Fu-hauzi
adalah seorang pemuda yang berwatak tidak sopan terhadap ibunya yang
sudah tua dan tinggal sendirian bersamanya.
Fu-hauzi selain malas juga pemarah sekali, sehingga ibunya yang masih bekerja sendirian tersebut sering menjadi obyek amarahnya.
Tetapi ibunya tetap sabar dan mengasihi anak tunggalnya tersebut.
Sampai suatu hari, pemuda ini mendapatkan khabar bahwa di seberang lautan dekat puncak gunung, terdapat seorang Buddha yang sangat sakti dimana setiap permintaan dapat dipenuhinya. Fu-hau-zi yang memang sifatnya malas, berminat untuk bertemu Buddha tersebut agar dapat langsung memperoleh kesaktian sehingga tidak perlu susah bekerja. Maka berangkatlah Fu-hauzi seorang diri yang tentunya tanpa pamit kepada ibunya.
Fu-hauzi selain malas juga pemarah sekali, sehingga ibunya yang masih bekerja sendirian tersebut sering menjadi obyek amarahnya.
Tetapi ibunya tetap sabar dan mengasihi anak tunggalnya tersebut.
Sampai suatu hari, pemuda ini mendapatkan khabar bahwa di seberang lautan dekat puncak gunung, terdapat seorang Buddha yang sangat sakti dimana setiap permintaan dapat dipenuhinya. Fu-hau-zi yang memang sifatnya malas, berminat untuk bertemu Buddha tersebut agar dapat langsung memperoleh kesaktian sehingga tidak perlu susah bekerja. Maka berangkatlah Fu-hauzi seorang diri yang tentunya tanpa pamit kepada ibunya.
Sampai
di gunung seberang, dia bertemu dengan seorang bhikshu tua sederhana
yang telah berjenggot, maka diapun bertanya , “Kakek tua, saya ingin
bertemu dengan Buddha”. Kakek tua tersebut yang mengetahui pemuda ini,
menyahut, “Anak muda, sekarang Buddha itu sedang menunggu di rumahmu.
Ciri-cirinya adalah berpakaian terbalik dan sandal yang terbalik yang
akan menyambutmu di depan pintu rumahmu. Pergilah menemuinya karena dia
telah lama menunggumu.”
Merasa
girang bahwa rupanya Buddha telah datang ke rumahnya dan menungguinya,
maka Fu-hauzi segera pulang ke rumah sambil berpikir dalam hati,
“Sungguh sakti Buddha tersebut dan sungguh beruntung saya karena telah
ditunggui oleh Buddha di rumah”.
Sesampai di depan pintu rumahnya, segera Fu-hauzi menggedor pintu dan memanggil nyaring ibunya untuk membukakan pintu. Ibunya yang sedang tidur siang, terkejut juga khawatir membuat anaknya marah, serta senang mendengar anaknya telah kembali setelah pergi sekian lama tanpa permisi. Maka dengan tergopoh-gopoh ibu tua ini memakai baju terbalik dan sandal terbalik.
Segera dibukakannya pintu rumah, pemuda ini melihat persis ciri seorang Buddha yang digambarkan oleh bhikshu tua di gunung seberang yang malah menangis memeluknya. Segera Hauzi berlutut di depan ibunya dan sadar akan tabiat buruknya selama ini. Sejak itu Hauzi menjadi anak yang berbakti dan bekerja dengan rajin.
Sesampai di depan pintu rumahnya, segera Fu-hauzi menggedor pintu dan memanggil nyaring ibunya untuk membukakan pintu. Ibunya yang sedang tidur siang, terkejut juga khawatir membuat anaknya marah, serta senang mendengar anaknya telah kembali setelah pergi sekian lama tanpa permisi. Maka dengan tergopoh-gopoh ibu tua ini memakai baju terbalik dan sandal terbalik.
Segera dibukakannya pintu rumah, pemuda ini melihat persis ciri seorang Buddha yang digambarkan oleh bhikshu tua di gunung seberang yang malah menangis memeluknya. Segera Hauzi berlutut di depan ibunya dan sadar akan tabiat buruknya selama ini. Sejak itu Hauzi menjadi anak yang berbakti dan bekerja dengan rajin.
Tidak ada komentar:
Write komentar