Seperti sabda Sang Buddha : “Orang kaya sulit untuk belajar jalan kebenaran”, maksudnya adalah orang yang kaya materi atau berkedudukan tinggi sungguh sulit untuk belajar jalan kebenaran.
Sebab manusia awam pada umumnya memiliki penyakit batin berupa keserakahan, kebencian dan kebodohan, ini adalah penyakit umum pada kebanyakan orang; selain itu masih ada kesombongan dan kecurigaan. Orang kaya sulit terhindarkan akan bersikap sombong, tidak dapat bersikap “sopan walau pun kaya”, maka disebutkan “Orang kaya sulit untuk belajar jalan kebenaran”.
Banyak orang kaya yang sangat sibuk dan tidak memiliki waktu untuk merenung tentang agama yang sesungguhnya. Orang kaya lebih sering terbuai dengan kesombongan, sehingga sulit bagi orang kaya untuk “menjadi kaya dan berbudi di saat yang bersamaan”.
Pernah sekali ada seorang tokoh masyarakat ternama datang berkunjung, dia membawa dupa, uang kertas sembahyang dan medali emas. Dia bertanya kepada saya : “Di mana letak ‘tempat bakar kertas sembahyang’ kalian?”
Saya menjawab : “Di tempat kami ini tidak perlu bakar kertas sembahyang.”
Dia berkata dengan heran : “Mana ada biara yang tidak bakar kertas sembahyang?”
Saya berkata : “Di tempat kami ini tidak perlu bakar kertas sembahyang.”
Setelah beberapa saat, dia mengeluarkan sebuah kertas bungkusan berwarna merah, di dalamnya ada sebuah medali emas. Dia bertanya: “Medali emas saya ini mau digantungkan di patung dewa yang mana?”
Saya menjawab: “Agama Buddha tidak membutuhkan barang seperti ini, Sang Buddha tidak suka memakainya, tidak usah.”
Dia berkata : “Mengapa begitu aneh? Dulu setiap kali ke biara, saya tetap menyumbangkan medali emas.”
Saya berkata : “Kalau begitu saya akan menerimanya dan akan menggunakannya untuk kegiatan amal.”
Dia berkata : “Kalau begitu terserah anda saja.”
Setelah dia melakukan ibadah, saya mengundangnya duduk di ruang tamu, sebab saya mengira dia datang untuk urusan dinas dan semestinya ingin mendengarkan laporan saya tentang masalah yayasan; namun ternyata semua pembicaraannya tentang berapa banyak sumbangan dananya ke kelenteng ini atau berapa batang tiang disumbangkan ke biara itu, di mana dia menanyakan fengshui untuk leluhurnya, barulah menemukan “tempat yang baik”.
Sehabis mendengar perkataannya ini, saya mengeluh dalam hati : “Memang benar apa yang dikatakan Buddha kalau orang kaya sulit untuk belajar jalan kebenaran.”
Orang kaya seharusnya mengembalikan sebagian dari harta yang diperolehnya dari masyarakat demi kemaslahatan masyarakat, jika bisa berbuat demikian barulah akan disayangi dan dihormati oleh masyarakat, dengan sendirinya akan menjadi “dewa penolong” bagi orang lain. Orang-orang sering mengatakan : “Untung saya bertemu dengen dewa penolong ...”, sedangkan “dewa penolong” adalah orang yang dapat mengembangkan kemampuan hidupnya untuk menolong orang lain.
Di dunia ini tidak ada takdir yang sudah ditetapkan, Buddha mengatakan : “Segalanya diciptakan oleh batin manusia.” Apakah nasib seseorang mulia atau hina bukanlah ditakdirkan, jika dalam kehidupan ini penuh dengan kesulitan, namun apabila kita dapat mengatasi segala kesulitan dengan ulet dan tegar, sama saja dapat merubah nasib dan kekuatan karma diri sendiri.
Di dunia tidak ada kesulitan yang tidak bisa diatasi, asalkan merupakan seorang praktisi ajaran Buddha yang taat, maka di dunia ini tiada masalah sulit yang tidak dapat diatasi. Selain memupuk keberkahan, kita juga harus memupuk kebijaksanaan, sehingga berkah dan kebijaksanaan seiring. Berdana memang penting, namun tidak boleh melalaikan pembelajaran jalan kebenaran. Kehidupan yang memiliki berkah dan kebijaksanaan, baru merupakan kehidupan yang berharga dan bahagia. ( Yuni Tan )
Seperti sabda Sang Buddha : “Orang kaya sulit untuk belajar jalan kebenaran”, maksudnya adalah orang yang kaya materi atau berkedudukan tinggi sungguh sulit untuk belajar jalan kebenaran.
Sebab manusia awam pada umumnya memiliki penyakit batin berupa keserakahan, kebencian dan kebodohan, ini adalah penyakit umum pada kebanyakan orang; selain itu masih ada kesombongan dan kecurigaan. Orang kaya sulit terhindarkan akan bersikap sombong, tidak dapat bersikap “sopan walau pun kaya”, maka disebutkan “Orang kaya sulit untuk belajar jalan kebenaran”.
Banyak orang kaya yang sangat sibuk dan tidak memiliki waktu untuk merenung tentang agama yang sesungguhnya. Orang kaya lebih sering terbuai dengan kesombongan, sehingga sulit bagi orang kaya untuk “menjadi kaya dan berbudi di saat yang bersamaan”.
Pernah sekali ada seorang tokoh masyarakat ternama datang berkunjung, dia membawa dupa, uang kertas sembahyang dan medali emas. Dia bertanya kepada saya : “Di mana letak ‘tempat bakar kertas sembahyang’ kalian?”
Saya menjawab : “Di tempat kami ini tidak perlu bakar kertas sembahyang.”
Dia berkata dengan heran : “Mana ada biara yang tidak bakar kertas sembahyang?”
Saya berkata : “Di tempat kami ini tidak perlu bakar kertas sembahyang.”
Setelah beberapa saat, dia mengeluarkan sebuah kertas bungkusan berwarna merah, di dalamnya ada sebuah medali emas. Dia bertanya: “Medali emas saya ini mau digantungkan di patung dewa yang mana?”
Saya menjawab: “Agama Buddha tidak membutuhkan barang seperti ini, Sang Buddha tidak suka memakainya, tidak usah.”
Dia berkata : “Mengapa begitu aneh? Dulu setiap kali ke biara, saya tetap menyumbangkan medali emas.”
Saya berkata : “Kalau begitu saya akan menerimanya dan akan menggunakannya untuk kegiatan amal.”
Dia berkata : “Kalau begitu terserah anda saja.”
Setelah dia melakukan ibadah, saya mengundangnya duduk di ruang tamu, sebab saya mengira dia datang untuk urusan dinas dan semestinya ingin mendengarkan laporan saya tentang masalah yayasan; namun ternyata semua pembicaraannya tentang berapa banyak sumbangan dananya ke kelenteng ini atau berapa batang tiang disumbangkan ke biara itu, di mana dia menanyakan fengshui untuk leluhurnya, barulah menemukan “tempat yang baik”.
Sehabis mendengar perkataannya ini, saya mengeluh dalam hati : “Memang benar apa yang dikatakan Buddha kalau orang kaya sulit untuk belajar jalan kebenaran.”
Orang kaya seharusnya mengembalikan sebagian dari harta yang diperolehnya dari masyarakat demi kemaslahatan masyarakat, jika bisa berbuat demikian barulah akan disayangi dan dihormati oleh masyarakat, dengan sendirinya akan menjadi “dewa penolong” bagi orang lain. Orang-orang sering mengatakan : “Untung saya bertemu dengen dewa penolong ...”, sedangkan “dewa penolong” adalah orang yang dapat mengembangkan kemampuan hidupnya untuk menolong orang lain.
Di dunia ini tidak ada takdir yang sudah ditetapkan, Buddha mengatakan : “Segalanya diciptakan oleh batin manusia.” Apakah nasib seseorang mulia atau hina bukanlah ditakdirkan, jika dalam kehidupan ini penuh dengan kesulitan, namun apabila kita dapat mengatasi segala kesulitan dengan ulet dan tegar, sama saja dapat merubah nasib dan kekuatan karma diri sendiri.
Di dunia tidak ada kesulitan yang tidak bisa diatasi, asalkan merupakan seorang praktisi ajaran Buddha yang taat, maka di dunia ini tiada masalah sulit yang tidak dapat diatasi. Selain memupuk keberkahan, kita juga harus memupuk kebijaksanaan, sehingga berkah dan kebijaksanaan seiring. Berdana memang penting, namun tidak boleh melalaikan pembelajaran jalan kebenaran. Kehidupan yang memiliki berkah dan kebijaksanaan, baru merupakan kehidupan yang berharga dan bahagia. ( Yuni Tan )
Tidak ada komentar:
Write komentar