Ada peribahasa
yang mengatakan, “Kehidupan manusia bagaikan sebuah sandiwara, yang mana selalu mabuk pada kemewahan dan ketamakan (人生如戲,一晌貪歡 ) Semua usaha manusia ditentukan oleh Tuhan.
Manusia cuma bisa berusaha, namun Tuhan yang
menentukan akhirnya. Tidak boleh dipaksakan !” Kehendak Tuhan dalamnya tak terukur, manusia selamanya tidak dapat
berebut keunggulan dengan Tuhan. Betapapun
hebatnya seseorang yang nyaris dapat memprediksi segala sesuatu
dengan tepat, pada akhirnya pun tidak berhasil mempersatukan tanah air.
Jika dipandang dari masa sejarah yang sangat panjang, sebenarnya kehidupan manusia bagaikan sandiwara, sandiwara bagaikan kehidupan manusia. Tidak peduli bagaimana manusia mengejar ketenaran dan kekayaan, setelah mati maka semua hanyalah kosong belaka, pahlawan sebesar apapun juga sangat sulit meninggalkan sesuatu. Keberhasilan atau kegagalan di mata dunia setelah digelontor oleh sang waktu, yang pada akhirnya semua itu hanyalah sebuah ‘kehampaan’.
Sebuah syair kecil yang ditulis di depan pembukaan cerita Sam Kok oleh pengarang Luo Guanzhong, adalah syair Lin Jiang Xian (Dihadapan Dewa Sungai) karya Yang Shen sebagai berikut :
Air Sungai Yangtse bergulung berlalu menuju timur, buih ombak mendulang habis para pahlawan.
Benar dan salah, berhasil maupun gagal, dalam sekejap menjadi hampa.
Gunung hijau bergeming, mentari senja merah tak pernah berubah.
Nelayan beruban di atas delta, sudah terbiasa menyaksikan rembulan musim gugur dan angin musim semi.
Satu teko arak keruh bersukaria atas perjumpaan kembali.
Berapa banyak masalah dari zaman kuno hingga kini, dibahas tuntas dalam canda dan tawa.
Dalam kehidupan ini, kita hanya mengulang-ulang tiga kata yakni Ming (nama), Li (keuntungan), Qing (perasaan)? Ketika setiap kali dia mengulangi pertanyaan yang sama, sepertinya baru pertama kali terjadi. Sedangkan ketika bergelut di seputar Ming (nama), Li (keuntungan), Qing (perasaan) tiga kata ini, bukankah juga selalu penuh dengan kegairahan? Sehingga membuat kita berkeliling di sekitar benda-benda yang kita tuntut dan kejar, terus-menerus mengulangi pilihan dan pengorbanan kita sendiri.
Ada berapa banyak pendekar, ksatria dan orang termasyur yang memiliki pahala dan jasa amat besar dalam sejarah, dihadapan materi dan pemandangan abadi, semuanya nampak singkat, sementara dan hampa.
Tak salah jika Su Dongpo (dibaca : Su tung bou 1037–1101 M, sastrawan, penyair, pelukis, kaligrafi zaman Dinasti Song) berkata,“Sungai besar mengalir ke timur, ombak menyaring tuntas para tokoh besar abadi.” Li Bai (dibaca : li pai, 701-762 M, penyair dari zaman Dinasti Tang) berdendang, “Sejak dahulu orang arif bijaksana selalu kesepian, hanya penikmat arak yang bisa meninggalkan nama.”
Malahan si nelayan tua di atas sungai yang leluasa berpikir terbuka dan bebas, bahkan bisa mencapai taraf “ada berapa banyak masalah dari zaman kuno hingga kini, semuanya dibahas tuntas dalam canda dan tawa”.
Dimasa lalu para jenderal menunggang kuda, berperang dan menumpahkan darah, tapi ia malah bisa minum satu teko arak keruh dengan santai, usai makan dan minum berbicara kesana-kemari tentang zaman dahulu hingga kini.
Orang yang terendam di dalamnya, tidak bisa menyadari bahwa pikiran dan tindakan kita sendiri sangat menggelikan. Hanyalah orang yang berhati lapang, bisa memandang hambar segala urusan duniawi baru bisa memandang dari samping dengan rasional, melihat dengan jelas watak hakiki.
Juga hanya orang yang bisa mengenali saja yang mampu melompat keluar dari jeratan duniawi seperti “kehidupan satu menit”, jangan menuntut dan mengejar benda-benda ilusi dan tidak nyata, melainkan buatlah jiwa kita terus-menerus membumbung ke atas selama kita masih hidup.
Hanya dengan memahami secara gamblang makna sebenarnya kehidupan “benar dan salah, berhasil maupun gagal dalam sekejap menjadi hampa”, baru bisa melepas rasa bersaing yang memperebutkan nama dan kekayaan.
Baru bisa dengan hati yang benar-benar tenang menengadahkan kepala melihat langit, memandang awan dan mendengarkan hujan, dengan wajah tersenyum menyambut rembulan musim gugur dan angin di musim semi.
Baru bisa mencapai taraf spirit berpikiran terbuka dan bebas, seperti nelayan tua yang berada di atas sungai itu, “ada berapa banyak masalah dari dahulu hingga sekarang, semuanya dijadikan bahan cerita dengan santai”.
Jika anda merasa artikel ini bermanfaat, maka anda dipersilahkan untuk mencetak dan mengedarkan semua artikel yang dipublikasikan pada Blog Kebajikan ( De 德 ) ini. Mengutip atau mengcopy artikel di Blog ini harus mencantumkan Kebajikan ( De 德 ) sebagai sumber artikel.
Tidak ada komentar:
Write komentar