Dalam
agama Buddha ada sebuah pepatah, “Bersikeras menunjuk jari sebagai
Bulan”, menyiratkan selapis pengertian sebagai berikut : Jari tangan
dapat menunjukkan posisi Bulan, namun jari bukanlah Bulan, memandang
Bulan juga tidak harus melalui jari.
Jangan dengan cara
pertimbangan yang salah, hanya melihat telunjuk tanpa memandang Bulan.
Jika misteri dunia diumpamakan Bulan, maka kesimpulan dan hukum
terdahulu hanya merupakan telunjuk yang tidak mutlak diperlukan.
Banyak
orang yang mengira bahwa pada zaman kuno Tiongkok, tidak memiliki ilmu pengetahuan.
Memang benar, zaman kuno Tiongkok tidak pernah muncul sistem “Ilmu
Pengetahuan” seperti ilmu pengetahuan empiris ala Barat.
Oleh karena itu
mereka beranggapan di zaman Tiongkok kuno hanya mempunyai beberapa
pengetahuan ilmiah yang berserakan dan tidak sistematis, ini hanya dapat
dianggap sebagai “teknik” dan bukan “Ilmu Pengetahuan”.
Sesungguhnya, justru inilah yang ingin kami tekankan disini, bahwa jalur ilmu pengetahuan bukan hanya satu. Ilmu pengetahuan dalam arti yang luas adalah sebuah jalur yang ditempuh oleh manusia dalam mengenal dunia kemudian digunakan untuk mengarahkan perubahan dunia.
Ilmu pengetahuan empiris dari Barat dewasa ini memiliki keterbatasan dan cacat yang besar, ia sama sekali tidak dapat mewakili seluruh jalur dan metode yang tercakup dalam definisi yang luas ini. Sebenarnya jalur yang ditempuh oleh ilmu pengetahuan zaman Tiongkok kuno adalah jalur lain dalam mengenal dunia, lagi pula ia berkembang dari sebuah titik awal yang lebih sempurna.
Jangan membatasi diri sendiri dengan bingkai yang dibuat-buat. Teori yang telah usang, akhirnya juga sulit menghindari terobosan, terlampaui atau peningkatan oleh generasi penerus, tidak berguna untuk mempertahankannya, semangat ilmiah dan ideologi pembimbing adalah lebih krusial, harus senantiasa dengan pikiran yang terbuka, mempertahankan semangat mencari dari ilmu pengetahuan, barulah merupakan jalur yang tepat.
Kenyataan dari banyak aspek telah memperingatkan kita bahwa duduk dalam sumur melihat langit dan pandangan pendek bagaikan myopia atau terlihat oleh mata baru mau mengakuinya. Semua ini tidak dapat ditolelir, bila ingin mengenal dunia dengan ilmu pengetahuan yang sejati, memerlukan pikiran yang terbuka, dan perlu mendorong “kerohanian”. Sehingga dipandang dari keseluruhan Ilmu Pengetahuan Barat modern, secara konkrit pada aspek mana saja pemikiran kita perlu dibuka sejenak?
Pertama, ilmu pengetahuan Barat modern seringkali mengutamakan keterulangan dan pembuktian nyatanya, sesungguhnya ini justru merupakan sebuah mulut sumur yang sangat membatasi orang. Dalam dunia objektif banyak sekali fenomena yang tidak dapat dibuktikan dan diulangi, namun mereka benar-benar eksis secara objektif.
Umpama pada suatu saat dalam pikiran kita timbul sebuah pikiran sekilas, mungkin ide tersebut dalam seumur hidup hanya terpikir sekali itu saja. Maka jika ide tersebut sudah tidak dapat terulang lagi, sehingga ilmu pengetahuan empiris modern sama sekali tidak mampu membuktikannya. Selain itu, pengalaman banyak orang dalam hal yang dirasakan langsung atau hal-hal dunia spiritual, itu sendiri memang adalah hal yang sangat tepat.
Namun ilmu pengetahuan modern tidak mampu menghadapinya, juga
tidak mampu memberi kepastian jelas di dalam internal bingkai yang
ditentukan oleh ilmu pengetahuan empiris sendiri. Beberapa hukum dalam
lingkup spiritual dan moral yang telah dijelaskan di artikel terdahulu,
semuanya tidak mampu dijangkau oleh ilmu pengetahuan empiris modern.
Selain itu, hal-hal tentang ruang waktu dimensi lain dan berbagai hal yang disebut fenomena supranatural, ilmu pengetahuan empiris terlebih lagi tidak memiliki hak bicara. Kalau begitu jika hanya karena ilmu pengetahuan sendiri tidak mampu membuktikan hal-hal tersebut, lalu mengabaikan bahkan mengecam ha-hal yang eksis secara nyata, dan bukannya mengintrospeksi diri, bagaimana memperbaiki alat ilmu pengetahuan yang masih kurang sempurna tersebut, jelas adalah sangat tidak bijaksana.
Dari aspek lain, fondasi yang didirikan untuk ilmu pengetahuan, yaitu berbagai kebenaran umum (aksioma), juga telah menampakkan keterbatasan ilmu pengetahuan. Tentu saja, setelah dijamin ketepatan kebenaran umumnya, penarikan kesimpulan secara logika yang ketat dari ilmu pengetahuan seringkali tidak ada masalah, tetapi pengajuan kebenaran umum sendiri seringkali didirikan atas perasaan, pada hakekatnya juga adalah relatif tidak dapat dibuktikan, dinilai dari kriteria ilmu pengetahuan juga tidaklah “cermat”.
Begitu mendobrak aksioma, juga telah menjebol keterandalan dari teorama dan prinsip asal dari dasar aksioma tersebut. Sesungguhnya, melanggar aksioma juga bukanlah suatu hal besar. Kita ambil ilmu ukur sebagai contoh, setelah menjebol kebenaran umum dari ilmu ukur Euclid, masih tetap ada ilmu ukur non Euclidean, juga merupakan ilmu pengetahuan, bukan ilmu pengetahuan semu, hanya saja ia lebih luas, dapat digunakan di luar kebenaran-kebenaran umum tersebut.
Pembuktian nyata dan keterulangan serta fondasi ilmu pengetahuan empiris, yaitu berbagai aksioma, semuanya telah memperlihatkan lingkup yang dapat diterapkan ilmu pengetahuan adalah terbatas. Dalam lingkup yang efektif dari ilmu pengetahuan empiris, kita menaatinya, akan tetapi ketika hal-hal yang kita hadapi telah melampaui lingkup tersebut, di saat sama sekali tidak dapat dibuktikan pada saat ini.
Selain itu, hal-hal tentang ruang waktu dimensi lain dan berbagai hal yang disebut fenomena supranatural, ilmu pengetahuan empiris terlebih lagi tidak memiliki hak bicara. Kalau begitu jika hanya karena ilmu pengetahuan sendiri tidak mampu membuktikan hal-hal tersebut, lalu mengabaikan bahkan mengecam ha-hal yang eksis secara nyata, dan bukannya mengintrospeksi diri, bagaimana memperbaiki alat ilmu pengetahuan yang masih kurang sempurna tersebut, jelas adalah sangat tidak bijaksana.
Dari aspek lain, fondasi yang didirikan untuk ilmu pengetahuan, yaitu berbagai kebenaran umum (aksioma), juga telah menampakkan keterbatasan ilmu pengetahuan. Tentu saja, setelah dijamin ketepatan kebenaran umumnya, penarikan kesimpulan secara logika yang ketat dari ilmu pengetahuan seringkali tidak ada masalah, tetapi pengajuan kebenaran umum sendiri seringkali didirikan atas perasaan, pada hakekatnya juga adalah relatif tidak dapat dibuktikan, dinilai dari kriteria ilmu pengetahuan juga tidaklah “cermat”.
Begitu mendobrak aksioma, juga telah menjebol keterandalan dari teorama dan prinsip asal dari dasar aksioma tersebut. Sesungguhnya, melanggar aksioma juga bukanlah suatu hal besar. Kita ambil ilmu ukur sebagai contoh, setelah menjebol kebenaran umum dari ilmu ukur Euclid, masih tetap ada ilmu ukur non Euclidean, juga merupakan ilmu pengetahuan, bukan ilmu pengetahuan semu, hanya saja ia lebih luas, dapat digunakan di luar kebenaran-kebenaran umum tersebut.
Pembuktian nyata dan keterulangan serta fondasi ilmu pengetahuan empiris, yaitu berbagai aksioma, semuanya telah memperlihatkan lingkup yang dapat diterapkan ilmu pengetahuan adalah terbatas. Dalam lingkup yang efektif dari ilmu pengetahuan empiris, kita menaatinya, akan tetapi ketika hal-hal yang kita hadapi telah melampaui lingkup tersebut, di saat sama sekali tidak dapat dibuktikan pada saat ini.
Kita juga harus
benar-benar menghadapinya secara objektif, dengan sikap mencari
kebenaran dari kenyataan, senantiasa dengan pikiran yang terbuka,
melakukan analisa secara konkrit dengan spirit “Ilmiah”, dan bukan
karena tidak dapat dibuktikan, diulang atau dianggap telah melanggar
kebenaran aksioma yang ada dalam pikiran kita dewasa ini, maka langsung
ditolak mentah-mentah.
Jika anda merasa artikel ini bermanfaat, maka anda dipersilahkan untuk
mencetak dan mengedarkan semua artikel yang dipublikasikan pada Blog Kebajikan ( De 德 ) ini. Mengutip atau mengcopy artikel di Blog ini harus mencantumkan Kebajikan ( De 德 ) sebagai sumber artikel.
Tidak ada komentar:
Write komentar