Kesusastraan
merupakan seni yang menggunakan kata-kata untuk mencerminkan realitas
secara obyektif seperti aktivitas psikologis. Ini bagian penting dari
suatu kebudayaan.
Kriteria kesusastraan klasik terletak pada nilai sastra dan pewarisannya. Kandungan maknanya memainkan peran sebagai panutan, inspirasi dan keabadian.
Jika anda merasa artikel ini bermanfaat, maka anda dipersilahkan untuk mencetak dan mengedarkan semua artikel yang dipublikasikan pada Blog Kebajikan ( De 德 ) ini. Mengutip atau mengcopy artikel di Blog ini harus mencantumkan Kebajikan ( De 德 ) sebagai sumber artikel.
Bersambung ke : Bagian ke 2
Kriteria kesusastraan klasik terletak pada nilai sastra dan pewarisannya. Kandungan maknanya memainkan peran sebagai panutan, inspirasi dan keabadian.
China memiliki
tradisi yang menggunakan puisi untuk menyampaikan ambisi, serta sastra
untuk pengajaran moralitas. Sastra klasik menarik minat pembacanya serta
mengolah pikiran mereka dengan teknik seni yang halus dan ideologi yang
bermakna mendalam. Hal ini akan membuat seseorang terus menggemarinya.
Kesusastraan klasik mencakup puisi, syair, prosa dan novel serta bentuk lainnya seperti Ci ( 賦 ,
puisi zaman Dinasti Tang, yang ditulis untuk nada-nada tertentu dengan
pola tonal (gaya suara) yang ketat dan sajak, dalam jumlah baris dan
kata tertentu), Fu ( 賦 ,
bentuk kesusastraan yang rumit menggabungkan unsur-unsur puisi dan
prosa), serta musik. Pengaruh dogma ”harmonisasi Langit dan manusia”
yang dianjurkan Konfusianisme, Buddhisme dan Taoisme pada hubungan
antara kata dan makna, secara langsung menaikkan taraf puisi, prosa,
kaligrafi , lukisan dan musik tersebut.
Manifestasi
kesusastraan klasik dapat diringkas dalam kategori sebagai berikut : Pikiran yang menghubungkan masa jauh lampau, menjelajahi hukum Langit,
melihat ke dalam maupun ke luar, menjelajahi misteri, membuat keilahian
menjadi hal yang kekal, dan menampilkan keabadian.
Berikut saya akan mengupas beberapa kategori ini.
1. Memperhatikan jiwa rasional manusia
Mencari
kebenaran, hukum Langit, serta nilai-nilai kemanusiaan merupakan tema
abadi dalam karya sastra klasik. Kecuali terhadap keabadian alam
semesta, pemahaman orang zaman dahulu terhadap kehidupan manusia yang
singkat, boleh dikatakan sebenarnya merupakan kerinduan mereka akan
dunia kekal yang tak terbatas.
I Ching : Book of Changes,
berada di atas semua karya klasik lainnya. Ini menunjukkan kosmologi
“harmonisasi Langit dan manusia” yang mencakup langit dan bumi, alam
semesta, hubungan manusia dengan Sang Pencipta, serta kemanunggalan
manusia dengan alam. Manusia dapat mendorong perubahan dan memupuk
kekuatan Langit dan bumi, selain itu manusia juga berhubungan dengan
alam.
Book of Changes, mengungkapkan
prinsip-prinsip dasar hubungan antara manusia dan alam bahwa manusia harus
peduli satu sama lainnya termasuk segala hal, serta menjadi jujur dan
toleran.
Kitab Laozi (Laotse) : Dao De Ching (Buku Jalan dan Kebajikan), kitab klasik Konfusius : The Book of Songs, The Book of History, The Analects of Confucius and Spring
, semuanya membicarakan Jalan Ketuhanan, menghormati serta menganjurkan
kebajikan.
Dengan pengajaran dan bimbingan dari para sang Bijak, manusia menghormati Langit dan Tuhan, menyelaraskan diri pada Langit dan menjalani takdir mereka, terbuka dan tulus namun tidak melanggar aturan. Berbagai pendidikan filsafat seluruh teorinya berdasarkan pada Tao (jalan kebajikan).
Dengan pengajaran dan bimbingan dari para sang Bijak, manusia menghormati Langit dan Tuhan, menyelaraskan diri pada Langit dan menjalani takdir mereka, terbuka dan tulus namun tidak melanggar aturan. Berbagai pendidikan filsafat seluruh teorinya berdasarkan pada Tao (jalan kebajikan).
Sima Qian dari Dinasti Han menulis maha karya Shiji (Historical Records
). Meskipun Sima Qian hidup dalam zaman yang sulit, ia masih
menempatkan pemikiran moralitas sebagai tingkat tertinggi dalam tujuan
kehidupan manusia.
Karya-karyanya diturunkan dari generasi ke generasi, beberapa diantaranya mengungkap rasa penyesalan atas berjalannya waktu; ada juga beberapa pemikiran alasan menjadi manusia; menjelajahi mitologi alam semesta; sedangkan yang lainnya tentang kerinduan sesuatu yang melampaui dunia fana.
Karya-karyanya diturunkan dari generasi ke generasi, beberapa diantaranya mengungkap rasa penyesalan atas berjalannya waktu; ada juga beberapa pemikiran alasan menjadi manusia; menjelajahi mitologi alam semesta; sedangkan yang lainnya tentang kerinduan sesuatu yang melampaui dunia fana.
Setelah
menetapkan tujuan mulia, harus ada cara untuk mencapainya, sehingga
para sang Bijak dari berbagai dinasti semuanya memperhatikan kultivasi
(menjalani kehidupan dengan memperbaiki akhlak diri secara terus
menerus).
Kesadaran untuk mengoreksi diri, nilai-kesadaran dan upaya kultivasi, penyempurnaan diri dan pembentukan kepribadian yang ideal, membentuk pemahaman jiwa manusia yang mendalam dari bangsa China.
Kitab klasik Konfusius, Book of Rites - the Great Learning , menunjukkan, “Berharap memperbaiki hatinya, mereka yang pertama kali berusaha menjadi tulus dalam pikirannya.” Hal tersebut merupakan proses kultivasi, serta memberi contoh diri sendiri dalam hal: “Kultivasi diri, keharmonisan keluarga, mengatur negara dan perdamaian dunia.”
Kesadaran untuk mengoreksi diri, nilai-kesadaran dan upaya kultivasi, penyempurnaan diri dan pembentukan kepribadian yang ideal, membentuk pemahaman jiwa manusia yang mendalam dari bangsa China.
Kitab klasik Konfusius, Book of Rites - the Great Learning , menunjukkan, “Berharap memperbaiki hatinya, mereka yang pertama kali berusaha menjadi tulus dalam pikirannya.” Hal tersebut merupakan proses kultivasi, serta memberi contoh diri sendiri dalam hal: “Kultivasi diri, keharmonisan keluarga, mengatur negara dan perdamaian dunia.”
Konfusius
berkata, “Ketika kita melihat manusia yang mulia, kita harus berpikir
untuk menirunya, ketika kita melihat manusia yang berkarakter
sebaliknya, kita harus melihat ke dalam dan memeriksa diri sendiri.”
Konfusius juga mengatakan, “Setiap hari, saya mengoreksi diri sendiri, sekali dan sekali lagi.” Hal ini memerlukan standar yang ketat dan melingkupi diri sendiri, tetapi harus sederhana dan toleran terhadap orang lain. Hanya dengan cara ini, seseorang dapat mengembangkan diri menjadi seorang yang bijak.
Konfusius juga mengatakan, “Setiap hari, saya mengoreksi diri sendiri, sekali dan sekali lagi.” Hal ini memerlukan standar yang ketat dan melingkupi diri sendiri, tetapi harus sederhana dan toleran terhadap orang lain. Hanya dengan cara ini, seseorang dapat mengembangkan diri menjadi seorang yang bijak.
Jika anda merasa artikel ini bermanfaat, maka anda dipersilahkan untuk mencetak dan mengedarkan semua artikel yang dipublikasikan pada Blog Kebajikan ( De 德 ) ini. Mengutip atau mengcopy artikel di Blog ini harus mencantumkan Kebajikan ( De 德 ) sebagai sumber artikel.
Bersambung ke : Bagian ke 2
Tidak ada komentar:
Write komentar