|
Welcome To My Website Kebajikan (De 德)......KEBAJIKAN ( De 德 ) Mengucapkan Xin Nian Kuai Le (新年快乐) 2571 / 2020...Xīnnián kuàilè, zhù nǐ jiànkāng chángshòu, zhù nǐ hǎo yùn..Mohon Maaf Blog ini masih dalam perbaikan....Dalam era kebebasan informasi sekarang, hendaknya kita dapat lebih bijak memilah, mencerna dan memilih informasi yang akurat. Kami menempatkan kepentingan pembaca sebagai prioritas utama. Semangat kami adalah memberikan kontribusi bagi pembaca agar dapat meningkatkan Etika dan Moral dalam kehidupan serta meningkatkan Cinta kasih tanpa pamrih pada sesama baik dalam lingkup lingkungan sekitar maupun lingkup dunia dan menyajikan keberagaman pandangan kehidupan demi meningkatkan pemahaman dan penghargaan terhadap kehidupan. Tanpa dukungan Anda kami bukan siapa-siapa, Terima Kasih atas kunjungan Anda

Rabu, 17 Juli 2013

Orang Berusia Tua Bijaksana Merupakan Simbol Moralitas

 

Pada masa anak-anak, manusia mudah sekali memiliki pandangan yang ganjil, misalnya saja, saya tidak pernah mempercayai akan menjadi tua.

Meskipun para tetua keluarga sering mengatakan waktu adalah uang.
Bila segan berusaha selagi muda, sia-sia belaka bersusah hati pada hari tua. Saya sudah sedemikian hafalnya dengan berbagai nasihat semacam ini, sehingga hampir  mampu melafalkannya secara terbalik. 

Tapi sejujurnya saja, saya benar-benar tidak pernah berpikir akan menjadi tua, atau lebih tepatnya, tidak beranggapan akan dapat menjadi tua. Bahkan selalu dalam kesan saya, nenek adalah maha tahu, ayah muda dan jangkung, ibu sangat cermat terorganisir. Wujud mereka tercetak tetap pada benak saya, yang telah saya kenal sejak lahir. Bahkan mengira mereka adalah demikian sejak dilahirkan, mereka selamanya juga tidak akan berubah.

Kemudian, nenek meninggal, saya ingat pada malam hari tersebut ayah saya terus berada di dapur, sangat tenang, saya menyelinap ke pintu dapur untuk melihatnya. Dia duduk dengan punggung menghadap ke pintu dan meneguk minuman keras. Berhenti beberapa saat, kemudian meneguk lagi. Saya tidak mendengar suara lain, tetapi melihatnya menyeka air mata dari waktu ke waktu.

Ada suatu saat saya berada di luar kota, ketika pulang ke rumah pada saat liburan, entah mulai kapan saya menemukan ayah perlu beristirahat ketika menaiki tangga. Setiap dua tingkat ia beristirahat sebentar. Saya tahu, ayah benar-benar sudah tua.

Bahkan ibu selalu berpikiran jernih juga mulai menjadi pelupa. Misalnya dia akan menyalakan AC tapi lupa menutup jendela, atau duduk menunggu telepon tapi lupa menyalakan telepon genggamnya. Pada awalnya, saya selalu mengingatkannya. Kadang-kadang teringat bagaimana dulunya dia melakukan hal-hal itu dengan sangat teratur, agak di luar dugaan bahwa dia yang sekarang sudah kacau pikirannya. Demikian, sekali, dua kali, tiga kali, saya yang lamban berpikir tiba-tiba menyadari bahwa ibu sudah menjadi tua.

Mungkin saya masih tidak percaya bahwa diri saya akan menjadi tua, namun para tetua keluarga sudah menjadi tua, dan saya juga telah menjadi semakin akrab dengan kondisi “menjadi tua”. Pernah sekali saudara ibu datang berkunjung ke rumah. Dia seorang “bocah nakal yang sudah tua”. Setelah berbuat semau gue seumur hidupnya, sekarang telah menjadi tua. Dia mempunyai penafsiran tersendiri terhadap kata “tua”. 

Katanya, “Menjadi tua adalah menjadi gila harta ditambah takut mati, ketika merasa diri kita menjadi gila harta dan takut mati, berarti kita sudah tua.” Saya tidak dapat menahan tawa, menertawainya memiliki jiwa bocah nakalnya yang tidak pernah berubah. 

Jika direnungkan sungguh menyedihkan. Gila harta? Memang benar demikian. Pada saat tua, akan memiliki krisis perasaan, rasa kesepian, sebab itu harus memiliki sedikit tabungan baru merasa aman. Sesungguhnya uang juga tidak seberapa, namun dijaga bagaikan emas, dijaga ketat dari putra-putrinya. Adapun rasa takut mati adalah kata-kata yang sebenarnya. 

Teringat ketika dia masih muda, mengandalkan keagresifan, suka pamer. Seringkali menunjukkan semangat “setiap orang toh akan mati”. Namun setelah tua, akhirnya berpikiran kematian yang nyaman masih tidak sebaik hidup dalam derita.

Waktu-waktu yang berlalu ini, selalu membuat orang mengeluh, meskipun saya tetap tidak begitu percaya akan menjadi tua. Mungkin karena alasan ini, maka jadwal kerja dan istirahat harian saya agak semau gue yang jarang dikaitkan dengan “tua”. Misalnya membaca buku semalaman, tanpa peduli pada hari berikutnya mata jadi membengkak, atau sepanjang tahun setiap harinya duduk di depan komputer selama belasan jam, juga tanpa mengkhawatirkan radiasi atau punggung bungkuk. 

Pada suatu waktu gigi saya sakit, saya lalu memasak makanan sampai lunak, juga ada suatu waktu rambut saya banyak yang rontok, saya lalu mencukurnya menjadi pendek. Sedangkan “ menjadi tua”, saya menghadapinya dengan sikap biasa-biasa saja. Namun, untuk waktu-waktu yang telah berlalu, saya tidak dapat tidak merasa murung, meskipun sepertinya tidak berhubungan dengan diri saya.

Waktu-waktu yang berlalu ini, setiap orang hanya akan mengalami sekali, namun bagi dunia ini, adalah sedemikian biasa bagaikan terbit dan terbenamnya sang mentari. Setiap hari ada orang menjadi tua, dan meninggal karena usia tua, dari zaman purba sampai masa kini, tidak pernah berhenti. 

Terkadang saya membaca beberapa cerita orang zaman dahulu, sering kali menemukan bahwa mereka menghadapi hari “tua” dengan cara yang sangat berbeda dengan orang zaman sekarang.

Orang-orang tua pada zaman dahulu, adalah benar-benar sebagai orang-orang tua. Mereka penuh rasa sayang, jujur, tidak memihak, berpengetahuan luas. Oleh sebab itu, pada umumnya status orang-orang tua juga sangat tinggi, dihormati oleh keluarga dan masyarakat sebagai orang tua yang bijaksana dan terpelajar.

Dalam arena diskusi tingkat tinggi suatu negara, negarawan senior dua dinasti, pejabat tertinggi dan menteri utama suatu kerajaan juga dipandang sebagai pilar negara. Kata-katanya mantap berpengalaman dan bijaksana, keputusan yang diambil akan merupakan hukum yang abadi. 

Bahkan bagi kaisar, jika didampingi para menteri senior yang terkenal bijaksana, akan bagaikan munculnya burung Phoenix dan Kuda Unicorn yang merupakan simbol kaisar suci dan bijaksana. Memang benar, orang-orang berusia tua yang bijaksana hampir-hampir merupakan simbol moralitas.

Kita bicarakan saja yang sering dibahas oleh orang zaman dahulu seperti yang dikatakan Konfusius tentang, “Tidak tahu bahwa usia tua akan datang menyelinap”. Konfusius adalah seorang berbakat besar, sedemikian besarnya sehingga disebut sebagai raja tanpa wilayah kekuasaan. Dengan demikian beliau tidak dapat menerima kedudukan sebagai pejabat tinggi. Sebagai pejabat tinggi hanya memimpin sebuah negara, menjadi pengatur sebuah negara. 

Saya pikir dengan kearifan dan moralitas Konfusius, sepanjang hari beliau terobsesi oleh buku-buku, mendidik dan mencerahkan murid-muridnya, hanya mengkhawatirkan kesempatan tidak akan terulang, sehingga tidak pernah mengeluhkan pergantian musim.

Cerita-cerita ini sungguh bagus, saya pikir apabila “tua” bisa seperti ini, maka manusia dapat benar-benar keluar dari kesedihan untuk melihat keindahan mentari senja yang sudah hampir terbenam. Dan dalam hidup ini saya benar-benar telah bertemu dengan sejumlah orang tua yang berbeda dengan orang-orang tua pada umumnya. 

Pada suatu sore sebelum tahun 1999, saya melihat sejumlah orang tua di sebuah taman kecil. Yang paling muda juga sudah hampir berusia enam puluh, mereka duduk di sana membaca buku. Itulah buku Zhuan Falun yang belasan tahun kemudian, yaitu hari ini telah diterjemahkan ke dalam tiga puluhan bahasa dan laris terjual di seluruh dunia. Orang-orang tua tersebut sedang mendiskusikan tentang hasil mereka belajar dan berlatih Falun Gong serta berkultivasi hati untuk menjadi lebih baik. 

Ada yang mengatakan bagaimana tubuhnya menjadi baik, tidak menambah beban kepada anak-anak mereka. Ada yang mengatakan telah menjadi lapang dada, dan dapat berkumpul dengan menantu bagaikan anak kandungnya. Beberapa lagi berkata, ilmu berkultivasi yang sebaik ini, semestinya dipelajari juga oleh para handai taulan dan sanak keluarga. 

Pertama kali saya mendengarnya hanya mengerti samar-samar, bagaikan berada dalam kabut. Tapi ada satu hal yang saya pahami dengan jelas, apa yang mereka katakan sama sekali tidak mengandung unsur kepentingan pribadi, terlebih lagi tidak berhubungan dengan tuduhan politik. 

Mereka adalah kelompok usia senja yang mengejar kebenaran, dengan hati yang setulusnya mempraktekkan moralitas, dengan idealisme tidak mementingkan diri sendiri. Mereka adalah kelompok orang tua yang saya pikir hanya ada dalam kitab-kitab kuno, orang-orang tua bijak yang menimbulkan rasa hormat dan kagum.

Sore itu, mentari senja tampak cemerlang, orang-orang tua tersebut duduk di sana, memancarkan cahaya moralitas, bagaikan kegemilangan yang memancar menembus lapisan awan. “Tua” yang semacam ini terbebas dari rasa kesepian yang timbul pada akhir suatu kehidupan, bebas dari kesedihan yang mengikuti si cantik pada senja masa hidupnya, tidak terdapat ratapan sedih sang pahlawan pada masa tuanya. 

Saya tidak pernah percaya bahwa diri saya akan menjadi tua, dan mereka telah mendeduksikan pada versi realita tentang legenda tidak menjadi tua. Saya juga mengharapkan orang-orang tua di seluruh dunia, seperti ayah saya, ibu saya, juga dapat dipenuhi rasa syukur dan kebahagiaan pada usia tua, tidak menyia-nyiakan waktu yang berlalu di bawah mentari senja.. (Song Zifeng)



Jika anda merasa artikel ini bermanfaat, maka anda dipersilahkan untuk mencetak dan mengedarkan semua artikel yang dipublikasikan pada Blog Kebajikan ( De 德 ) ini. Mengutip atau mengcopy artikel di Blog ini harus mencantumkan Kebajikan ( De 德 ) sebagai sumber artikel.

Tidak ada komentar:
Write komentar