Confucius mengajarkan bahwa terdapat lima hubungan norma kesopanan ( 五倫 / Wu Lun
) dalam kehidupan bermasyarakat, dimana secara bersama membentuk suatu
dasar interaksi manusia yang diwujudkan dalam lima sifat mulia ( Wu Chang ), yaitu Jen, I, Li, Chih, dan Hsin.
Dengan menjalani kehidupan secara berkesesuaian terhadap lima hubungan norma kesopanan tersebut, maka seseorang akan memiliki kehidupan moralitas yang tinggi terhadap hubungan pribadinya maupun terhadap komunitas sebagai suatu eksistensi bersama yang harmonis.
Hubungan Wu Lun yang dipaparkan secara berpasangan dapatlah dilihat sebagai suatu paduan keharmonisan unsur Yin-Yang dimana nama awal sebagai dominan bertindak selaku Yang dan nama yang kedua sebagai pengikut bertindak selaku Yin.
Lima hubungan tersebut terdiri dari :
Sehingga seseorang dalam hubungan tersebut di atas dapat menunjukkan kedua sifat Yin dan Yang. Sebagai contoh, seorang ayah, bersifat Yang dalam hubungan dengan istri dan anaknya, dan bersifat Yin dalam hubungan dengan pimpinannya ataupun terhadap teman dan saudaranya yang lebih tua.
Seorang anak adalah bersifat Yin dalan hubungan dengan ayahnya dan Yang dalam hubungan dengan saudara atau temannya yang lebih muda. Confucius tidak menjelaskan masalah yang kemungkinan dapat terjadi apabila suatu keluarga dimana anak kedua (dalam pengertian China) memiliki keunggulan yang lebih dominan daripada saudara tuanya; juga tidak ditegaskannya apakah seorang perempuan layak memiliki sifat selain Yin.
Sangat ditekankan oleh Confucius, bahwa dalam berbagai posisi apakah sebagai seorang pemimpin atau kepala negara, bawahan atau menteri, ayah dan anak, haruslah mampu menyadari akan fungsi dan tanggungjawabnya masing-masing sehingga terbentuk keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat.
Guru Khung Fu Zi bersabda, ” Raja berfungsi sebagai raja, menteri berfungsi sebagai menteri, ayah berfungsi sebagai ayah, dan anak berfungsi sebagai anak.” (Lun Yu XII/11).
Seorang pemimpin yang terlalu malas untuk menyelesaikan suatu perkara di daerah kekuasannya, akan menciptakan penyelewengan para bawahannya atau menterinya dalam melayani rakyat, seorang ayah yang mengabaikan tanggungjawab sebagai orangtua terhadap anaknya akan menciptakan tanggungjawab yang tidak berbeda dari seorang anak kepada orangtuanya.
Kesemuanya itu akan menyebabkan ketidakteraturan. Dapatkan
nama (kedudukan) yang tepat, demikian saran dari Confucius, sehingga
akan timbullah kemungkinan keadilan dan keteraturan di dalam negeri,
mengabaikan nama, maka pintu akan terbuka untuk penyusupan,
ketidakharmonisan, dan kerusuhan. Setiap nama (kedudukan)
berhubungan terhadap suatu esensi dari apapun atau siapapun yang
berkaitan dengan nama (kedudukan) tersebut.
Jika seorang pemimpin, menteri, ayah atau anak mengikuti Jalan Kebenaran [Tao] dalam laku hidupnya sesuai dengan nama ( jabatan) yang melekat pada dirinya, maka akan timbul keharmonisan antara nama ( jabatan) tersebut dan pernyataan sikap yang ditunjukkannya. Seorang Budiman (C'un Zi ) tidak akan terburu-buru mengeluarkan pendapatnya apabila belum memahami sesuatu sesuai dengan nama ( kedudukan) yang benar.
Bersambung Ke : Bagian 2
Jika anda merasa artikel ini bermanfaat, maka anda dipersilahkan untuk mencetak dan mengedarkan semua artikel yang dipublikasikan pada Blog Kebajikan ( De 德 ) ini. Mengutip atau mengcopy artikel di Blog ini harus mencantumkan Kebajikan ( De 德 ) sebagai sumber artikel.
Dengan menjalani kehidupan secara berkesesuaian terhadap lima hubungan norma kesopanan tersebut, maka seseorang akan memiliki kehidupan moralitas yang tinggi terhadap hubungan pribadinya maupun terhadap komunitas sebagai suatu eksistensi bersama yang harmonis.
Hubungan Wu Lun yang dipaparkan secara berpasangan dapatlah dilihat sebagai suatu paduan keharmonisan unsur Yin-Yang dimana nama awal sebagai dominan bertindak selaku Yang dan nama yang kedua sebagai pengikut bertindak selaku Yin.
Lima hubungan tersebut terdiri dari :
· Ayah dan anak
· Suami dan isteri
· Saudara yang lebih tua dan saudara yang lebih muda
· Teman yang lebih tua dan teman yang lebih muda
· Pemimpin dan bawahannya.
Sehingga seseorang dalam hubungan tersebut di atas dapat menunjukkan kedua sifat Yin dan Yang. Sebagai contoh, seorang ayah, bersifat Yang dalam hubungan dengan istri dan anaknya, dan bersifat Yin dalam hubungan dengan pimpinannya ataupun terhadap teman dan saudaranya yang lebih tua.
Seorang anak adalah bersifat Yin dalan hubungan dengan ayahnya dan Yang dalam hubungan dengan saudara atau temannya yang lebih muda. Confucius tidak menjelaskan masalah yang kemungkinan dapat terjadi apabila suatu keluarga dimana anak kedua (dalam pengertian China) memiliki keunggulan yang lebih dominan daripada saudara tuanya; juga tidak ditegaskannya apakah seorang perempuan layak memiliki sifat selain Yin.
Sangat ditekankan oleh Confucius, bahwa dalam berbagai posisi apakah sebagai seorang pemimpin atau kepala negara, bawahan atau menteri, ayah dan anak, haruslah mampu menyadari akan fungsi dan tanggungjawabnya masing-masing sehingga terbentuk keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat.
Guru Khung Fu Zi bersabda, ” Raja berfungsi sebagai raja, menteri berfungsi sebagai menteri, ayah berfungsi sebagai ayah, dan anak berfungsi sebagai anak.” (Lun Yu XII/11).
Seorang pemimpin yang terlalu malas untuk menyelesaikan suatu perkara di daerah kekuasannya, akan menciptakan penyelewengan para bawahannya atau menterinya dalam melayani rakyat, seorang ayah yang mengabaikan tanggungjawab sebagai orangtua terhadap anaknya akan menciptakan tanggungjawab yang tidak berbeda dari seorang anak kepada orangtuanya.
Jika seorang pemimpin, menteri, ayah atau anak mengikuti Jalan Kebenaran [Tao] dalam laku hidupnya sesuai dengan nama ( jabatan) yang melekat pada dirinya, maka akan timbul keharmonisan antara nama ( jabatan) tersebut dan pernyataan sikap yang ditunjukkannya. Seorang Budiman (C'un Zi ) tidak akan terburu-buru mengeluarkan pendapatnya apabila belum memahami sesuatu sesuai dengan nama ( kedudukan) yang benar.
Guru Khung Fu Zi bersabda, “Seorang
Budiman ( C'un Zi ) bila belum memahami sesuatu tidak akan
terburu-buru mengeluarkan pendapat. Bilamana nama-nama
(kedudukan-kedudukan) tidak benar, maka pembicaraan tidak akan sesuai
dengan hal yang sebenarnya, sehingga segala urusan tidak akan dapat
diselesaikan secara baik.”
Dengan
demikian setiap hubungan, adalah penting untuk diperhatikan posisi
atau kedudukan dari nama ataupun jabatan yang melekat pada dirinya,
sehingga setiap orang dapat menjalani fungsinya sesuai dengan Jalan
Kebenaran (Tao).
1. Hubungan Ayah dan Anak
Hubungan
ayah dengan anak dapat ditafsirkan sebagai hubungan anak-anak terhadap
orang tua mereka. Seorang anak haruslah berbhakti terhadap orang tua
mereka dengan melayani mereka secara sopan santun dan berbudi pekerti
luhur, baik pada saat mereka masih hidup ataupun sesudah meninggal.
Guru Khung Fu Zi bersabda, “Apabila
orangtua masih hidup, layanilah mereka dengan sopan santun / budi
pekerti. Pada saat mereka meninggal, makamkanlah dengan sopan santun /
budi pekerti dan sembahyangilah dengan sopan santun / budi pekerti.” (Lun Yu II/5).
Pengertian
bhakti terhadap orangtua juga sangat ditekankan dalam Buddhisme
sebagaimana dapat dilihat dari Sutra Kasih Yang Mendalam Dari Orangtua
dan Kesulitan Membalasnya (Filial Piety Sutra) dan sutra-sutra lainnya.
Dalam sutra tersebut disabdakan oleh Sang Buddha : “Bila ada seseorang yang mengangkat ayahnya dengan bahu kirinya, dan ibunya dengan bahu kanannya, dan oleh karena beratnya menembus tulang sumsumnya, sehingga tulang-tulangnya hancur menjadi debu, dan orang tersebut mengelilingi Puncak Sumeru seratus ribu kalpa lamanya, sehingga darah yang keluar dari kakinya membasahi pergelangan kakinya, orang tersebut belumlah cukup membalas kebaikan yang mendalam dari orang tuanya."
Orangtua senantiasa mengkhawatirkan keberadaan dan kesehatan anak-anaknya. Sungguh berbahagia bagi kita yang dapat hidup di dekat orangtua sehingga dapat menghilangkan kekhawatiran mereka.
Namun dalam kehidupan jaman sekarang sulit dapat dihindari untuk hidup berjauhan dari orangtua karena tuntutan pendidikan ataupun pekerjaan. Kemampuan teknologi komunikasi sangat membantu untuk membolehkan kita menghubungi orangtua secara rutin apabila kita berada jauh dari tempat mereka tinggal, hanya untuk mengabarkan keberadaan kita.
Dalam sutra tersebut disabdakan oleh Sang Buddha : “Bila ada seseorang yang mengangkat ayahnya dengan bahu kirinya, dan ibunya dengan bahu kanannya, dan oleh karena beratnya menembus tulang sumsumnya, sehingga tulang-tulangnya hancur menjadi debu, dan orang tersebut mengelilingi Puncak Sumeru seratus ribu kalpa lamanya, sehingga darah yang keluar dari kakinya membasahi pergelangan kakinya, orang tersebut belumlah cukup membalas kebaikan yang mendalam dari orang tuanya."
Orangtua senantiasa mengkhawatirkan keberadaan dan kesehatan anak-anaknya. Sungguh berbahagia bagi kita yang dapat hidup di dekat orangtua sehingga dapat menghilangkan kekhawatiran mereka.
Namun dalam kehidupan jaman sekarang sulit dapat dihindari untuk hidup berjauhan dari orangtua karena tuntutan pendidikan ataupun pekerjaan. Kemampuan teknologi komunikasi sangat membantu untuk membolehkan kita menghubungi orangtua secara rutin apabila kita berada jauh dari tempat mereka tinggal, hanya untuk mengabarkan keberadaan kita.
Guru Khung Fu Zi bersabda,
“Bila orangtua Anda masih hidup, janganlah berpergian jauh. Jika Anda
harus berpergian jauh, Anda harus memberitahu mereka di mana Anda
berada, supaya mereka tidak merasa khawatir mengenai keadaan Anda .” (Lun Yu IV/19).
Orangtua
senantiasa mengharapkan kemajuan dan kesejahteraan anak-anaknya.
Apabila anaknya laki-laki, tentunya mereka mengharapkan agar kelak akan
memperoleh seorang isteri yang setia. Demikian juga kalau anaknya
perempuan, maka mereka mengharapkan agar kelak akan memperoleh seorang
suami yang baik.
Guru Meng Zi bersabda, “Begitu
seorang laki-laki lahir, orangtuanya tentu berharap kelak dia akan
memperoleh seorang isteri. Dan begitu seorang anak perempuan lahir,
orangtuanya tentu berharap kelak dia akan memperoleh seorang suami.
Semua orang memiliki pikiran yang demikian.” (Meng Zi IIIB,3)
Hukum
karma senantiasa berlaku bagi kita yang durhaka terhadap orangtua.
Berbagai cerita sudah sering menghiasi benak kita mengenai kedurhakaan
seorang anak terhadap orangtuanya. Cerita seperti Malin Kundang
yang durhaka kepada ibunya sehingga akhirnya Malin Kundang menjadi
batu, sudah sering menjadi inspirasi banyak orangtua untuk ditanamkan
kepada anak-anaknya semasa kecil. Demikian juga cerita di bawah ini.
1. Wasiat Keranjang
Terdapat
seorang anak yang pada awalnya sangat berbhakti terhadap orangtuanya.
Hingga sesudah berumah-tangga dan memiliki seorang anak, kedua
orangtuanya masih tinggal bersamanya. Istrinya yang pencemburu dan
selalu memiliki prasangka buruk akan rasa bhakti suaminya terhadap
mertuanya yang sudah tua tersebut, berulang-kali mempengaruhi suaminya
agar dapat menyingkirkan orangtuanya tersebut dari rumah tempat tinggal
mereka.
Hingga
suatu hari, istrinya mengancam akan menceraikannya apabila tidak
memenuhi keinginannya untuk menyingkirkan mertuanya tersebut dari rumah
tempat tinggal mereka. Karena sayangnya suami ini terhadap istrinya,
akhirnya mereka bersepakat untuk mengantar kedua orangtua mereka ke
panti jompo.
Merekapun menyiapkan keranjang besar untuk membawa kedua orangtua mereka. Keranjang besar yang dibeli dari pasar tersebut, dibawa pulang ke rumah dan menjadi perhatian anak lelaki mereka yang berumur 10 tahun, sehingga diapun bertanya kepada kedua orangtuanya.
Merekapun menyiapkan keranjang besar untuk membawa kedua orangtua mereka. Keranjang besar yang dibeli dari pasar tersebut, dibawa pulang ke rumah dan menjadi perhatian anak lelaki mereka yang berumur 10 tahun, sehingga diapun bertanya kepada kedua orangtuanya.
“Papa
dan Mama, buat apa keranjang besar ini?” Ayahnya menjawab, “Keranjang
ini dibutuhkan untuk mengangkut Kakek dan Nenek ke tempat yang banyak
temannya (maksudnya panti jompo). Karena Kakek dan Nenek akan lebih
bahagia tinggal di sana.”
Anaknya
yang cukup cerdik dan berbhakti inipun berpikir panjang, dan dengan
polos disampaikan permintaanya, “Papa dan Mama, tolong nanti sesudah
keranjang ini dipakai jangan dibuang yah!”
Ibunya menjadi heran dan menanyakan lebih lanjut, “Buat apa keranjang ini nak?”
“Akan saya pakai untuk mengangkut Papa
dan Mama ke tempat yang bahagia tersebut apabila sudah tua nantinya,
sehingga Papa dan Mama dapat hidup lebih bahagia juga.”
Seperti
halilintar yang menyambar di siang bolong, ayah dan ibunya menjadi
sadar akan perbuatannya. Akhirnya merekapun membatalkan niat untuk
memindahkan orangtuanya ke panti jompo. Dan kemudian hidup bahagia
bersama sampai orangtua mereka meninggal dunia.
Jika anda merasa artikel ini bermanfaat, maka anda dipersilahkan untuk mencetak dan mengedarkan semua artikel yang dipublikasikan pada Blog Kebajikan ( De 德 ) ini. Mengutip atau mengcopy artikel di Blog ini harus mencantumkan Kebajikan ( De 德 ) sebagai sumber artikel.
Tidak ada komentar:
Write komentar