KEBAJIKAN ( De 德 ) - Alkisah, hiduplah seorang kakek yang sudah tua dan seorang pria muda yang ganteng rupawan.
Pada masa itu, semua orang dapat memamerkan dan memperlihatkan bentuk hatinya kepada orang lain karena tubuh di bagian dada tidak tertutup oleh daging. Saat pakaian dibuka, maka bentuk hati akan terlihat dengan nyata.
Bukan seperti masa sekarang, bentuk hati tidak mungkin dapat terlihat dengan mata telanjang oleh orang lain. Agar dapat terlihat keindahannya, harus divisualisasikan dengan suara, sentuhan, pandangan, tulisan dan segala perbuatan serta karya nyata.
Sang kakek bekerja sebagai petani, jarang mengenakan baju untuk menghindari panasnya cuaca, sehingga bentuk hatinya akan terlihat dengan jelas. Hati sang kakek penuh dengan bekas luka dan berlubang. Bentuknya lebih mengerikan daripada gurat keriput pada kulitnya.
Sedangkan sang pemuda yang gagah dan tampan, juga selalu melepaskan pakaian atas hanya untuk memamerkan bentuk hatinya yang bersih, utuh dan tanpa cacat sedikitpun. Seringkali pemuda itu menunjukkan kesombongan dan melecehkan orang-orang yang bentuk hatinya tidak sesempurna miliknya.
Bagi pemuda parlente itu, hal ini merupakan sesuatu yang membanggakan dirinya. Dia sangat senang mempertontonkan bentuk hatinya yang bersih tanpa satu goresan pun kepada semua orang yang ditemui.
Pada suatu hari, mereka berdua bertemu di sebuah warung kopi. Pemuda itu menertawakan semua yang hadir, karena tidak ada yang memiliki hati sebagus hatinya. Pandangan bersifat hinaan terutama ditujukan kepada sang kakek.
Sambil menepuk dada, pemuda itu berkata : "Hai, kakek... Bentuk hatimu tampak mengerikan sekali. Siapapun akan merasa takut melihatnya. Sekarang coba lihat punyaku. Hatiku bersih dan tiada cacat. Selama ini aku menjaganya dengan sangat baik, tidak ada seorangpun yang kuperkenankan untuk menodai atau mengotori hatiku. Kamu pasti tidak mampu menjaga hatimu dengan baik sehingga bentuknya begitu menakutkan. Biar saya beritahu, hati kita itu amat berharga, sebab tanpa hati, hidup kita menjadi tidak bermakna. Mengertikah wahai kakek malang...."
Semua orang yang hadir merasa sangat kesal dan tersulut emosinya mendengar keangkuhan pemuda itu. Beberapa orang berdiri hendak melakukan sesuatu tindakan kepada pemuda yang dianggap bersikap kurang ajar terhadap orang yang lebih tua.
Sang kakek yang sudah renta itu menggerakkan tangannya, menyuruh semuanya untuk tenang. Beliau hanya tersenyum, tidak nampak sedikitpun raut kemarahan di wajahnya.
Sejenak, sang kakek menoleh ke arah hatinya yang penuh luka dan tidak sempurna lagi. Lalu menatap ke arah hati pemuda yang terlihat begitu bagus.
Tidak berapa lama kemudian, sang kakek bertanya : "Wahai pemuda yang rupawan, saya sungguh kagum dengan bentuk hatimu. Namun, mengapa engkau sangat menjaga hatimu?"
Pemuda sombong itu membusungkan dadanya lalu menjawab : "Saya adalah orang terpelajar. Kebersihan adalah sebagian dari imanku. Tentu saja saya harus menjaga milikku dengan sebaik-baiknya. Apalagi kita semua tahu bahwa hati itu adalah organ tubuh manusia yang berharga setelah jantung dan paru-paru."
Sang kakek menjawab : "Tentunya kita semua tahu... Meskipun berharga, namun hati itu bukanlah sejenis makanan yang dapat kita nikmati sendiri. Bahkan jika makanan kita berlebihan, kita dianjurkan untuk berbagi kepada yang lain. Demikian juga dengan hati kita. Untuk apa kita memiliki hati yang mulus bersih tanpa cacat, jika kita tidak mau berbagi kepada orang lain...?"
Pemuda itu menyela : "Mengapa saya harus membagi hatiku? Bukankah hatiku adalah milikku...? Dengan membagi sebagian hatiku, atau membuat orang mengotori hatiku, maka bentuk hatiku tidak lagi menjadi sempurna...."
Sang kakek berkata dengan intonasi lebih tegas lagi : "Sepanjang hidup, kita pasti merasakan sakit hati saat dikecewakan, menderita saat dikhianati atau merasakan hati kita bagaikan tertusuk sembilu saat menerima fitnah atau kata-kata tidak sepantasnya. Saat itulah hati kita tidak lagi utuh, sudah mulai terluka dan berlubang..."
Pemuda itu merasakan bahwa selama hidupnya dia tidak pernah merasakan perasaan demikian, tidak pernah dikecewakan atau tidak pernah menerima kalimat hujatan. Sebelum orang lain menyakiti hatinya, dirinya terlebih dahulu menyakiti hati orang lain. Sehingga hatinya tetap berbentuk sempurna.
Sang kakek melanjutkan : "Sepotong hati yang dikaruniakan Tuhan kepada setiap umat manusia, bukan untuk disimpan atau dijaga bentuknya agar tetap utuh sempurna. Sesungguhnya, sesuai peruntukannya, kita wajib membagi sebagian hati kita kepada orang lain...."
Sang pemuda dan para pengunjung warung, terlihat begitu seksama mendengarkan wejangan dari kakek yang dituakan di kampungnya karena terkenal memiliki kebijaksanaan yang tinggi.
Sang kakek melanjutkan : "Kita memang wajib menjaga hati kita agar tidak hilang atau rusak hingga terlepas dari tubuh. Namun, apakah kita akan berbahagia hanya dengan gemar memamerkan kemulusan bentuknya tanpa pernah berniat untuk membaginya kepada orang lain yang membutuhkan? Cobalah jawab pertanyaanku..."
Pemuda itu menggelengkan kepalanya...
Setelah menyeruput kopi hitam yang lezat, sang kakek melanjutkan : "Dalam hidup ini, kita tidak boleh selalu berada di atas. Senantiasa memandang rendah orang lain. Lebih suka terlebih dahulu melontarkan hinaan tanpa bersedia untuk dihina. Lebih senang menyakiti tanpa pernah mau disakiti. Jika demikian adanya, maka hati kita memang tetap terlihat utuh, namun jika suatu ketika mendapat cercaan yang hebat, maka hati itu akan langsung rusak dan tidak akan pernah diperbaiki lagi..."
Setelah merasa dapat "menguasai" pikiran pemuda itu, sang kakek berkata lagi : "Saya selalu memberikan beberapa potong hatiku untuk orang lain, bahkan untuk orang-orang yang tidak kukenal sekalipun. Saya merasa amat berbahagia, karena hatiku dapat membahagiakan orang lain. Sekalipun akhirnya hatiku akan dipenuhi luka dan berlubang, namun itu tidak menjadi masalah. Itulah sejatinya arti hidup bahagia..."
Akhirnya sang pemuda harus "takluk" kepada kearifan sang kakek. Dia menyadari bahwa esensi terdalam dalam kepemilikan hati adalah untuk berbagi kepada orang lain walaupun hatinya harus rusak dan berlubang.
Tanpa diduga-duga, pemuda itu mencongkel dan mengiris sedikit hatinya untuk sang kakek. Walaupun tidak dapat menambal seluruh hati sang kakek, namun setidaknya niat itu dilakukan dengan tulus dan ikhlas. Sebuah hadiah senyuman dan ucapan terima kasih, untuk pertama kali diterimanya dari sang kakek. Jiwanya merasa amat bahagia.
Sejak saat itu, sang pemuda mulai membagi-bagikan hatinya pada orang lain. Sebaliknya, ada juga beberapa orang yang menambal hati sang pemuda yang tidak sempurna lagi. Dia merasakan kebahagiaan yang begitu besar atas aksi berbagi hati.
Sobatku yang budiman...
Dalam menjalani kehidupan sehari-hari, kita tidak boleh bersikap egois dan mau menang sendiri. Pengennya menyakiti tanpa pernah mau disakiti. Pengennya memfitnah atau berkata tidak benar, tanpa pernah mau difitnah ataupun dibohongi.
Sebaliknya, kita juga tidak boleh terlalu lama meratapi hati yang terluka, patah ataupun hancur. Jangan pernah khawatir, suatu saat nanti, Tuhan pasti akan mengutus seseorang untuk menambal hati kita.
Berbahagialah mereka yang bersedia membagikan sepenggal hatinya demi kebahagiaan orang lain. Salam kebajikan #firmanbossini
Tidak ada komentar:
Write komentar