Pernikahan sebenarnya merupakan suatu perjanjian yang sakral, pernikahan yang indah merupakan karunia Tuhan. Sekalipun moral di dunia runtuh, yang membuat terlalu banyak orang melupakan maksud semula dari suatu pernikahan, mereka bahkan dapat merusak pernikahan orang lain sesuka hati untuk kepentingan sesaat diri sendiri, namun kita tidak boleh karenanya terombang-ambing mengikuti arus.
Suami
Suami
Aksara Tionghoa untuk 夫 ( fū ), yang berarti suami, menggambarkan seorang pria yang memakai jepit rambut besar, yang dalam budaya Tiongkok kuno adalah sebuah tanda kedewasaan perempuan dan usia matang untuk menikah. Karakter huruf ini hampir identik dengan 人 (rén, “manusia” atau “laki-laki”), tapi dengan tambahan dua garis mendatar, satu merepresentasikan jepit rambut, dan yang satu lagi sebagai dua lengan.
Fu homofon dengan salah satu aksara Tiongkok 婦 ( fù ) yang berarti “istri” dan yang ternyata juga berarti “patuh ( 服, fú )”. Huruf Fu juga bisa berarti “gandum” atau “bekatul”. Butiran gandum adalah salah satu dari banyaknya tanaman simbolis yang berperan penting dalam pernikahan adat tradisional Tiongkok. Ada saat di masa lalu ketika semua pernikahan diatur oleh orang tua melalui mak comblang, dan kedua calon pasangan suami dan istri tidak memiliki pendapatnya sendiri.
Bahkan, jika seorang pria dan perempuan jatuh cinta justru sering dianggap sebagai hambatan, karena kemudian mereka akan memilih pasangan pernikahan mereka berdasarkan keinginan mereka sendiri dan bukan tuntutan bakti kepada orang tua mereka. Calon suami bahkan sangat jarang bisa bertemu dengan calon istrinya dan segera setelah nama mereka diketahui masing-masing calon mempelai, etika menuntut mereka untuk menghindari kontak sampai hari pernikahan tiba.
Seorang suami bertanggung jawab atas semua hal yang berkenaan dengan hubungan keluarganya sendiri terhadap keluarga lainnya dan dunia luar. Selain hal ini, tugas utamanya adalah pengabdian, yang berarti menunjukkan pilihannya kepada orangtua dan leluhurnya dengan mendukung keluarganya dan melestarikannya di atas perasaan istrinya, dan jika istrinya gagal melahirkan banyak anak laki-laki, hal ini sudah cukup sebagai dasar untuk perceraian.
Pilihan lainnya adalah suami mengambil selir untuk menjamin kelahiran laki-laki sebagai generasi selanjutnya dalam keluarga. Meskipun monogami telah secara luas menjadi norma di dalam masyarakat Tiongkok saat ini, tapi seorang suami masih tetap bisa mengangkat selir sebanyak yang mampu dia tanggung, suatu kebiasaan yang membutuhkan waktu sangat lama untuk hilang. Seorang suami juga diperkenankan untuk melepaskan selir yang tidak memberinya anak laki-laki tanpa ganti rugi apapun.
istri
Menurut salah satu penjelasan tradisional, karakter huruf ini ( 婦 ) diberikan suara Fu dengan tujuan untuk mengingatkan seorang istri untuk menjadi patuh ( 服 fú ) kepada suaminya ( 夫 fū ). Dalam prakteknya, kata untuk suami dan istri diucapkan dengan nada yang berbeda. Meskipun demikian sangatlah jarang membuat kebingungan. Bentuk paling tua penulisan kata “istri” menggabungkan komponen radikal untuk “perempuan” dengan sebuah sapu atau kain pembersih debu yang mengindikasikan pekerjaan rumah tangga seorang istri.
Di Tiongkok, seorang calon pengantin perempuan dipanggul dari rumahnya dengan “kursi pengantin” menuju rumah pengantin pria, di mana kedua mempelai akan bertemu untuk pertama kalinya, dan kemudian dianggap sebagai suami dan istri. Di malam pengantin, jika seorang istri sepertinya tidak perawan, dia akan segera dikirim kembali ke rumahnya dengan rasa malu.
Pembungkusan kaki dengan kencang dan menekan perasaan untuk para gadis dari sejak awal usia empat tahun menghasilkan ukuran kaki mungil yang disebut “bunga lili tiga inchi”. Para gadis dengan kaki-kaki yang sangat kecil ini sangat diminati oleh para makelar pernikahan, yang pada zaman dulu melambangkan ‘ikatan’ para istri Tiongkok dengan rumah. Kebiasaan ini kemudian secara resmi dilarang setelah 1911 tapi hingga kini para gadis korban pelatihan yang sangat menyakitkan ini masih hidup di Tiongkok.
Untuk seorang perempuan, kepatuhan kepada orangtua mereka sebelum menikah diikuti dengan kepatuhan kepada orangtua suami setelah pernikahan. Sang istri selalu berada di bawah kendali ibu mertua, yang mungkin membuat hidupnya sengsara atau bisa juga menjadi teman seumur hidup.
Ada beberapa kompensasi untuk keterbatasan hidup para istri tradisional Tiongkok, khususnya jika istri tersebut mampu memenuhi kewajiban utamanya dengan melahirkan anak laki-laki yang berarti bahwa sang istri di kemudian hari akan menjadi ibu mertua. Para istri juga secara tradisional mengatur urusan rumah tangga, seperti demikian pula hingga saat ini
Tidak ada komentar:
Write komentar