Pada suatu hari yang cerah ketika Qu Yuan berumur
lebih kurang 20 tahun, ia sedang melihat sebatang pohon jeruk di halaman
rumahnya. Pohon jeruk itu jenis yang istimewa. Daunnya lebih hijau,
bunganya lebih cemerlang, buahnya lebih manis daripada pohon jeruk lain
yang sama jenisnya.
Hal itu hanya dapat berhasil bila ditanam di tanah
dan iklim Negeri Cho ( Chu 楚 国 ). Di cangkok dan ditanam di negeri mana
pun, jenis pohon itu akan layu dan mati. Qu Yuan
mengagumi pohon jeruk itu karena indahnya dan karena kesetiaannya
terikat pada tanah airnya.
Seperti pohon jeruk itu, Qu Yuan merasa berakar
dalam di negeri. Para leluhurnya adalah
termasuk di antara para pendiri Negeri Cho ( Chu 楚 国 ). Keluarga Qu Yuan adalah salah satu di antara tiga keluarga besar
yang termasyhur di Negeri Cho ( Chu 楚 国 ).
Wajahnya yang cakap, sikapnya yang lemah-lembut, berwibawa dalam
pembawaan, mencerminkan leluhurnya yang mulia terhormat. Qu
Yuan seorang negarawan yang cerdas dan seorang ahli puisi. Pandai
berbahasa dan cerdas, ia memperlajari berbagai bidang ilmu pengetahuan
seperti astronomi ( ilmu bintang ), ilmu bumi, sejarah, pertanian, hukum
dan sastra.
Keluasaan pengetahuannya sesuai dengan perasaannya yang dalam. Qu Yuan mempunyai jiwa yang sensitif dan penuh semangat,
berbudi luhur dan jernih, penuh dengan cita yang tinggi, terutama untuk
negerinya yang sangat dicintainya.
Aku Ingin Melakukan Perbuatan Besar untuk Tanah Air dan Rakyatku
Kerajaan Ciu ( Zhou 周 ) pada waktu itu terbagi menjadi tujuh
negara yang satu terhadap yang lain saling mengawasi dengan penuh
ambisi dan kecurigaan. Tujuh negara itu ialah Negeri Yan, Cee, Thio,
Gwi, Han, Cho dan Chien. Negeri Chien yang berkedudukan di wilayah Barat
Laut ialah yang paling kuat dan agresif dan Negeri Cee yang di wilayah
Timur ialah yang paling kaya dan makmur, sementara negeri Cho ( Chu 楚 国 )
yang berkedudukan di wilayah sekitar sungai Tiang-kang ( Yangzi ) ialah
yang paling luas. Negeri Chien mempunyai pemerintahan dan angkatan
perang yang paling efisien. Negeri Chien senantiasa menanti kesempatan
untuk menaklukan negeri-negeri yang lain satu persatu.
Qu Yuan mengajukan proposalnya kepada raja yang
dengan senang menerimanya. Ia menugaskan Qu Yuan untuk
menangani hal-hal yang menyangkut urusan dalam dan luar negeri. Qu Yuan harus berhasil menjalin persahabatan dengan
negeri Cee dan dalam hal ini ia telah menggunakan kemampuannya yang
luar biasa. Ke dalam, ia harus membuat rencana undang-undang bagi era
baru ini. Ia segera dapat menyiapkan rencana itu.
Kelihatannya, Qu Yuan seolah-olah akan berhasil
merealisasikan programnya tetapi sayang, orang-orang rendah budi masuk
menjegalnya.
Rajaku lebih mendengarkan para pengkhianat
Ada orang-orang di istana yang sama sekali tidak menyukai Qu Yuan sehingga perubahan yang ditawarkannya akan
menghilangkan hak-hak istimewanya dan membuka kebusukan hatinya. Mereka
juga cemburu terhadap bakat dan kepiawaian Qu Yuan. Karena kekurangan kebolehan dan integritas ( kepercayaan diri ), mereka
membenci Khut Gwan ( Qu Yuan 屈 原 ) yang memiliki kedua-duanya. Mereka
yang munafik dan hanya mencintai diri sendiri, membenci Qu
Yuan yang mencintai kebenaran dan tanah air di atas segalanya. Maka
mereka membentuk komplotan untuk melawan Qu Yuan.
Salah seorang dari mereka datang kepada raja dan berkata, “Tahukah
baginda, apa yang disebarkan Qu Yuan di istana ?
Baginda dikatakan bahwa tanpa dia, baginda tidak dapat berbuat apa-apa,
bahwa dialah satu-satunya orang yang mampu menegakkan hukum dan
melaksanakan strategi politik yang efektif.”
Demikianlah mereka menjilat sang raja dan meracuni telinganya. Raja
yang bodoh dan lemah mental itu dengan mudah diombang-ambingkan
niatnya. Segera raja menurunkan kedudukan Qu Yuan dan
menjauhinya.
Komplotan orang-orang penjilat dan penghkhianat yang berpihak
kepada negeri Chien karena mereka telah disuap oleh utusan Chien, mereka
membujuk raja agar mau bersahabat dengan negeri Chien dan memutuskan
hubungan dengan negeri Cee. Qu Yuan sangat menentang
maksud itu. Tetapi saran kepada rajanya itu hanya seperti masuk ke
telinga yang tuli.
Negeri Chien ternyata adalah kawan yang khianat. Negeri Chien
banyak dan kian banyak mengambil tanah negeri Cho ( Chu 楚 国 ), lewat
kekuatan senjata dan lewat tipu muslihat. Raja Cho ( Chu 楚 国 ) yang
telah terbius oleh kata-kata manis para menterinya yang korup, tetap
tidak dapat menyadari.
Suatu hari, Raja Negeri Chien mengundang Raja Cho ( Chu 楚 国 )
berkunjung ke negeri Chien untuk bermusyawarah. Raja Cho ( Chu 楚 国 )
ketika akan berangkat, Qu Yuan berteriak, “Jangan pergi,
rajaku. Negeri Chien itu tanah harimau dan serigala. Negeri itu tidak
dapat dipercaya. Baginda mungkin tidak akan pernah pulang.”
Seorang pembantu istana yang berpihak kepada negeri Chien cepat
menyela, “Sangat tidak pantas menolak undangan yang bersahabat dari
negeri tetangga kita. Dan lagi, ini adalah suatu tanda penghormatan
besar untuk Baginda. Alangkah pencuriganya kamu!”
Maka Raja Cho ( Chu 楚 国 ) berkunjung ke negeri Chien dan tidak
pernah kembali. Begitu raja Cho ( Chu 楚 国 ) melewati daerah perbatasan,
ia ditahan dan tidak pernah kembali serta dipaksa untuk menandatangani
persetujuan menyerahkan wilayah yang sudah diambil Negeri Chien. Ia
menolak menandatangani dan akhirnya meninggal di Negeri Chien.
Para menteri Negeri Cho ( Chu 楚 国 ) mengangkat raja baru yang lebih
tidak berguna dibandingkan yang sebelumnya. Raja itu bahkan menghukum
buang Qu Yuan ke wilayah pengasingan. Lewat beberapa tahun, Negeri Cho ( Chu 楚 国 ) kian lama kian menjadi
lemah. Istana Negeri Cho ( Chu 楚 国 ) pun kian kacau, dipenuhi dengan
orang-orang yang hanya mencari keuntungan bagi diri sendiri dan tidak
mempunyai wawasan luas.
Aku berdiri sendiri, suci
Qu Yuan merasa sedih untuk raja yang telah meninggal dan
lebih sedih lagi untuk negeri dan rakyatnya. “Kemana tujuanmu, sayang?
Engkau seperti kereta terbalik, meluncur kearah kehancuranmu sendiri.”
Jiwanya merana. Penderitaannya terungkap dalam sanjak-sanjaknya. Di
dalam keputusasaannya, Qu Yuan menulis beberapa bait
yang sangat menyentuh dalam sajaknya. Sajaknya yang terbesar ialah
yang berjudul Li sao 离 骚 ( menanggung kepedihan ), sebuah karya yang
mencerminkan harapan yang sangat sang penyair dalam mencari kebenaran
dan keindahan.
Qu Yuan 屈 原 tidak dapat menahan diri untuk bertanya diri sendiri :
Mengapa yang baik menderita ?
Mengapa yang jahat berjaya ?
Mengapa yang khianat mendapat kepercayaan ?
Mengapa yang penjilat justru mendapat hadiah ?
Mengapa yang setia justru dihempaskan ?
Mengapa yang jujur justru dihukum ?
Kakak perempuan Qu Yuan yang melihat
keprihatinannya, menghibur dengan berkata, “Mengapa engkau mengasingkan
diri ? Berbuatlah seperti yang lain kerjakan. Katakan kepada raja hanya
apa yang baginda inginkan !”
“Aku tidak dapat, aku tidak mau!” teriak Qu Yuan.
“Aku tidak mau melepuhkan lidahku dengan kebohongan. Aku tidak dapat
menodai jiwaku dengan hal yang memalukan. Aku tidak dapat berkubang di
dalam lumpur dan aku tidak dapat bersenang-senang bermabuk-mabuk bersama
orang-orang itu. Aku akan berdiri sendiri, suci.”
Betapa aku dapat meninggalkan tanah airku ?
Dari jauh datang berita buruk. Pasukan Negeri Chien telah memasuki
ibukota Cho ( Chu 楚 国 ). Raja beserta seluruh isi istana telah melarikan
diri. Tentara Negeri Chien ada di seluruh Cho ( Chu 楚 国 ). Qu Yuan melihat betapa rakyat menderita. Sawah ladang berubah
menjadi ajang peperangan tiap malam. Para petani menjadi pengungsi
sepanjang hari. Jeritan perang, jeritan kematian, jeritan kepedihan
sampai ke telinga Qu Yuan dan menusuk hatinya.
Qu Yuan tidak mendapat kesempatan menyelamatkan
negerinya. Di istana tempatnya mengungsi. Sang raja masih
bermabuk-mabukan seperti biasanya. Orang-orang durhaka di istana masih
terus melakukan permainan yang berbahaya dengan menjilat dan berkhianat.
“Kamu manusia rendah budi! Apa yang telah kaulakukan terhadap
rajaku ? Apa yang telah kau lakukan terhadap negeriku? Apa yang telah
kaulakukan terhadap rakyatku ?”
Qu Yuan dengan mata yang basah melihat aliran
sungai Bik loo ( Mi Luo ) yang tanpa rasa kasihan itu. Ketika itu,
beliau berusia 62 tahun, harapannya telah pudar, mimpinya telah punah,
cita-citanya telah dikhianati.
“Terbang! Terbang!” terdengar suara bergema. “Ayo pergi ke negeri
lain, mengabdi kepada raja yang lain. Kepiawaianmu akan bersinar ke
mana-mana.”
“Ya, ya, aku akan pergi ke negeri lain dan melayani raja lain.” Qu Yuan naik menunggang kudanya yang cepat lari itu
dan terbang ke negeri lain ketika ia melihat tempat sekitarnya dan
menatap tanah negeri Cho ( Chu 楚 国 ) yang indah itu. Angin yang berdesir
membawa bau harum jeruk yang sedang berbunga kepadanya.
“Bagaimana aku dapat meninggalkan tanah air ku!”
Qu Yuan melepaskan kudanya dan sebagai gantinya
ia mendekap sebuah batu ke dadanya dan terjun ke sungai Bik Loo ( Mi Luo
).
Saat Qu Yuan menceburkan diri ke sungai Bik Loo (
Mi Luo ) itu bertepatan dengan saat upacara sembahyang Twan Yang ( Hari
Sumber Kehidupan ), hari untuk mensyukuri rahmat Tian untuk kehidupan
di bumi ini yang jatuh pada tiap tanggal 5 Bulan 5 Imlek. Karena itu,
tiap tahun pada hari itu digunakan pula untuk mengenang dan memperingati Qu Yuan, penyair besar yang berjiwa patriot, yang
lebih memilih mati daripada meninggalkan tanah airnya.
“Seorang yang bercita menjadi siswa dalam cinta kasih / kebajikan,
tidak inginkan hidup bila itu membahayakan cinta kasih. Bahkan ada yang
mengorbankan dirinya untuk menyempurnakan cinta kasih itu.” ( Lun Yu XV :
9
Tidak ada komentar:
Write komentar