|
Welcome To My Website Kebajikan (De 德)......KEBAJIKAN ( De 德 ) Mengucapkan Xin Nian Kuai Le (新年快乐) 2571 / 2020...Xīnnián kuàilè, zhù nǐ jiànkāng chángshòu, zhù nǐ hǎo yùn..Mohon Maaf Blog ini masih dalam perbaikan....Dalam era kebebasan informasi sekarang, hendaknya kita dapat lebih bijak memilah, mencerna dan memilih informasi yang akurat. Kami menempatkan kepentingan pembaca sebagai prioritas utama. Semangat kami adalah memberikan kontribusi bagi pembaca agar dapat meningkatkan Etika dan Moral dalam kehidupan serta meningkatkan Cinta kasih tanpa pamrih pada sesama baik dalam lingkup lingkungan sekitar maupun lingkup dunia dan menyajikan keberagaman pandangan kehidupan demi meningkatkan pemahaman dan penghargaan terhadap kehidupan. Tanpa dukungan Anda kami bukan siapa-siapa, Terima Kasih atas kunjungan Anda

Jumat, 02 Oktober 2015

Jika Bukan Karena Anak, Aku Pasti Sudah Meninggalkan Istriku Sejak Lama

 


KEBAJIKAN ( De 德 ) -  Ada satu hal yang paling menyedihkan dari sebuah pernikahan. Ikatan suci sekuat itu ternyata tidak mampu menjanjikan sepasang suami istri akan hidup bahagia selamanya tanpa perpisahan. Pengakuan dari seorang pria yang ia ceritakan pada redbookmag.com ini misalnya. Jika bukan karena putra semata wayangnya, ia pasti sudah meninggalkan istrinya sejak lama. Mengapa?

Salah satu hal yang paling aku sukai dari istriku adalah kemampuannya dalam mengasuh anak. Sedangkan aku, aku sama sekali tidak yakin bisa menjadi ayah yang baik. Namun karena teman-temanku menyukainya, aku berusaha meyakinkan diri bahwa "tidak ingin menjadi ayah" hanya ketakutan yang aku besar-besarkan. Jadi, aku memutuskan untuk membiarkan keadaan berjalan secara alami. Namun tampaknya alam tidak berpihak, dan istriku tidak ingin lagi mengupayakan hubungan suami istri.

Maka adopsi pun menjadi pilihan..

Sebagai anak adopsi, aku merasa bisa saja menolak keputusan ini. Namun saat teman kami mengunggah foto anak adopsi di Facebook, aku dan istriku jatuh cinta, dan aku merasa jauh lebih baik. Meski begitu, aku masih belum percaya diri dengan kemampuanku sebagai seorang ayah. Ayah terbaik yang aku kenal telah tiada akibat kanker. Jadi aku merasa satu-satunya hal yang bisa aku janjikan adalah kesedihan, sekaligus rasa pengertian luar biasa jika saja dia terluka atau merasakan lubang karena tidak mendapatkan sosok yang ia butuhkan. Dan rasanya sangat menyiksa saat menyadari bahwa aku tidak bisa melakukan apapun untuk membuatnya merasa lebih baik.

Setelah 2 tahun terbelit segala rintangan dan urusan hukum dengan Korea, kami akhirnya mendapatkan seorang putra. Karena gangguan pada hati, ia harus menghabiskan 4 bulan pertama dalam hidupnya di rumah sakit. Ia harus bertahan melawan penyakitnya, suatu hal yang belum tentu bisa dilakukan anak lain. Dan aku, harus melalui semua itu sekaligus menjadi ayah baru juga.

Kami partner yang baik sebagai orang tua, tapi tidak sebagai suami istri

Kejadian tersebut tidak sampai menghancurkan pernikahan kami, tapi agak. Sejak kedatangan si kecil, kami benar-benar tidak tertarik lagi satu sama lain. Bahkan tidak ada hubungan fisik di antara kami berdua. Menurut seorang konselor pernikahan, kami ini layaknya wiper di kaca mobil. Bisa serasi berjalan beriringan, namun tidak pernah bersatu.

Lalu masalah mulai berdatangan. kami punya sudut pandang yang berbeda terkait mendidik dan mengajarkan disiplin pada anak. Istriku sangat memperhatikan bahwa si kecil adalah anak adopsi, jadi ia sangat berlebihan dalam merawatnya. Ia bahkan tidak akan membiarkan si kecil menangis.

Di sisi lain, aku sejak awal sudah menetapkan batasan-batasan tertentu. Dia tahu bahwa ada batasan-batasan tertentu yang tidak akan aku lewati. Bukan berarti ibunya menyayanginya, dan aku tidak. Ia tahu ayahnya sayang padanya. Ia juga tahu bahwa ia tidak bisa memaksakan kehendaknya padaku, seperti ia memaksakan kehendak pada ibunya. Makanya, saat aku melarang, ia akan mendatangi ibunya dan berkata "Papa bilang tidak". Ia tahu bahwa ibunya bisa diandalkan untuk mengubah keputusanku.

Jika bukan karena anakku ...

Aku tahu bahwa aku bukan ayah yang sempurna, tapi aku adalah ayah yang tegas dan mencintainya. Aku memasak untuknya, mengganti popok, dan memandikannya. Intinya, aku menyayanginya. Namun sayangnya, aku tidak bisa mengatakan hal yang sama sebagai seorang suami. Keadaan ini sulit, aku mencintai istriku, namun kadang aku tidak menyukainya. Dan, kadang aku merasa sudah lelah berjuang.

Jika bukan karena putraku, aku pasti sudah sangat mempermasalahkan perasaanku, dan meninggalkannya sejak lama. Bagaimanapun keadaannya nanti, kini aku jauh lebih baik sebagai seorang ayah, dibanding sebagai seorang suami. Tentu ini tidak sempurna, namun hidup juga tidak sempurna, bukan?

Betapa manisnya jika seorang anak menjadi alasan orang tuanya tetap memutuskan untuk hidup bersama. Namun di balik itu semua, mungkin tanpa disadari, jauh di lubuk hati pasti ada sedikit alasan bahwa hubungan suami istri memang layak untuk diperjuangkan, bukan? Salam kebajikan (Sumber)

Tidak ada komentar:
Write komentar