Alkisah, sekitar 3000 tahun yang lalu di daratan China, disaat
manusia masih sangat sedikit, ada sebuah kerajaan kecil, benar-benar
kecil karena hanya terdiri dari seribuan kepala keluarga.
Maklum, pada saat itu manusia masih sedikit, sehingga dengan jumlah populasi itu sudah bisa terbentuk kerajaan kecil. Nama kerajaan itu Kerajaan “Pheng”, dengan rajanya yang bernama Pheng An. Sang raja adalah orang yang bijaksana dan mencintai rakyatnya.
Pada awal pembentukan kerajaan, semua aspek kehidupan masih sederhana dan semua penduduknya saling bekerjasama. Ada kalanya timbul perselisihan, namun sang raja selalu menjadi penengah yang bijaksana dan tegas, sehingga perselisihan bisa selesai tanpa berkepanjangan.
Pendatang baru yang ingin tinggal di kerajaan itu selalu disambut dengan gembira, maklum saja karena tanahnya masih luas dan membutuhkan banyak tenaga untuk mengolahnya. Kehidupan kerajaan ditopang oleh pertanian dan peternakan. Rakyat kerajaan Pheng selalu berusaha berbuat yang terbaik untuk negaranya.
Raja Pheng An juga selalu berusahan memberikan yang terbaik untuk rakyatnya, seluruh pemikiran dicurahkan demi orang-orang yang dipimpinnya. Dia dibantu oleh seorang Perdana Menteri merangkap penasehat spiritual, bernama Phi Kun. Sang raja selalu mengajak Perdana Menterinya berdiskusi dalam mengambil keputusan penting.
Sejalan dengan meluasnya kerajaan Pheng dan penduduknya bertambah, sang raja pun tambah sibuk dan semakin banyak keputusan penting yang harus diambilnya. Suatu hari Raja Pheng An meminta nasehat dari Phi Kun untuk membantu mencari jalan terbaik agar keputusannya benar-benar berguna bagi rakyatnya sekaligus menjaga citra sang raja.
“Penasehatku yang setia, ada banyak keputusan penting yang harus kuambil dan sulitnya aku tidak bisa membaca isi hati rakyatku. Bagaimana aku tahu apa yang diingini dan terbaik bagi rakyatku ?” kata sang raja sambil menerawang memandang gunung nun jauh disana, seakan mencari jawaban.
“Tuanku, hamba pun tidak tahu jawaban yang pasti, namum hamba pikir serahkan saja pada rakyat dan para dewa untuk mengambil keputusan”, jawab Phi Kun secara diplomatis, tetapi nada suaranya mengambang tak tentu, mungkin takut pula memberikan jawaban yang salah.
“Hmmm…serahkan pada rakyat dan para Dewa ?”, ulang raja Pheng An dengan suara bernada rendah, seakan mencari jawaban dalam hatinya. Tiba-tiba dia tersenyum penuh arti, “Phi Kun, kamu memang jenius !” katanya hampir berteriak. Cepat-cepat sang raja meraih kuas dan menuliskan sesuatu dengan tinta yang hitam pekat diatas kertas.
Tak lama kemudian, sang rajapun mengeluarkan dekrit yang dia beri nama “Dekrit Hio Panjang, Hio Pendek”.
Hio adalah dupa berbentuk batang dan biasa digunakan untuk sembahyang atau berdoa kepada Dewa Langit dan Dewa Bumi yang merupakan dewa-dewa sembahan masyarakat waktu itu. Cara penggunaannya dengan dibakar seperti menyulut rokok. Hio yang terbakar akan mengeluarkan bau harum dan habis menjadi abu.
Sang raja menentukan bahwa semua rakyat harus terlibat dalam memberikan suaranya ketika pemerintah harus membuat keputusan penting untuk negara dan bangsa, namun hasil akhir tetap menjadi hak prerogatif raja dan para Dewa.
Secara praktek, ketika dibutuhkan, sang raja akan membuat suatu pengumuman yang ditempel di alun-alun istana, dan rakyat bebas memberikan suara “setuju” atau “tidak” dengan menancapkan sebatang hio perorang ditempat yang telah tersedia di alun-alun istana. Hio panjang berarti “setuju”, hio pendek berarti “tidak”.
Jika ada dua pilihan bagi rakyat, maka hio panjang mewakili pilihan pertama dan hio pendek untuk pilihan kedua. Pilihan selalu dibatasi maksimum dua, karena selalu dipilah lebih dahulu oleh Perdana Menteri dan jajaran menterinya.
Setelah hio atau dupa terkumpul, maka terlihatlah opini rakyat dan atas dasar tersebut, sang raja mengambil keputusan. Walaupun keputusan tidak selalu berdasarkan hio yang terbanyak, tetapi biasanya sang raja mengikuti suara rakyat dan semua keputusan itu disahkan dengan membakar hio yang terkumpul sebagai lambang syukur atas keputusan yang telah diridhoi oleh para Dewa. Maka seakan-akan para Dewa pun memberikan restu atas keputusan sang raja. Suatu kondisi yang ideal.
“Tuanku memang jenius,” puji Phi Kun atas siasat sang raja. “Tetapi apakah para rakyat jelata bisa jujur dengan satu hio satu orang ? Apakah perlu dilakukan vertifikasi atas hio-hio tersebut ?” tambahnya.
“Jangan khawatir Phi Kun, toh hasil akhir kembali kepada rakyat juga. Selain itu keputusan akhir tetap ada padaku, tentunya rakyatku tidak akan menghianati dirinya dan rajanya. Satu lagi, para dewapun berpihak padaku.” kata raja Pheng An tersenyum penuh arti.
“Biarlah semuanya memberikan sumbangsih pemikirannya secara anonim.” kata sang raja dengan bijak.
Seiring dengan berjalannya waktu, kerajaan Phen An menjadi besar dan makmur, rakyatnya bahagia, karena merasa dimengerti oleh rajanya yang tercinta dan kebijaksanaan raja selalu direstui Dewa Langit dan Dewa Bumi.
Raja Pheng An memiliki dua orang putra, yang sulung bernama Pheng Ki dan adiknya bernama Pheng San. Kedua kakak beradik itu saling bersaing dalam segala bidang; militer, sastra, seni dan ilmu pemerintahan. Namun secara umum rakyat menyukai anak bungsu raja, Pheng San, karena lebih rupawan alias ganteng, serta halus tutur katanya. Sedangkan sang anak sulung bertampang rata-rata dan cenderung angkuh.
Setelah beranjak dewasa, kedua anak raja menikah dengan putri-putri dari negara tetangga. Rupanya persaingan keduanya tidaklah sebatas dalam masa pendidikan, tetapi juga dalam mencari dukungan didalam dan luar istana. Persaingan pun melibatkan isteri dan keluarganya masing-masing.
Pada tahun ke-53 pemerintahan raja Pheng An, para Dewa memutuskan kehidupan duniawi sang raja telah usai dan memanggilnya ke surga, alias meninggal. Kematian tiba-tiba sang raja membuat panik penghuni istana, karena tidak ada wasiat yang ditinggalkan.
Menurut adat, seharusnya Pheng Ki, anak sulung menggantikan menjadi raja, tetapi kebanyakan rakyat mengharapkan Pheng San yang naik tahta. Keributan pun terjadi, karena masing-masing pendukung bertengkar hebat dengan lawannya. Sang Perdana Menteri yang sudah uzur pun menjadi resah, khawatir terjadi pertumpahan darah.
Akhirnya Phi Kun tampil dan menggunakan “trik” junjungannya untuk mengambil keputusan, yaitu Hio Panjang dan Hio Pendek untuk memberikan kesempatan pada rakyat untuk menentukan siapa raja yang mereka dukung. Pheng Ki, si anak sulung, diwakili Hio Panjang dan Pheng San, si anak bungsu, diwakili Hio Pendek.
Tetapi ada yang mengganjal dalam penerapan “trik” peninggalan sang raja, yaitu bagaimana kalau ada yang curang dan menancapkan hionya lebih dari satu ? Maka diambillah keputusan yang bertentangan dengan pemikiran almarhum raja, yaitu setiap pemberi suara yang menancapkan hio harus diverifikasi terlebih dahulu.
Setiap batang hio diberi nomor sesuai nomor urut rumah masing-masing, dengan kombinasi nomor rumah dan nama panggilan penghuninya masing-masing. Akibatnya setiap batang hio mempunyai tanda unik terverifikasi sesuai dengan identitas pemegangnya.
Pelaksanaan Dekrit Hio Panjang, Hio Pendek yang sudah dimodifikasi pun berjalan tegang serta memakan waktu panjang. Hasil akhir seperti yang telah diduga, anak bungsu almarhum raja, Pheng San mendapat suara terbanyak, alias hio pendek yang terkumpul jumlahnya lebih banyak dari hio panjang.
]
Dalam suasana mabuk kemenangan, pendukung Pheng San pun bersiap-siap membakar hio-hio yang terkumpul sebagai tanda syukur atas “Pilihan rakyat dengan restu Dewa”.
Tiba-tiba, menyerbu pasukan berkuda dari arah gerbang istana dengan bersanjata lengkap. Mereka adalah tentara yang setia pada anak sulung dan didukung “pasukan luar” dari pihak keluarga isteri si anak sulung tersebut.
Dalam sekejap para pendukung anak bungsu dibantai habis didepan alun-alun istana, sebelum sempat menyalakan api membakar tumpukan hio. Tidak sampai disitu pembantaian tersebut, secara sistematis para pendukung si anak bungsu dipisahkan dan dieksekusi atau dijebloskan ke penjara.
Ada pula yang dijadikan pekerja paksa. Pheng San dan keluarganya tak luput dari pembantaian. Perang saudara berlangsung cepat, karena memang tidak terduga sama sekali, akhir dari ide cemerlang raja Pheng An menjadi bumerang yang menghancurkan kerajaan yang dibangun dengan susah payah.
Tidak heran kalau pasukan pendukung Pheng Ki, si anak sulung, bisa memilah-milah para pendukung adiknya, karena daftar verifikasi para pemegang hio menjadi petunjuk siapa saja yang harus “diciduk” dan hukuman bisa langsung dijatuhkan dengan bukti hio pendek yang memuat tanda unik masing-masing orang. Tragis memang, ide cemerlang tidak selalu berakhir dengan gemilang.
Jika anda merasa artikel ini bermanfaat, maka anda dipersilahkan untuk mencetak dan mengedarkan semua artikel yang dipublikasikan pada Blog Kebajikan ( De 德 ) ini. Mengutip atau mengcopy artikel di Blog ini harus mencantumkan Kebajikan ( De 德 ) sebagai sumber artikel.
Maklum, pada saat itu manusia masih sedikit, sehingga dengan jumlah populasi itu sudah bisa terbentuk kerajaan kecil. Nama kerajaan itu Kerajaan “Pheng”, dengan rajanya yang bernama Pheng An. Sang raja adalah orang yang bijaksana dan mencintai rakyatnya.
Pada awal pembentukan kerajaan, semua aspek kehidupan masih sederhana dan semua penduduknya saling bekerjasama. Ada kalanya timbul perselisihan, namun sang raja selalu menjadi penengah yang bijaksana dan tegas, sehingga perselisihan bisa selesai tanpa berkepanjangan.
Pendatang baru yang ingin tinggal di kerajaan itu selalu disambut dengan gembira, maklum saja karena tanahnya masih luas dan membutuhkan banyak tenaga untuk mengolahnya. Kehidupan kerajaan ditopang oleh pertanian dan peternakan. Rakyat kerajaan Pheng selalu berusaha berbuat yang terbaik untuk negaranya.
Raja Pheng An juga selalu berusahan memberikan yang terbaik untuk rakyatnya, seluruh pemikiran dicurahkan demi orang-orang yang dipimpinnya. Dia dibantu oleh seorang Perdana Menteri merangkap penasehat spiritual, bernama Phi Kun. Sang raja selalu mengajak Perdana Menterinya berdiskusi dalam mengambil keputusan penting.
Sejalan dengan meluasnya kerajaan Pheng dan penduduknya bertambah, sang raja pun tambah sibuk dan semakin banyak keputusan penting yang harus diambilnya. Suatu hari Raja Pheng An meminta nasehat dari Phi Kun untuk membantu mencari jalan terbaik agar keputusannya benar-benar berguna bagi rakyatnya sekaligus menjaga citra sang raja.
“Penasehatku yang setia, ada banyak keputusan penting yang harus kuambil dan sulitnya aku tidak bisa membaca isi hati rakyatku. Bagaimana aku tahu apa yang diingini dan terbaik bagi rakyatku ?” kata sang raja sambil menerawang memandang gunung nun jauh disana, seakan mencari jawaban.
“Tuanku, hamba pun tidak tahu jawaban yang pasti, namum hamba pikir serahkan saja pada rakyat dan para dewa untuk mengambil keputusan”, jawab Phi Kun secara diplomatis, tetapi nada suaranya mengambang tak tentu, mungkin takut pula memberikan jawaban yang salah.
“Hmmm…serahkan pada rakyat dan para Dewa ?”, ulang raja Pheng An dengan suara bernada rendah, seakan mencari jawaban dalam hatinya. Tiba-tiba dia tersenyum penuh arti, “Phi Kun, kamu memang jenius !” katanya hampir berteriak. Cepat-cepat sang raja meraih kuas dan menuliskan sesuatu dengan tinta yang hitam pekat diatas kertas.
Tak lama kemudian, sang rajapun mengeluarkan dekrit yang dia beri nama “Dekrit Hio Panjang, Hio Pendek”.
Hio adalah dupa berbentuk batang dan biasa digunakan untuk sembahyang atau berdoa kepada Dewa Langit dan Dewa Bumi yang merupakan dewa-dewa sembahan masyarakat waktu itu. Cara penggunaannya dengan dibakar seperti menyulut rokok. Hio yang terbakar akan mengeluarkan bau harum dan habis menjadi abu.
Sang raja menentukan bahwa semua rakyat harus terlibat dalam memberikan suaranya ketika pemerintah harus membuat keputusan penting untuk negara dan bangsa, namun hasil akhir tetap menjadi hak prerogatif raja dan para Dewa.
Secara praktek, ketika dibutuhkan, sang raja akan membuat suatu pengumuman yang ditempel di alun-alun istana, dan rakyat bebas memberikan suara “setuju” atau “tidak” dengan menancapkan sebatang hio perorang ditempat yang telah tersedia di alun-alun istana. Hio panjang berarti “setuju”, hio pendek berarti “tidak”.
Jika ada dua pilihan bagi rakyat, maka hio panjang mewakili pilihan pertama dan hio pendek untuk pilihan kedua. Pilihan selalu dibatasi maksimum dua, karena selalu dipilah lebih dahulu oleh Perdana Menteri dan jajaran menterinya.
Setelah hio atau dupa terkumpul, maka terlihatlah opini rakyat dan atas dasar tersebut, sang raja mengambil keputusan. Walaupun keputusan tidak selalu berdasarkan hio yang terbanyak, tetapi biasanya sang raja mengikuti suara rakyat dan semua keputusan itu disahkan dengan membakar hio yang terkumpul sebagai lambang syukur atas keputusan yang telah diridhoi oleh para Dewa. Maka seakan-akan para Dewa pun memberikan restu atas keputusan sang raja. Suatu kondisi yang ideal.
“Tuanku memang jenius,” puji Phi Kun atas siasat sang raja. “Tetapi apakah para rakyat jelata bisa jujur dengan satu hio satu orang ? Apakah perlu dilakukan vertifikasi atas hio-hio tersebut ?” tambahnya.
“Jangan khawatir Phi Kun, toh hasil akhir kembali kepada rakyat juga. Selain itu keputusan akhir tetap ada padaku, tentunya rakyatku tidak akan menghianati dirinya dan rajanya. Satu lagi, para dewapun berpihak padaku.” kata raja Pheng An tersenyum penuh arti.
“Biarlah semuanya memberikan sumbangsih pemikirannya secara anonim.” kata sang raja dengan bijak.
Seiring dengan berjalannya waktu, kerajaan Phen An menjadi besar dan makmur, rakyatnya bahagia, karena merasa dimengerti oleh rajanya yang tercinta dan kebijaksanaan raja selalu direstui Dewa Langit dan Dewa Bumi.
Raja Pheng An memiliki dua orang putra, yang sulung bernama Pheng Ki dan adiknya bernama Pheng San. Kedua kakak beradik itu saling bersaing dalam segala bidang; militer, sastra, seni dan ilmu pemerintahan. Namun secara umum rakyat menyukai anak bungsu raja, Pheng San, karena lebih rupawan alias ganteng, serta halus tutur katanya. Sedangkan sang anak sulung bertampang rata-rata dan cenderung angkuh.
Setelah beranjak dewasa, kedua anak raja menikah dengan putri-putri dari negara tetangga. Rupanya persaingan keduanya tidaklah sebatas dalam masa pendidikan, tetapi juga dalam mencari dukungan didalam dan luar istana. Persaingan pun melibatkan isteri dan keluarganya masing-masing.
Pada tahun ke-53 pemerintahan raja Pheng An, para Dewa memutuskan kehidupan duniawi sang raja telah usai dan memanggilnya ke surga, alias meninggal. Kematian tiba-tiba sang raja membuat panik penghuni istana, karena tidak ada wasiat yang ditinggalkan.
Menurut adat, seharusnya Pheng Ki, anak sulung menggantikan menjadi raja, tetapi kebanyakan rakyat mengharapkan Pheng San yang naik tahta. Keributan pun terjadi, karena masing-masing pendukung bertengkar hebat dengan lawannya. Sang Perdana Menteri yang sudah uzur pun menjadi resah, khawatir terjadi pertumpahan darah.
Akhirnya Phi Kun tampil dan menggunakan “trik” junjungannya untuk mengambil keputusan, yaitu Hio Panjang dan Hio Pendek untuk memberikan kesempatan pada rakyat untuk menentukan siapa raja yang mereka dukung. Pheng Ki, si anak sulung, diwakili Hio Panjang dan Pheng San, si anak bungsu, diwakili Hio Pendek.
Tetapi ada yang mengganjal dalam penerapan “trik” peninggalan sang raja, yaitu bagaimana kalau ada yang curang dan menancapkan hionya lebih dari satu ? Maka diambillah keputusan yang bertentangan dengan pemikiran almarhum raja, yaitu setiap pemberi suara yang menancapkan hio harus diverifikasi terlebih dahulu.
Setiap batang hio diberi nomor sesuai nomor urut rumah masing-masing, dengan kombinasi nomor rumah dan nama panggilan penghuninya masing-masing. Akibatnya setiap batang hio mempunyai tanda unik terverifikasi sesuai dengan identitas pemegangnya.
Pelaksanaan Dekrit Hio Panjang, Hio Pendek yang sudah dimodifikasi pun berjalan tegang serta memakan waktu panjang. Hasil akhir seperti yang telah diduga, anak bungsu almarhum raja, Pheng San mendapat suara terbanyak, alias hio pendek yang terkumpul jumlahnya lebih banyak dari hio panjang.
]
Dalam suasana mabuk kemenangan, pendukung Pheng San pun bersiap-siap membakar hio-hio yang terkumpul sebagai tanda syukur atas “Pilihan rakyat dengan restu Dewa”.
Tiba-tiba, menyerbu pasukan berkuda dari arah gerbang istana dengan bersanjata lengkap. Mereka adalah tentara yang setia pada anak sulung dan didukung “pasukan luar” dari pihak keluarga isteri si anak sulung tersebut.
Dalam sekejap para pendukung anak bungsu dibantai habis didepan alun-alun istana, sebelum sempat menyalakan api membakar tumpukan hio. Tidak sampai disitu pembantaian tersebut, secara sistematis para pendukung si anak bungsu dipisahkan dan dieksekusi atau dijebloskan ke penjara.
Ada pula yang dijadikan pekerja paksa. Pheng San dan keluarganya tak luput dari pembantaian. Perang saudara berlangsung cepat, karena memang tidak terduga sama sekali, akhir dari ide cemerlang raja Pheng An menjadi bumerang yang menghancurkan kerajaan yang dibangun dengan susah payah.
Tidak heran kalau pasukan pendukung Pheng Ki, si anak sulung, bisa memilah-milah para pendukung adiknya, karena daftar verifikasi para pemegang hio menjadi petunjuk siapa saja yang harus “diciduk” dan hukuman bisa langsung dijatuhkan dengan bukti hio pendek yang memuat tanda unik masing-masing orang. Tragis memang, ide cemerlang tidak selalu berakhir dengan gemilang.
Jika anda merasa artikel ini bermanfaat, maka anda dipersilahkan untuk mencetak dan mengedarkan semua artikel yang dipublikasikan pada Blog Kebajikan ( De 德 ) ini. Mengutip atau mengcopy artikel di Blog ini harus mencantumkan Kebajikan ( De 德 ) sebagai sumber artikel.
Tidak ada komentar:
Write komentar