Kampak sangat penting artinya bagi seorang penebang pohon. Tanpa alat
ini, ia tak bisa bekerja. Dan kalau tak bisa bekerja, ia akan kehilangan
mata pencaharian. Apa yang akan terjadi bila seorang penebang pohon
kehilangan mata pencahariannya?
Penebang pohon sedang menebang pohon besar dengan kampaknya yang besar di pinggir sungai. Ada seorang kaya yang memesan pohon besar itu
untuk dibuat rumah.
Dengan itu ia akan mendapat upah yang besar. Ia bersyukur karena isterinya sudah kehabisan beras, dan perlu membeli susu untuk bayinya yang masih kecil. Ingat anaknya, ia lalu bersemangat mengayun kampaknya.
Ia harus menyelesaikan pekerjaannya hari ini, dan memotong-motongnya sesuai ukuran masing-masing. Ia membayangkan setelah selesai nanti ia akan menerima bayaran yang cukup untuk beli beras dan susu untuk satu bulan!
Tiba-tiba… blang!...kampak itu terlepas dari genggaman tangannya, dan bum! Kampak terlempar jatuh ke sungai dan masuk ke dalam air yang dalam.
Si penebang pohon duduk di pinggir sungai dengan sedih. Tak mungkin ia masuk sungai itu. Selain airnya deras dan dalam, sungai itu juga banyak buayanya.
Kehilangan kampak, bagaimana ia bisa menyelesaikan penebangan pohon itu. Dan tanpa penyelesaian kerjanya, bagaimana ia akan mendapat bayaran? Dan tanpa uang bayaran, bagaimana mungkin ia membeli beras dan susu untuk anaknya?
Penebang pohon menangis sedih di pinggir sungai. Mercurius, dewa penjaga sungai yang bersemayam di dasar sungai, muncul ke permukaan dan bertanya: “Hai penebang pohon, kenapa kau menangis sedih?”
Penebang pohon lalu menceritakan perihal kampaknya yang jatuh tenggelam ke dasar sungai. Mendengar itu Mercurius lalu masuk ke dalam sungai, dan sebentar kemudian muncul kembali, membawa sebuah kampak emas.
“Apakah ini kampakmu yang tenggelam itu?” tanya Mercurius.
Penebang pohon menggeleng sedih. “Bukan,” jawabnya. “Itu bukan kapakku.”
Mercrius masuk kembali ke dalam sungai, dan keluar dengan kampak perak. Lagi ia bertanya kepada penebang pohon.
“Ini kampakmu?” tanya Mercurius.
Lagi-lagi penebang pohon menggeleng sedih.
“Bukan, itu bukan kampakku,” jawabnya.
Mercurius masuk kembali ke dalam air. Lalu muncul lagi dengan kampak besi.
Serta merta penebang pohon kegirangan.
“Nah, itu kampakku! Itu kampakku! Bolehkah aku minta kembali?”
Mercurius dengan senang hati memberikan kampak si penebang pohon. Ia juga sangat terkesan dengan kejujuran si penebang pohon. Ia sama sekali tidak tergiur dengan kampak emas dan kampak perak karena bukan miliknya.
Mercurius lalu menghadiahinya dengan kampak emas dan kampak perak sekaligus.
Ia ceritakan pengalamannya kepada temannya, sesama penebang pohon.
“Aku akan coba peruntunganku,” pikir temannya. Ia melakukan yang sama
seperti si penebang pohon. Ia pura-pura menebang pohon, dan sengaja menjatuhkan kampaknya sampai tenggelam masuk ke dasar sungai. Lalu pura-pura menangis di pinggir sungai.
Tak lama kemudian Mercurius muncul, dan bertanya apa yang terjadi.
“Kampakku jatuh tenggelam ke dasar sungai,” katanya pura2 sedih.
Mercurius segera masuk ke dalam sungai, dan muncul kembali dengan kampak emas.
“Apa ini kampakmu?” tanya Mercurius.
“Betul, betul! Itu kampakku yang tenggelam ke dasar sungai,” teriaknya sambil berusaha merebut kampak itu dari tangan Mercurius. Tentu saja Mercurius lebih sigap menghindar.
“Kamu pembohong!” kata Mercurius sambil masuk ke sungai dengan kampak emasnya.
Si pembohong pun gigit jari. Bukan saja ia tidak mendapatkan kampak emas, ia juga kehilangan kampak yang ia jatuhkan ke dasar sungai.
Akan halnya si penebang pohon yang pertama, ia jual kampak emasnya, uangnya dipakai sebagai modal usaha. Ia kini jadi pedagang yang kaya dan tetap jujur. Dari kisah ini diintisarikan bahwa “Jujur itu paling baik”.
Penebang pohon sedang menebang pohon besar dengan kampaknya yang besar di pinggir sungai. Ada seorang kaya yang memesan pohon besar itu
untuk dibuat rumah.
Dengan itu ia akan mendapat upah yang besar. Ia bersyukur karena isterinya sudah kehabisan beras, dan perlu membeli susu untuk bayinya yang masih kecil. Ingat anaknya, ia lalu bersemangat mengayun kampaknya.
Ia harus menyelesaikan pekerjaannya hari ini, dan memotong-motongnya sesuai ukuran masing-masing. Ia membayangkan setelah selesai nanti ia akan menerima bayaran yang cukup untuk beli beras dan susu untuk satu bulan!
Tiba-tiba… blang!...kampak itu terlepas dari genggaman tangannya, dan bum! Kampak terlempar jatuh ke sungai dan masuk ke dalam air yang dalam.
Si penebang pohon duduk di pinggir sungai dengan sedih. Tak mungkin ia masuk sungai itu. Selain airnya deras dan dalam, sungai itu juga banyak buayanya.
Kehilangan kampak, bagaimana ia bisa menyelesaikan penebangan pohon itu. Dan tanpa penyelesaian kerjanya, bagaimana ia akan mendapat bayaran? Dan tanpa uang bayaran, bagaimana mungkin ia membeli beras dan susu untuk anaknya?
Penebang pohon menangis sedih di pinggir sungai. Mercurius, dewa penjaga sungai yang bersemayam di dasar sungai, muncul ke permukaan dan bertanya: “Hai penebang pohon, kenapa kau menangis sedih?”
Penebang pohon lalu menceritakan perihal kampaknya yang jatuh tenggelam ke dasar sungai. Mendengar itu Mercurius lalu masuk ke dalam sungai, dan sebentar kemudian muncul kembali, membawa sebuah kampak emas.
“Apakah ini kampakmu yang tenggelam itu?” tanya Mercurius.
Penebang pohon menggeleng sedih. “Bukan,” jawabnya. “Itu bukan kapakku.”
Mercrius masuk kembali ke dalam sungai, dan keluar dengan kampak perak. Lagi ia bertanya kepada penebang pohon.
“Ini kampakmu?” tanya Mercurius.
Lagi-lagi penebang pohon menggeleng sedih.
“Bukan, itu bukan kampakku,” jawabnya.
Mercurius masuk kembali ke dalam air. Lalu muncul lagi dengan kampak besi.
Serta merta penebang pohon kegirangan.
“Nah, itu kampakku! Itu kampakku! Bolehkah aku minta kembali?”
Mercurius dengan senang hati memberikan kampak si penebang pohon. Ia juga sangat terkesan dengan kejujuran si penebang pohon. Ia sama sekali tidak tergiur dengan kampak emas dan kampak perak karena bukan miliknya.
Mercurius lalu menghadiahinya dengan kampak emas dan kampak perak sekaligus.
Ia ceritakan pengalamannya kepada temannya, sesama penebang pohon.
“Aku akan coba peruntunganku,” pikir temannya. Ia melakukan yang sama
seperti si penebang pohon. Ia pura-pura menebang pohon, dan sengaja menjatuhkan kampaknya sampai tenggelam masuk ke dasar sungai. Lalu pura-pura menangis di pinggir sungai.
Tak lama kemudian Mercurius muncul, dan bertanya apa yang terjadi.
“Kampakku jatuh tenggelam ke dasar sungai,” katanya pura2 sedih.
Mercurius segera masuk ke dalam sungai, dan muncul kembali dengan kampak emas.
“Apa ini kampakmu?” tanya Mercurius.
“Betul, betul! Itu kampakku yang tenggelam ke dasar sungai,” teriaknya sambil berusaha merebut kampak itu dari tangan Mercurius. Tentu saja Mercurius lebih sigap menghindar.
“Kamu pembohong!” kata Mercurius sambil masuk ke sungai dengan kampak emasnya.
Si pembohong pun gigit jari. Bukan saja ia tidak mendapatkan kampak emas, ia juga kehilangan kampak yang ia jatuhkan ke dasar sungai.
Akan halnya si penebang pohon yang pertama, ia jual kampak emasnya, uangnya dipakai sebagai modal usaha. Ia kini jadi pedagang yang kaya dan tetap jujur. Dari kisah ini diintisarikan bahwa “Jujur itu paling baik”.
Tidak ada komentar:
Write komentar