KEBAJIKAN ( De 德 ) - Di suatu daerah, di wilayah tanah air, terkenal sebagai penghasil ubi kayu kualitas nomor satu. Hampir semua penduduk di daerah tersebut menanam ubi kayu.
Tanah yang subur menjadi faktor utama penduduk menjadi petani ubi kayu. Selain mudah dalam perawatan, juga tidak membutuhkan modal usaha besar. Yang diperlukan adalah ketekunan dalam mengawasi dan membuang rumput gulma yang tumbuh di sekitar ubi kayu agar tidak merongrong dan mengganggu pertumbuhan akar ubi kayu.
Namun karena daerahnya terpencil dan tidak dilalui angkutan umum ataupun kereta api, maka para penduduk desa tersebut harus menempuh jarak puluhan kilometer untuk menjual hasil panennya. Lembah, gunung, sungai dan hutan akan dilalui agar dapat mencapai kota tempat mereka melakukan aktivitas jual beli.
Sesampainya di kota, ubi kayu kualitas wahid itu sudah langsung dibeli oleh pengepul dengan harga yang ditentukan oleh para pengepul. Penduduk desa tidak peduli dengan berapapun harga jual ubi kayu, yang penting, hasil panennya laku terjual. Uangpun berhasil didapatkan walaupun tidak banyak.
Setelah selesai transaksi, penduduk desa itu segera kembali ke kampung halamannya dengan berjalan kaki. Namun sebelum pulang, mereka pasti akan membeli oleh-oleh untuk sanak keluarga di kampung, sebagai tradisi turun temurun.
Oleh-oleh yang paling digemari oleh mereka adalah keripik ubi yang terkenal renyah dan gurih. Saking doyannya mereka rela membelanjakan setengah dari uang hasil penjualannya hanya untuk membeli beberapa bungkus keripik ubi. Memang mahal...
Jauh-jauh mereka pergi ke kota untuk menjual hasil panen berupa ubi kayu mentah, untuk kemudian membeli oleh-oleh keripik ubi kayu. Lucu..? Tentu saja... Namun mereka tidak pernah menyadari kelucuan ini. Mereka tidak pernah mengetahui adanya kekeliruan yang merugikan mereka.
Bagi sebagian dari kita pasti akan menertawakan "kebodohan" penduduk desa tersebut. Jauh-jauh ke kota untuk berjualan ubi kayu, kok pulangnya membawa oleh-oleh keripik ubi juga? Mengapa tidak mengolah dan menggorengnya sendiri?
Sobatku yang budiman...
Jangan terburu-buru menertawakan mereka yang memang hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka tidak berpendidikan dan hanya mengandalkan naluri alamiah untuk menyambung kehidupan mereka.
Sesunggguhnya apa yang dilakukan penduduk desa tersebut, ternyata justru sering kita lakukan, dengan tanpa sadar. Padahal kebanyakan dari kita adalah orang berpendidikan dan sudah bergelar sarjana, minimal tamat SMA.
Lihat saja kenyataan yang terjadi di sekeliling kita...
Betapa bangganya kita mengenakan sepatu buatan Eropa, padahal sepatu tersebut buatan dalam negeri, Made in Cibaduyut.
Betapa bangganya kita memamerkan perabotan dari luar negeri, padahal semua itu adalah hasil karya anak negeri, ukiran Made in Jepara.
Lihatlah bagaimana air kita diambil sesuka hati oleh perusahaan luar negeri, mengolah air mentah menjadi air minum dalam kemasan atau air mineral dan hasil keuntungannya sepenuhnya menjadi milik para investor dari luar.
Kopi-kopi terbaik di Indonesia, dibeli dari petani kopi dan diolah oleh kedai kopi terkenal seantero jagad (sering promo buy one get one). Lantas dibeli kembali dengan harga berkali-kali lipat oleh penduduk Indonesia. Harga di warung cuma 5 ribu, namun dengan menggunakan merek terkenal mereka, kopi tersebut akan laris dijual dengan harga 50 ribu.
Bukankah perilaku kita ini tidak ubahnya dengan para penduduk desa yang tidak memiliki pendidikan tinggi seperti kita?
Mari kita renungkan, siapakah yang sebenarnya lebih "konyol", mereka atau kita? Siapakah yang patut ditertawakan? Kita atau mereka?
Untuk itu ubah mindset kita. Cintailah produk dalam negeri. Belilah produk buatan anak negeri. Banggalah sudah menggunakan produk nasional, milik negeri tercinta, Indonesia. Jika bukan kita, siapa lagi? Jika tidak sekarang, kapan lagi? Salam kebajikan #firmanbossini
Tidak ada komentar:
Write komentar