“Sehidup
semati bersama ataupun terpisah, akan senang bersamamu; menggenggam
tanganmu, sampai nanti di hari tua” merupakan kutipan dari “Kitab
Syair” (Memukul Genderang - Pemandangan Negeri Bei).
Namun hanya “Menggenggam tanganmu, sampai nanti di hari tua” yang diambil dari Kitab Syair (dalam Kitab Syair juga masih terdapat kata-kata “berbudi sampai di hari tua”).
Namun hanya “Menggenggam tanganmu, sampai nanti di hari tua” yang diambil dari Kitab Syair (dalam Kitab Syair juga masih terdapat kata-kata “berbudi sampai di hari tua”).
Kalimat
ini merupakan sebuah ikrar teguh yang sangat tua, sebuah legenda
romantis nan indah. Mengarungi pegunungan dan samudera tiba-tiba terasa
singkat, bergenggam tangan rasa syukur dan dendam sirna, bergenggam
tangan tak tega melihat linangan air mata, merindukan genggaman
tangan.
Menggenggam
tangan disebabkan cinta, semakin tulus sebuah cinta, hatinya semakin
murni; semakin mendalam cintanya, kasih sayangnya semakin bersahaja.
Ketika bergenggam tangan, sama sekali bukanlah hasrat yang menggebu,
tidak berat sebelah.
Dulu
pernah mengira semua kisah cinta haruslah menggemparkan bumi,
mengharukan manusia, hantu maupun Dewa baru dapat disebut sempurna. Saya
pernah mengira cinta yang meninggalkan cacat barulah yang terindah.
Saya pernah mengira cinta setiap insan haruslah meluap-luap barulah
dapat disebut cinta. Pernah mengira semua cinta akan mengalami situasi
kemesraan yang indah, janji setia dalam percintaan.
Namun,
kisah cinta seperti ini merupakan adegan yang hanya muncul pada cerita
novel, di dalam kehidupan kita tidak terdapat begitu banyak cerita yang
menakjubkan, tidak terdapat begitu banyak cinta dalam pandangan pertama,
juga tidak terdapat begitu banyak kisah percintaan Romeo dan Juliet
yang mengharukan. Maka kita mulai beralih dari dunia khayal ke dunia
nyata, kita mulai tidak lagi mendambakan janji setia dalam percintaan,
kita hanya mengharapkan sebuah cinta – bergenggam tangan, hidup sampai
hari tua dengannya.
Saya
pernah sangat mendambakan keromantisan 9999 kuntum bunga mawar; saya
pernah sangat mendambakan kebulatan tekad untuk sehidup semati, saya
juga pernah sangat mendambakan kesetiaan “semoga di angkasa menjadi
sepasang burung merpati, semoga di bumi menjadi pasangan bagaikan dua
pohon yang dahannya menyatu.
Namun
sejak bergandeng tangan dengannya melewati jalan panjang gelap gulita
tak berkesudahan, dan membolehkannya mengenakan mantel padaku dalam
hembusan angin dingin yang membuatku menggigil, dengan teguh menerima
cintanya, hidup sampai di hari tua denganmu – meskipun yang meluap-luap
dapat mengharukan, namun yang biasa-biasa juga menggetarkan hati.
Mungkin
dalam jiwa kita tidak terdapat pemandangan indah bagaikan lukisan, namun
setidaknya kita memiliki bunga-bunga liar yang indah, di atas tanah
lembab sama saja dapat menyebarkan semerbak keharumannya.
Mungkin
juga keadaan biasa-biasa adalah hakekat kehidupan manusia! Meskipun kami
tidak dapat melanglang buana bersama, bagaikan teman karib dalam dunia
fana, namun setidaknya kami dapat menikmati setiap pagi dan senja hari
yang indah, kami dapat bergenggam tangan melewati perjalanan yang tiada
habisnya, biarpun terdapat banyak kesulitan dan bahaya yang menghalang.
“Menggenggam
tanganmu”, kelihatannya merupakan kata-kata yang biasa, di dalamnya
justru terkandung keberanian yang sedemikian besar. Tidak mengapa, hanya
karena kamu, menggenggam tanganmu dalam kegelapan malam tak
berkesudahan, menempuh perjalanan-perjalanan yang panjang, menggenggam
tanganmu di atas jalan yang lekak-lekuk tidak rata, melewati
berkali-kali masa kritis, bergandengan tangan denganmu menempuh semua
perjalanan, sehingga seluruh dunia nampak kecil tak berarti.
Menggenggam
tanganmu, dalam hujan bersama-sama menyangga sebuah payung kecil, dalam
angin mengenakan mantel hangat yang sama, sehingga semua sumpah setia
menjadi pudar, agar cinta agung menggenggam tanganmu mengharukan dunia
ini. Pada saat hujan, engkau berdiri sendiri menunggu angkutan umum
sambil memandang air hujan yang bertaburan, dengan perasaan hati
masygul tak berdaya.
Pada
saat itu dari samping tersodor sebuah payung untuk menghalangi tebaran
air hujan dan langit mendung; tanpa menoleh engkau sudah tahu bahwa aku
telah berdiri di sampingmu seolah-olah gunung bagaikan lautan seperti
langit biru, engkau akan merasakan arus yang sangat hangat dan handal
memenuhi hati: biarlah air hujan bertebaran, biarlah langit mendung,
saat ini anda telah memiliki sebuah payung, sedangkan suasana hatimu
oleh karenanya bagaikan diterangi mentari cerah.
Mungkin
tanpa berucap apapun, hanya bergandengan tangan melewati lorong-lorong
tiada habisnya, menyerahkan hati sejatiku ke tanganmu, bergandengan
tangan melewati kecemerlangan sepanjang hidup. (Lixin/The Epoch Times)
Jika anda merasa artikel ini bermanfaat, maka anda dipersilahkan untuk mencetak dan mengedarkan semua artikel yang dipublikasikan pada Blog Kebajikan ( De 德 ) ini. Mengutip atau mengcopy artikel di Blog ini harus mencantumkan Kebajikan ( De 德 ) sebagai sumber artikel.
Jika anda merasa artikel ini bermanfaat, maka anda dipersilahkan untuk mencetak dan mengedarkan semua artikel yang dipublikasikan pada Blog Kebajikan ( De 德 ) ini. Mengutip atau mengcopy artikel di Blog ini harus mencantumkan Kebajikan ( De 德 ) sebagai sumber artikel.
Tidak ada komentar:
Write komentar