Kebanyakan orang Tionghoa, merayakan Tahun Baru pada hari pertama dari kalender lunar. Tapi suku Hokkien Cina memilih untuk merayakan hari raya pada hari kesembilan kalender Lunar Cina..
Bagi orang Hokkian, hal ini dirayakan dengan kemegahan yang lebih dibandingkan dengan hari ke 1 perayaan Imlek.
Hal ini karena ketika itu sekelompok orang Hokkian dikejar para serdadu sehingga terpaksa lari dan bersembunyi di hamparan kebun tebu.
Bahkan mereka harus melewatkan malam Sincia dan delapan hari Tahun Baru Cina di tengah kebun tebu, yang seharusnya di rumah bersama sanak keluarga dan mereka hanya memiliki kesempatan untuk merayakan Tahun Baru pada hari ke-9. Selama bersembunyi, tebu-tebu itulah yang menjadi sandaran utama makanan mereka di tengah peperangan. Manisnya sari tebu menjadikan mereka tetap kuat dan bersemangat.
Setelah keadaan aman, Orang Hokkien kemudian berbondong-bondong keluar dari ladang tebu pada Cia Gwe Cwe Kaw ( Tanggal 9 bulan 1 Imlek ) pagi yang bertepatan dengan ulang tahun Kaisar Langit Surga ( Thi Kong Seh ) dan kembali ke rumah masing-masing.
Untuk menyatakan rasa syukur karena terhindar dari bencana kematian akibat perang, spontan mereka memotong beberapa batang tebu utuh dengan daunnya, dan karena tanggal tersebut adalah tanggal 9 bulan pertama, maka dipotonglah 9 potong tebu untuk disajikan dalam sembahyang syukur itu.
Di samping itu, angka 9 sendiri dalam dialek Hokkian bunyinya adalah Kao (sering juga ditulis Kau), kalau dalam bahasa Mandarin bunyi kao dituliskan dengan gao yang artinya adalah tinggi. Dalam hitungan, dalam bilangan manapun, angka 9 adalah yang tertinggi untuk a single digit number, dan diharapkan seluruh keluarga juga akan mencapai kesuksesan yang tertinggi.
Tebu melambangkan banyak hal, di antaranya, manis, simbol keberuntungan, kemakmuran, dsb. Kemudian dari bentuk yang berbuku-buku, tegak lurus, dari bawah sampai atas, secara filosofi adalah untuk meraih kesuksesan, manusia harus melalui jenjang kehidupan yang dilambangkan buku-buku tebu tadi.
Ada juga yang menandai kemunculan mereka dari ladang tebu dengan cara yang berbeda. Ketika Ken masih kecil, ia ingat orang Hokkien di desa asalnya dari Bagan Dalam, membangun lengkungan kecil dari batang tebu. Setiap anggota keluarga akan berjalan melalui lengkungan simbolis muncul dari ladang sebelum memulai perayaan.
Upacara sembahyang Thi Kong pada tanggal 9 bulan 1 Imlek ini sebagai ucapan rasa terima kasih kepada Thi Kong atas lindungan-Nya. Oleh karena itu, maka sebagian besar orang Hok Kian mengatakan bahwa Cia Gwe Cwe Kaw adalah Tahun Baru-nya orang Hok Kian, sedikitpun tidak salah.
Upacara di hari ke 9 ini dilakukan oleh seluruh anggota keluarga yang didahului dengan pantang daging atau dalam dialek Hokkian disebut ciak cay (makan sayur), tepat setelah hari ke 3, biasanya seluruh anggota keluarga yang berminat untuk ikut sembahyangan King Ti Kong akan berpantang makan daging dari hari ke 4 sampai hari ke 9. Pagi hari di hari ke 9, sembahyangan dimulai oleh anggota keluarga tertua (kakek) atau kepala keluarga (suami, ayah).
Sembahyangan King Ti Kong dipandang terpenting dalam rangkaian upacara Sincia karena merupakan kunci dan penentu semua langkah kehidupan bagi seluruh anggota keluarga di tahun berjalan. Tentunya, saat melakukan sembahyang ini harus dibarengi dengan niat yang tulus dan suci. Dalam ritual ini seluruh penghuni rumah diharapkan dapat mandi dan mengganti baju, sembahyang dilakukan secara bergiliran dimulai dari anggota keluarga yang paling tua di generasinya.
Saat sembahyang juga dilakukan dengan meletakkan tebu di altar. Sembahyang ini dilakukan di tempat terbuka dan harus beratapkan langit. Kemudian, semuanya melakukan San Giu Jiu Kou Yaiyu atau tiga kali berlutut dan 9 kali menyentuhkan kepala ke tanah.
Tidak ada komentar:
Write komentar