KEBAJIKAN (De 德) - PADA suatu kesempatan ketika Nabi Kongzi berbincang-bincang dengan Cingcu/Zengzi tentang azas,“Satu yang menembusi semuanya” ternyata Cham nama kecil Zengzi, mampu mengerti apa yang dimaksud dengan satu menembusi segala, yaitu Zhong Shu/Satya dan Tepaselira.
Nabi bersabda, ”Cham, ketahuilah, Jalan Suciku itu satu, tetapi menembusi semuanya.”
Zeng Zi menjawab, ”Ya, Guru.” Setelah Nabi pergi, murid-murid lain bertanya, “Apa maksud kata-kata tadi ?”
Zengzi menjawab, ”Jalan suci Guru, tidak
lebih tidak kurang ialah Satya dan Tepasarira.” Karena ini pulalah Nabi berkenan menurunkan kepada Zengzi ajaran-ajarannya yang merupakan penguraian tentang pembinaan diri berdasarkan Satya dan Tepaselira/ Tiong Si/ Zhong Shu ini. Oleh Zengzi kemudian uraian-uraian tadi dibukukan menjadi Kitab Thay Hak/ Da Xue.
Ajaran Satya dan Tepaserira ini disebut oleh Nabi Kongzi sebagai “Jalan Suci Yang Satu Menembusi Semuanya”, karena dalam ajaran ini Satya, vertikal menjalin manusia kepada Tuhan, Khaliknya. Tepaserira, horizontal menjalinkan manusia kepada sesama dan lingkungan hidupnya.
Satya mempunyai pengertian imani, suatu rasa, tuntutan untuk selalu Satya terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang telah menjadikan kita manusia dengan kodrat kemanusiaannya.
Bila terimani, bahwa Firman Tuhan/ Tian Ming itulah Watak Sejati/ Xing manusia dan benih Kebajikan/De, yang bersemi dalam hati nurani/ Xin, itulah pokok Watak Sejati/ Xing, yang merupakan hakekat dari kemanusiaan kita. Maka manusia yang telah dikaruniai kelebihan mulia dan utama itu mengemban tugas menegakkan Firman Tuhan/Tian Ming sebagai rasa “pertanggung-jawaban”/Zhong Yi Tian atas harkat manusiawinya.
Dari karakter huruf Zhong/ Satya, mempunyai arti suatu perilaku yang tengah-tepat, berlandaskan suara hati nurani, dengan mewujudkannya dalam segala tindakan. Manusia di dalam hidupnya secara rohaniah memang terpanggil untuk mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa, dalam hal umat Khonghucu, pengabdian ini merupakan pengejawantahan Satya/ Zhong manusia kepadaNya.
Oleh karena itulah maka secara imani manusia terdorong pada kecenderungan mengadakan “persembahyangan” dengan segala ritualnya, untuk mencurahkan isi pengabdiannya terhadap Tuhan. Untuk itu sering disertai dengan bersuci-diri, agar “persembahyangan” nya itu berkenan kepadaNya.
Hal tersebut sudah ada sama lamanya dengan sejarah kemanusiaan dari manusia itu sendiri. Hanyalah kemudian karena disesuaikan dengan alam pikiran manusia, maka persembahyangan itu perkembangannya lalu disertai dengan bermacam-macam tata-cara, ditambah dengan pengorbanan, persembahan, syarat-syarat, dan lain sebagainya.
Hal ini kadang-kadang dapat merubah panggilan imani yang tadinya secara murni keluar dari hati nurani manusia untuk mengadakan persembahyangan berdasarkan kesucian lahir-batin, menjadi suatu tradisi pantulan dari pikiran manusia, yang pada akhirnya kadang-kadang sampai melupakan pokok dari pengabdian itu.
Manusia mengadakan lembaga keagamaan dengan segala tata-ibadahnya. Ada yang bersumber dari Kitab Suci namun tak kurang yang berdasarkan tradisi. Bahkan ada yang berlandaskan wangsit atau apapun namanya dari orang tertentu yang suci/ dianggap suci/ menganggap dirinya suci.
Maka dari segala gejala seperti di atas itulah mengapa dalam agama yang diturunkan kepada manusia melalui para Nabi utusanNya, selalu ada suatu ritual persembahyangan pula. Namun karena kebauran antara mana yang agamis dan mana yang tradisional, serta mana yang tak benar, pokok pengabdian dari “persembahyangan” itu dikembalikan/ diluruskan pada dasarnya, yaitu kesucian diri lahir batinlah yang menjadi syarat utamanya, agar persembahyangan manusia berkenan kepadaNya.
Kesucian lahir batin dalam iman umat Khonghucu memang sudah ditetapkan apa yang berkenan kepadaNya, yakni Kebajikan. Sedang benih kebajikan itu bersemi di dalam hati nurani. Dimana watak sejati yang difirmankan Tuhan itu berada, jadi sesungguhnya “persembahyangan” kepada Tuhan itu harus didasari dengan pengamalan FirmanNya. Dan itu, tentu adalah menetapi kodrat kemanusiaan.Dengan begitu bukankah merupakan sikap Satya kepada Tian/ Tuhan Yang Maha Esa.
Zigong bertanya,”Adakah satu kata yang boleh menjadi pedoman sepanjang hidup?”
Nabi bersabda,”Itulah Tepaserira,” Apa yang diri sendiri tiada inginkan, janganlah diberikan kepada orang lain.” Lun Yi XV : 24 “Maka kata-kata yang tidak senonoh itu akan kembali kepada yang mengucapkan, begitu pula kekayaan yang diperoleh dengan tidak halal itu akan habis tidak keruan.” Da Xue X : 10.
Tepasarira adalah merupakan wujud dari pengejawantahan Firman Tuhan terhadap sesama dan lingkungannya yang akan dijelasan dalam tulisan berikutnya. Salam kebajikan
Tidak ada komentar:
Write komentar