|
Welcome To My Website Kebajikan (De 德)......KEBAJIKAN ( De 德 ) Mengucapkan Xin Nian Kuai Le (新年快乐) 2571 / 2020...Xīnnián kuàilè, zhù nǐ jiànkāng chángshòu, zhù nǐ hǎo yùn..Mohon Maaf Blog ini masih dalam perbaikan....Dalam era kebebasan informasi sekarang, hendaknya kita dapat lebih bijak memilah, mencerna dan memilih informasi yang akurat. Kami menempatkan kepentingan pembaca sebagai prioritas utama. Semangat kami adalah memberikan kontribusi bagi pembaca agar dapat meningkatkan Etika dan Moral dalam kehidupan serta meningkatkan Cinta kasih tanpa pamrih pada sesama baik dalam lingkup lingkungan sekitar maupun lingkup dunia dan menyajikan keberagaman pandangan kehidupan demi meningkatkan pemahaman dan penghargaan terhadap kehidupan. Tanpa dukungan Anda kami bukan siapa-siapa, Terima Kasih atas kunjungan Anda

Rabu, 01 April 2015

Dua Bersaudara dari Yuyao yang Mencari Ayah Mereka Ribuan Mil

 


KEBAJIKAN (De 德) -  Kisah ini berjudul asli “Dua Bersaudara dari Yuyao yang Mencari Ayah Mereka Melalui Ribuan Mil” dan merupakan kisah nyata yang ditulis oleh Wng Kwangp’ing dari Wukiang.

Kisah ini ditemukan dalam buku genealogi dari klan Weng dari Yuyao di Chekiang dan menunjukkan tradisi orang Cina yang kental atas bakti kepada orang tua dan penghormatan kepada leluhur. Berdasarkan ajaran Confucius, bakti kepada orang tua adalah dasar pembentukan karakter moral dan pada kisah ini kebiasaan moral yang baik pertama kali terbentuk dalam keluarga pada masa kanak-kanak.

Oleh sebab itu, dalam menyambut peringatan Cheng Beng tanggal 5 April 2015, yang salah satunya merupakan bentuk bakti kepada orang tua (terutama yang telah meninggal dunia), saya memposting kisah ini sebagai perenungan bagi kita semua.

Catatan tentang pencarian dua bersaudara akan ayahnya yang hilang ditulis demi mengingat usaha adik dari orang tua klan kami, Chishan dan Luyeh untuk mencari ayah mereka. Nama kecil Chishan adalah Yunhuai dan nama sebenarnya adalah Chihshan. Nama kecil Luyeh adalah Yunpiao dan nama sebenarnya adalah Chinkung.

Keluarga mereka telah tinggal selama beberapa generasi di Yuyao Hsien di sebelah timur Chenking. Ayah mereka adalah Tetua Tahuan yang memiliki nama kecil Ying. Dia seorang sarjana Confucian di kota tersebut dan selalu serius dalam studi dan bertemperamen tenang.

Dia suka duduk menyendiri sepanjang hari dan ketika melewati pemandangan yang indah pikirannya menerawang. Semua karya tulisnya ditujukan untuk penyebaran pemikiran Confucian mengenai logika (Sung) yang bebas dari pemikiran Buddhis dan Taois. Oleh sebab itu, ia dikenal sebagai pemikir Confucian murni di kotanya.

Istri Tetua Tahuan memiliki saudara laki-laki yang mempunyai nama keluarga Wu dan diangkat menjadi kepala Kungch’eng di Kwangsi. Ketika ia menduduki jabatan ini, ia menggadaikan tanahnya kepada keluarga klan Tetua Tahuan. Namun juru gadai menilai bahwa tanah itu tidak subur dan memaksa Tetua Tahuan untuk memiliki tanah tersebut.

Tetua Tahuan dengan murah hati menerima itu dan menukarnya dengan tanahnya sendiri. Bunga yang harus dibayarkan adalah seribu lima ratus gantang beras setiap tahun. Pada tahun 1690 dan 1691 terjadi musim kering dan menuntut pembayaran itu dengan kejam.

Tetua Tahuan tidak tahu apa yang harus dilakukan, tetapi ia harus pergi ke Kwangsi. Jika ia tidak pergi, maka akan menimbulkan kesan ia tidak berusaha dengan baik. Akhirnya ia terpaksa pergi. Ia bernyanyi-nyanyi di sepanjang perjalanan dan tangannya tak henti-hentinya mengetuk-ngetuk tepi kapalnya.

Pada hari kelima bulan sebelas tahun 1692, ketika kapalnya berhenti di Hsingt’angchan di daerah Ch’iyang Hsien di Yungchow, Hunan, tiba-tiba ia menghilang di kegelapan malam. Anak laki-laki Ketua Kungch’eng (adik iparnya) yang pergi bersamanya melaporkan kejadian ini kepada ketua dan diadakanlah pencarian besar-besaran selama lima hari yang berakhir tanpa hasil.

Seorang kurir dikirim untuk memberitahukan Nyonya Wu (istri Tetua Tahuan yang dipanggil menurut nama keluarganya sendiri). Ketika menerima berita ini, Nyonya Wu menggigit jarinya hingga berdarah dan jatuh pingsan. Ketika ia sadar, ia memandang ke atas dan menghela napas:

“Oh! Suamiku memanggilku malam itu. Ia sebenarnya tidak ingin pergi dan ketika hendak berangkat, ia meminta lentera dan melihat kedua putranya. Mereka sedang tertidur lelap, tetapi ia melihat kembali sebelum meninggalkan kamar dengan air mata berlinang. Aku mengantarnya sampai ke pintu dan ia berkata kepadaku, ‘Jangan memikirkan aku. Engkau akan bertanggung jawab untuk membesarkan anak-anak.’ Ketika aku ingat-ingat lagi sekarang, kata-kata suamiku itu bukanlah pertanda baik.”

Kemudian ia mengirim pelayan tua ke Kwangsi. Pada tahun 1693 Ketua Kungch’eng meninggal dalam tugas dan anak laki-lakinya membawa pulang jenazahnya bersama dengan pelayan tua tersebut.

Di perjalanan mereka melewati Hsint’angchan di mana kapal mereka berlabuh dan sebuah pengumuman dipasang yang menggambarkan ciri-ciri Tetua Tahuan dan mencantumkan informasi detail mengenai tempat kelahirannya, nama dan tanggal ia menghilang.

Mereka mencarinya sampai beberapa hari tanpa hasil. Ketika pelayan tua itu kembali dan melaporkan hasil perjalanannya kepada Nyonya Wu, istri Tetua Tahuan ini kembali menangis sampai tak sadarkan diri.

Ketika ia sadar kembali, ia berkata, “Sekarang tidak ada harapan lagi.” Kemudian ia mengambil topi dan jubah suaminya dan meletakkannya di altar dan dimulailah masa berkabung. Para sanak keluarga mengenakan pakaian duka serta menangis dan menuangkan anggur pengorbanan pada pagi dan malam hari.

Sebuah doa ramalan permohonan dibuat di kuil kepada Kuangkong dan mendapatkan jawaban sebagai berikut,

“Sebuah kapal kecil berhenti di tepi sungai di tengah hujan dan angin
Kedua bersaudara itu melihat satu sama lain dalam mimpi mereka
Sesudah dipisahkan oleh kematian di ujung-ujung bumi
Tetapi datang sebuah kabar yang tidak terduga akan kembali hidup.”

Permohonan tersebut diucapkan tiga kali dan setiap kali jawaban yang muncul selalu sama yang membuat keluarga itu sangat terkejut. Pada waktu Tetua Tahuan menghilang, Chishan baru berusia delapan tahun dan Luyeh baru berusia tiga tahun.

Sejak doa permohonan ini diucapkan, ibu mereka selalu menggendong Luyeh di dadanya dan sambil menangis berkata kepada anaknya itu, “Anakku, maukah engkau mencari ayahmu ketika engkau dewasa kelak?” Sang ibu baru merasa puas ketika anaknya mengangguk.

Setelah tiga tahun, ibu mereka meninggal dengan rasa penuh penyesalan. Ketika ia masih hidup, ia memanggil kedua anak perempuannya dan sambil menunjuk pada kedua putranya, ia berkata, “Alasan mengapa aku tidak mati setelah mendengar kabar buruk itu di tahun jenshen (1692) adalah sebuah harapan bahwa ketika mereka dewasa, aku akan membawa mereka dan aku sendiri yang akan mencari suamiku di distrik Yungchow dan Hengchow. Bahkan jika aku tidak bisa menemuinya hidup-hidup, aku akan dapat dikubur dalam satu lubang bersamanya. Tetapi sekarang tidak ada harapan.”

Keempat putra-putrinya menangis di sisi tempat tidur ibu mereka dan mendapat pesan terakhir darinya. Setelah kejadian itu, kedua anak laki-laki itu saling berpelukan dan menangis seolah-olah tidak ingin hidup lagi.

Kemudian mereka bertanya lagi kepada orang-orang yang pergi bersama ayah mereka ke Kwangsi, tetapi tidak seorang pun dapat memberikan petunjuk yang berarti. Adik sepupu perempuan mereka masih mengingat syair yang ditulis oleh Tetua Tahuan ketika kapalnya berhenti di Hsint’angchan. Dua kalimat terakhir berbunyi,

“Di mana dapat dilihat di dalam dindingnya embun sebuah lonceng kuil tua, Secercah cahaya bersinar dari pelita Buddha.”

Berdasarkan syair ini keluarga tersebut memperkirakan bahwa karena ia menulis syair itu pada malam hari, ia tidak mungkin menghilang di pantai. Ketika mereka kembali menanyakan lebih jauh kepada orang-orang yang mengunjungi Kungch’eng, orang-orang ini bahkan lupa akan nama tempat kejadian tersebut.

Kedua bersaudara ini sangat frustasi dan berkata, “Apakah kita bernasib sama seperti dalam kisah Nona Ts’ao O?” [Ts’ao O adalah seorang gadis yang pergi mencari ayahnya yang telah menenggelamkan dirinya dan pada akhirnya gadis itu ikut menenggelamkan dirinya. Dikatakan bahwa setelah lima hari jenazahnya ditemukan sedang memeluk tubuh ayahnya.]

Pada tahun 1697 Chishan sudah berumur tiga belas tahun dan ia pergi ke Kwangsi membawa serta seorang pelayan tua. Di Liuchow keduanya jatuh sakit dan sang pelayan meninggal dunia. Chishan kemudian membawa sendiri perlengkapannya menyeberangi sungai Hsiang dan hampir tenggelam terbawa gelombang.

Dalam kesendirian dan putus asa ia sering menangis dalam perjalanannya. Kemudian secara kebetulan ia berjumpa dengan seorang pedagang dari kota asalnya dan membawanya pulang.

Sepupu perempuannya menyambutnya dan dengan menangis berkata, “Aku tahu bahwa engkau menempuh perjalanan sejauh ini untuk memenuhi harapan ibumu. Tetapi apakah hanya itu yang diharapkan dari ibumu terhadap kalian berdua?

Apakah engkau sudah lupa akan apa yang dikatakan ayahmu sebelum pergi? Apakah engkau sudah lupa akan apa yang dikatakan ibumu ketika ia hidup? Orang tuamu menghendaki agar engkau tumbuh dewasa dan tidak bergantung pada orang lain. Sekarang apakah engkau sudah mandiri?

Engkau telah menempuh jarak ribuan mil pada usia muda tanpa memikirkan harapan sebenarnya dari orang tuamu. Apakah engkau harus merendahkan mereka di hadapan nenek moyang kita dan membuat mereka menangis di liang kubur?”

Mendengar nasehat ini kedua bersaudara itu menangis dan mencamkan nasehat ini dalam hati. Mereka pun meninggalkan rencana mereka untuk melakukan perjalanan lagi.

Pada masa itu semua harta Tetua Tahuan telah habis dan mereka tidak bisa lagi membiayai hidup mereka. Karena itu Chishan bekerja magang di sebuah toko obat sedangkan Luyeh diadopsi oleh seorang paman mereka; tetapi ketika paman tersebut memiliki dua putra sendiri, Luyeh tidak dibutuhkan lagi dan kakaknya membawanya pulang. Chishan bertanya apa yang hendak adiknya lakukan dan adiknya menjawab ia ingin menjadi sarjana.

“Baiklah, aku dan kakak iparmu akan membiayai sekolah dan hidupmu.” Luyeh berusaha keras dalam studinya dan menempa karakternya pada seorang guru. Orang-orang di desa tersebut mulai berkata, “Tahuan memiliki anak yang mulia. Mereka mulai berusaha dan keturunan mereka akan makmur.”

Ketika Luyeh berumur sembilan belas tahun (tahun 1711), ia belajar di desanya dan akan mengikuti ujian tingkat distrik. Ketika itu banjir datang dan Chishan membuat rakit dan mengantar Luyeh pulang. Ketika hasil ujian diumumkan, nama Luyeh disebutkan pada tempat pertama dan sejak saat itu ia menjadi pelajar nomor satu di distrik tersebut.

Tiga tahun kemudian Luyeh pergi ke Hunan bersama dengan seorang pelayan untuk mencari ayahnya, tetapi tidak menemukan jejak sama sekali. Dalam perjalanan ke Kwangsi, ia melewati sungai-sungai dan mendaki tebing tinggi. Tiba-tiba ekspresi muka pelayannya berubah dan ia berlari ke arah Luyeh sambil membawa pisau terhunus di tangannya.

Luyeh mengelak dan pelayan itu jatuh dari teping curam dan meninggal. Kemudian Luyeh membawa sendiri perlengkapannya dan kembali meneruskan perjalannya. Setelah melalui banyak rintangan, ia pulang ke rumah tanpa membawa hasil.

Pada waktu itu kakaknya yang bersikap hemat dan rajin menabung berhasil membeli sebidang tanah seluas seratus mu (enam belas acre) , jadi ia dapat terus membiayai sekolah adiknya.

Pada tahun 1723 Luyeh telah lulus ujian negara dengan baik dan menjadi seorang chinshih (sarjana tingkat ketiga yang berhasil melewati ujian tingkat distrik, propinsi, dan nasional). Luyeh pun kembali ke rumah. Chishan pada masa ini telah memiliki seorang anak laki-laki dam kedua bersaudara ini merasa sangat bahagia sekaligus terharu ketika mereka bertemu kembali.

Mereka lalu berunding mengenai cara menemukan jejak ayah mereka. Keduanya kemudian menusuk lengan dengan jarum dan menulis sebuah doa yang terdiri dari beberapa ratus kata. Doa ini mereka bawa kembali ke kuil Kuangkong. Jawaban yang mereka terima kembali mengatakan “kembali hidup” dan mereka berkata satu sama lain, “Apakah mungkin dewa berbohong pada kita?”

Mereka kemudian bersumpah untuk mencari kembali ayah mereka dan tidak akan kembali sampai bertemu dengannya. Rencana telah dibuat dan kedua adik perempuan mereka yang akan menjaga keluarganya. Tetapi kemudian terjadi banjir karena pasang air sehingga ladang mereka terendam banjir. Tidaklah mungkin untuk membebani kedua adik perempuan mereka dengan urusan yang begitu berat, maka mereka akhirnya membatalkan rencana tersebut.

Pada musim dingin tahun berikutnya, kedua bersaudara ini secara sembunyi-sembunyi membuat rencana untuk pergi. Mereka menyusun barang bawaan mereka dan secara rahasia berlatih membawanya pergi tanpa diketahui keluarganya.

Pada bulan kedua tahun 1725, Luyeh dianugerahi seorang bayi laki-laki dan pada hari ketiga kelahiran bayinya kedua bersaudara ini pergi meninggalkan rumah tanpa diketahui siapa pun. Selama dua tahun mereka berkeliling Hunan dan Kwangsi dan bahkan sampai ke daerah Lushan dan lembah hantu di distrik Nanchang.

Mereka juga menelusuri hutan di tengah raungan harimau dan lolongan srigala. Tanpa menghiraukan segala bahaya, mereka berkeliling gunung-gunung dan di mana mereka menemukan sebuah kuil Buddha mereka akan berhenti dan berdoa kepada Sang Buddha. Penduduk Nanchang sangat tersentuh oleh kedua bersaudara ini dan merasa kasihan pada mereka.

Sementara itu kedua saudara perempuan mereka sangat mengkhawatirkan kepergian saudara laki-laki mereka dan mengirimkan seorang pelayan ke Yungchow untuk mencari mereka. Seorang kawan Luyeh, Shao Hungchieh juga sedang melakukan perjalanan di Yungchow saat itu dan bertemu dengan si pelayan ini.

Dia bertanya apa yang terjadi, tetapi si pelayan tidak tahu keadaan sebenarnya, hanya saja ia mendengar bahwa seorang pendeta di Feiyuntu mengatakan bahwa salah satu anak Tuan Weng pergi ke danau Tungting dan yang lainnya pergi ke Hengshan. Pada bulan kesebelas tahun 1726 kedua bersaudara itu berjanji untuk bertemu di kuil Hsiangshan di Chuanchow, Kwangsi.

Huangchieh segera pergi untuk menemui mereka dan melihat keadaan keduanya yang menyedihkan. Muka mereka sangat coklat terbakar matahari dan tulang-tulang mereka terlihat menonjol. Mereka memakai alas kaki jerami dan membawa makanan kering seolah-olah bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan lagi. Hungchieh berusaha untuk mencegah mereka dan berkata:

“Kalian berdua telah melakukan kesalahan. Aku telah membaca tulisan tentang ayah kalian. Tulisan-tulisan tersebut sangat mengacu pada ajaran Confucius, sama sekali tidak ada secercah pun pengaruh Taois atau Buddhis. Aku khawatir kalian telah salah menilai ayah kalian. Lebih jauh lagi, ia hanya kebetulan menulis baris-baris terakhir syairnya di Hsingt’angchan.

Kalian harus menelusuri masalah ini dari akarnya dan bukan berkeliling negeri tanpa tujuan. Kalian menyiksa diri kalian tanpa hasil. Mengapa kalian tidak memesan sebuah kapal dan menjadikannya rumah kalian.

Pergilah ke distrik-distrik Yungchow dan Hengchow dan berhentilah di pulau-pulau kecil, pantai karang atau cabang sungai atau dusun atau lembah atau jalan raya. Setelah kalian mengenal dengan baik daerah tersebut dan karakter alamnya, mulailah berkenalan dengan para petani, nelayan, dan penebang kayu di daerah-daerah tersebut.

Kemudian di saat-saat sunyi seperti pada waktu fajar atau ketika bulan terbit dan ketika burung gagak sedang menjerit-jerit, nyanyikanlah bait terakhir dari syair ayah kalian sebelum ia menghilang. Aku yakin roh alam semesta dan bumi akan mendengar doa kalian dan menunjukkan jalan.”

Kedua bersaudara itu sangat menghargai pendapat kawan mereka yang cemerlang dan memesan sebuah kapal. Pada bulan pertama tahun 1727 kapal mereka sudah siap dan pada tiang kapal itu berkibar sebuah bendera bertuliskan “Kapal dari dua bersaudara Weng dari Yuyao dalam perjalanan mencari ayah mereka” dan kemudian mereka berlayar menelusuri Yungchow dan Hengchow selama lebih dari setengah tahun.

Menjelang akhir bulan kedelapan perjalanan mereka, kapal mereka berhenti di sebuah pulau kecil bernama Pasir Putih di Kiangkan. Kedua bersaudara ini sedang menangis menghadap ke arah sungai ketika seorang lelaki tua bertongkat datang ke Kiangkan.

Nama lelaki itu adalah Cheng Hai-huan (“kembali dari laut”) dan ia menghampiri kedua bersaudara itu dan berkata kepada mereka, “Jika kalian mencari ayah yang masih hidup, aku tidak berani berkata apa-apa. Tetapi jika sebaliknya, ia telah dikuburkan di sini, di pulau kecil ini.”

Tentu saja kedua bersaudara itu terkejut dan meminta keterangan lebih detail. Haihuan menjelaskan lebih lanjut, “Rumahku ada di Niaowotang, sekitar tujuh mil dari Kiangkan. Saudara lelakiku bernama Haisheng (‘lahir/hidup dari laut’). Istri saudaraku itu melahirkan seorang putra pada tanggal tujuh bulan kesebelas tahun 1692.

Pada saat itu Haisheng hendak pergi ke rumah keluarga istrinya untuk memberitahukan kelahiran putranya tetapi terhalang banjir dalam perjalanan dan hampir tenggelam. Untunglah ia tersangkut pada akar-akar bambu dan terselamatkan.

Ia melihat ada sosok jenazah di antara akar-akar tersebut dan memberitahukanku ketika kembali ke rumah. Aku kemudian mengikuti saudaraku itu dan melihat jenazah tersebut lalu menariknya ke tepian. Jenazah itu berpakaian sutra dan tampak kurus dan pucat.

Kami kemudian memilih sebuah tempat dan menguburkannya. Kami pikir ia seorang yang tertimpa bencana sama seperti saudaraku itu. Ketika keluarga Ketua Kungch’eng kembali ke rumah dan mencara ayahmu, aku membaca pengumuman yang terpasang dan melihat bahwa ciri-ciri yang ada dalam pengumuman itu sama persis seperti yang ada di jenazah itu.

Ketika aku hendak melaporkan tentang hal ini, seorang tua dari desaku mencegahku dan berkata, ‘Pengumuman itu tidak menyebutkan tentang keadaan tenggelam. Mereka mencari seseorang yang masih hidup dan engkau datang dengan laporan mengenai orang yang sudah mati. Bagaimana engkau dapat menanyai orang mati untuk menjelaskan ciri-cirinya?

Aku khawatir engkau dan saudaramu akan kesulitan menjawab pertanyaan mereka dengan memuaskan.’

Maka aku tidak melanjutkan niatku untuk melaporkan jenazah tersebut. Tetapi ketika Haisheng mengetahuinya, ia berlari ke pejabat yang memberi pengumuman untuk menyampaikan berita, tetapi pejabat itu sudah terlanjur pergi jauh. Selama tiga puluh tahun sampai sekarang orang tidak lagi menyinggung-nyinggung tentang kejadian itu lagi.

Sekarang Haisheng saudaraku sudah meninggal, dan aku sudah tua. Aku mendengar bahwa kalian bersaudara mencari ayah kalian di luar negeri kalian dan semua orang yang mendengarnya sangat tersentuh dengan usaha kalian.

Bagaimana mungkin aku dapat menyimpan rahasia ini lagi dari kalian? Ayah kalian baru meninggal dua hari ketika aku menarik tubuhnya dari air waktu itu di Hsint’ang. Putra Haisheng yang lahir pada saat itu sekarang masih hidup. Kalau tidak, aku tentu tidak akan dapat mengingat tanggalnya dengan baik.”

Kedua bersaudara itu kemudian mengikuti orang tua tersebut ke rumahnya dan bertanya-tanya bagaimana itu semua terjadi. Istri Haisheng masih hidup dan mereka mengatakan bahwa ketika mereka menguburkan ayah kedua bersaudara itu, mereka mengambil beberapa benda yang ditemukan di tubuhnya dan sekarang hanya sebuah kunci dan tempatnya yang masih ada.

Segera kedua bersaudara itu mengutus seorang kurir ke rumah sepupu perempuan mereka dengan membawa kunci beserta tempatnya. Saudara sepupu mereka sangat terkejut dan terharu menerima benda tersebut dan berkata, “Tempat ini adalah hadiahku untuk paman, yang aku sulam sendiri. Ketika bagasinya dikirim ke rumah, tidak ada kunci yang menyertainya jadi kami membukanya dengan paksa kotak itu. Kami lantas menemukan syair yang ditulisnya di Hsint’ang.”

Setelah tiga bulan kurir itu kembali dengan gembok untuk bagasi tersebut dan kunci tersebut ternyata cocok dengannya. Kedua bersaudara itu menjadi yakin bahwa ayahnyalah yang telah tenggelam di Hsint’angchan dan dikubur di pulau Pasir Putih. Apabila bukan karena informasi yang sangat berharga dari Haihuan, mereka tidak akan mungkin membersihkan penyesalan ini selama hidup mereka.

Dan jawaban dari doa mereka yang menyebutkan “kembali hidup” sangat cocok dengan nama dari kedua bersaudara Haisheng dan Haihuan (“kembali dari laut” dan “hidup dari laut”). Jawaban dari Dewa secara ajaib memenuhi semua kejadian yang ada.

Kedua bersaudara itu kemudian meminta kepada pemimpin daerah tersebut untuk memindahkan kerangka ayah mereka kembali ke rumah dan dikuburkan di daerah kelahirannya.

Sang pemimpin sangat bersimpati kepada keduanya dan memberikan izin. Tetapi kemudian para penduduk pulau itu memprotes keputusan san pemimpin dengan alasan bahwa pada pulau kecil yang semula tidak berpenghuni itu sekarang telah tumbuh sebuah desa kecil karena adanya perlindungan dari kuburan itu.

Para penduduk meminta agar kerangka jenazah itu jangan dipindahkan. Sang pemimpin menghormati keinginan penduduk tersebut dan berkata kepada dua bersaudara itu, “Roh ayah kalian telah bahagia di tanah ini.

Aku pikir sebaiknya kalian tidak mengganggu kerangkanya. Kecuali itu, sebuah desa kecil telah muncul karena kuburan itu dan setiap musim gugur kuburan itu menerima persembahan seperti Dewa. Aku kira ayah kalian sudah merasa tenang karenanya.”

Kedua bersaudara itu kemudian membangun sebuah pondok di dekat kuburan itu dan tinggal di dalamnya selama tiga bulan. Sesudah masa itu, mereka meminta perlindungan roh ayah mereka dan membuat model peti jenazah dan membawanya pulang.

Beberapa tahun kemudian Chishan meninggal dan Luyeh diangkat menjadi pemimpin Tungpo (di Honan) di mana ia meminta keluarga kakaknya untuk tinggal bersamanya di rumah dinasnya. Tak lama kemudian ia dipindahkan ke Wuning yang hanya berjarak sekitar tiga puluh mil dari Ch’iyang Hsien (di mana terletak Hsint’angchan).

Di sana ia mendirikan sebuah kuil peringatan di Hoput’ang di dekat kubur ayahnya. Ia membeli sebidang tanah yang hasilnya digunakan untuk persembahan dan menunjuk beberapa penduduk asli untuk menjaga kuil tersebut secara turun-temurun.

Pemimpin Ch’iyang, Chuehlo Choherpu (seorang Manchu), menempatkan sebilah batu yang berpahat cerita tersebut. Karir Luyeh yang terakhir adalah pemimpin distrik Taochow (Yungchow) dan meninggalkan nama baik pada masa pemerintahannya yang ditulis pada Kitab Para Pejabat Terkenal pada Catatan Propinsi (Fuchih) Hunan.

Kemudian ada juga catatan susulan tentang hidup kedua bersaudara ini: “Kisah Pencarian Seorang Ayah” oleh Shao Hungchieh dan Wu Hsiwen (sahabat kedua saudara ini), “Sejarah Pulau Pasir Putih” oleh Ch’iu Yinyu, “Kisah Pencarian Ayah yang Hilang” oleh Chan Ts’angchih (yang hanya garis besar kejadian tersebut), catatan Shih Yunhuei, sketsa biografis oleh Li Tsuhuie dan Chang Kengchih.

Catatan-catatan dan kisah-kisah ini bervariasi dalam detail dan dalam perbedaan. Kuangp’ing memakai semua catatan di atas untuk menulis sketsa kisah ini untuk menunjukkan bahwa bakti terhadap orang tua dari kedua saudara itu telah menyentuh hati para Dewa dan membuat roh-roh di alam menangis.

Demi mencari ayah mereka, rintangan gelombang dan kebuasan hutan telah mereka tempuh dan mereka tetap teguh pad niat mereka untuk menemukan lokasi kubur ayah mereka. Karena itu saya [penulis kisah ini] merasa bebas untuk mengedit ulang kisah ini dan meletakkannya pada buku genealogi klan ini bukan sekedar menjadikannya model bagi seluruh klan kita, tetapi juga sebagai kisah bagi semua anak manusia.

Sumber: Kitab Kebijaksanaan dan Kearifan Orang Tiongkok oleh Lin Yutang. Salam kebajikan.

Tidak ada komentar:
Write komentar