Setiap kali membayar uang kuliah, ayah tiri pasti pergi ke kota untuk meminjam uang. Ketika liburan musim dingin dan panas tiba, saya jarang berbicara dengan ayah tiri dirumah, dia sendiri juga jarang menanyakan keadaan saya. Tetapi kegembiraan ayah tiri bisa dirasakan setiap orang.
Setiap
kali kembali ketempat kuliah, ayah tiri pasti akan mengantar sampai
ketempat yang cukup jauh. Sepanjang perjalanan dia kebanyakan hanya
menghisap pipa rokoknya. Semua kata-kata yang ingin saya utarakan
kepadanya tidak tahu harus dimulai dari mana.
Sebenarnya
dalam hati kecil sejak dulu sudah menerimanya seperti ayah kandung,
cinta kasih kadang kala sangat sulit untuk diutarakan! Dengan demikian
saya selalu tidak bisa merealisasikan janji saya terhadap ibu.
Pada
liburan tahun baru, rumah terkesan ramai sekali. Saat itu saya sudah
kuliah di semester-6. Adik meminta saya bercerita tentang hal-hal
menarik di kota, ayah tiri duduk dibelakang ibu, sibuk mengeluarkan abu
tembakau setelah itu memasukkan tembakau kedalam pipa, wajahnya penuh
dengan senyum kebahagiaan. Saya bercerita tentang keadaan kota, adik
membelalakkan mata dengan penuh rasa ingin tahu.
“Ah,
teman sekelas kakak kebanyakan sudah mempunyai ponsel dan laptop,
sedangkan kakak sebuah arloji pun tidak punya.......” Pada akhirnya
saya mengeluh dengan nada bergumam. Saat itu saya melihat wajah ayah
tiri sedikit tegang, segera ada perasaan menyesal telah mengucapkan
perkataan itu.
Saat
liburan usai saya harus meninggalkan rumah kembali kuliah. Seperti biasa
ayah tiri mengantar kepergian saya. Sepanjang perjalanan beberapa kali
ayah tiri memanggil saya, tetapi ketika saya menanggapi, dia membatalkan
berbicara, sepertinya mempunyai beban pikiran yang sangat berat. Saya
sangat berharap ayah tiri bisa memulai topik pembicaraan, agar bisa
berkomunikasi baik dengannya, namun saya selalu kecewa.
Ketika
berpisah, ayah tiri berkata dengan kaku, “Saya tidak mempunyai
kepandaian apa-apa, tidak bisa membuat hidup kalian bahagia, saya sangat
menyesalinya. Jika engkau sukses kelak, harus berbakti pada ibumu,
biarkan dia bisa menikmati hari tua dengan bahagia…” Saya menerima koper
baju yang disodorkannya.
Tiba-tiba
saya melihat sepasang matanya berkaca-kaca. Hati saya menjadi trenyuh,
mendadak merasakan ada semacam dorongan hati yang ingin memanggilnya
“Ayah”, tetapi kata yang telah mengendap lama ini akan terlontar dari
mulut, mendadak tertelan kembali.
Ketika
saya telah berjalan jauh, saya lihat ayah tiri masih berdiri ditempat
itu sama sekali tak bergerak, bagaikan patung. Dalam hati saya
berjanji: ketika pulang nanti, saya pasti akan memanggilnya “Ayah”.
Namun kesempatan itu tak pernah saya dapatkan lagi. Saya tak mengira
perpisahan kali ini untuk selamanya.
Dua
bulan setelah itu saya mendapat kabar bahwa ayah tiri meninggal dunia.
Bagaikan halilintar di siang bolong, benak saya menjadi kosong, serasa
dunia ini sudah tiada lagi. Saya pulang dengan perasaan linglung, yang
menyambut saya dirumah adalah pipa rokok berwarna coklat kehitaman yang
tergantung di tembok.
“Satu-satunya
hal yang paling disesali ayah adalah tidak seharusnya menamparmu,
setiap kali mengantarmu kembali ke kampus, dia sangat ingin meminta
maaf, tetapi ucapan itu selalu tak bisa keluar dari mulutnya. Sebenarnya
masalah itu tidak bisa menyalahkan dirinya, kamu tidak tahu betapa
sengsara hatinya, pipa itu adalah kesedihan seumur hidupnya!” Dengan
hati pedih ibu bercerita.
Melihat
benda peninggalan itu teringat pemiliknya, dengan hati-hati saya ambil
pipa yang tergantung di tembok itu, pandangan mata saya kabur karena air
mata, merasakan kesedihan yang menusuk hati. Ibu juga tergerak hatinya,
dia lalu bercerita tentang misteri pipa rokok itu…
Tiga
puluh tahun lalu, ayah tiri hidup saling bergantung dengan ayahnya. Ibu
dengan ayah tiri adalah teman sepermainan sejak kanak-kanak. Setelah
mereka tumbuh dewasa, mereka sudah tak terpisahkan lagi. Tetapi jalinan
kasih mereka mendapatkan tentangan keras kakek, sebab keluarga ayah tiri
terlalu miskin.
Karena
ibu dan ayah tiri dengan tegas mempertahankan hubungan mereka, kakek
terpaksa mengajukan sejumlah besar mas kawin kepada keluarga ayah tiri
baru mau merestui pertunangan mereka.
Demi
anak satu-satunya, ayah dari ayah tiri itu pergi bekerja di perusahaan
penambangan batu bara. Malang tak dapat ditolak, terjadi kecelakaan di
tambang itu. Dinding tambang runtuh dan menimbun sang ayah untuk
selamanya. Barang peninggalan satu-satunya hanyalah pipa rokok
kesayangannya semasa hidup.
Ayah
tiri sangat sedih, seumur hidup orang yang paling dia hormati dan
sayangi adalah ayahnya. Kemudian ayah tiri menyalahkan dirinya dan
merasakan penyesalan yang mendalam hingga tak ingin hidup lagi.
Keesokan harinya dia diam-diam meninggalkan rumah dengan membawa pipa rokok itu, tak seorang pun tahu kemana perginya…
Dua
tahun kemudian ayah tiri kembali lagi kekampung halamannya, tetapi ibu
satu tahun sebelum ayah tiri kembali dipaksa untuk menikah dengan ayah
kandung saya. Untuk selanjutnya ayah tiri tidak menikah, yang menemani
hidupnya adalah sebatang pipa rokok yang tidak pernah lepas darinya.
Setelah
ayah kandung saya meninggal, ayah tiri memberanikan diri menanggung
segala tanggung jawab untuk menjaga ibu, saya dan adik. Sejak awal dia
menolak mempunyai anak sendiri, dia berkata kami ini adalah anak
kandungnya.
Selesai
mendengarkan penuturan ibu, tak terasa wajah saya penuh dengan air mata.
Sungguh tak menduga jika pipa rokok itu bukan hanya memiliki kisah
berliku perjalanan cinta mereka, namun juga mengandung ingatan yang amat
berat bagi seumur hidup ayah tiri!
“Ayah
meninggal dunia karena pendarahan otak, sebelumnya dia sudah tidak bisa
berbicara, hanya memandang Ibu dengan tangannya menunjuk ke arah kotak
kayu. Ibu mengerti maksudnya hendak memberikan kotak kayu tersebut
kepadamu. Didalam kotak itu terdapat beberapa lembar surat hutang,
mungkin dia bermaksud menyuruhmu membayarkan hutangnya. Seumur hidupnya,
dia tak ingin berhutang pada orang lain….”
Dengan
sesenggukan saya menerima kotak kayu itu dan membukanya dengan perlahan.
Ada delapan lembar kertas didalamnya. Saya membacanya dan terkejut
bukan main, tubuh menjadi lemas terkulai diatas ranjang.
Ibu saya
buta huruf, kertas-kertas yang ada dalam kotak itu bukan surat hutang
seperti yang dikatakannya, melainkan tanda terima jual darah! Ayah tiri
telah menjual darahnya! Kepala saya terasa pusing dan tangan saya lemas.
Kotak kayu itu terjatuh, dari dalamnya menggelinding keluar sebuah
alroji baru…
“Ayah!
Ayah..” Berlutut didepan kuburan ayah tiri dengan air mata bercucuran,
saya hanya bisa menepuk-nepuk onggokan tanah kuning yang ada dihadapan
saya. Tetapi biar bagaimanapun saya berteriak-teriak, tetap tak akan
memanggil kembali bayangannya.
Ketika
saya pergi meninggalkan rumah, saya membawa pipa rokok coklat kehitaman
itu, saya akan mendampingi pipa ini untuk seumur hidup saya, mengenang
ayah tiri untuk selamanya.
"Jangan sampai
menyesali perbuatan anda selama ini, lakukan semua yang terbaik kepada
orang2 yang telah berkorban banyak bagi masa depan anda.Sayangi dan
hargailah mereka!!!" Sekarang saatnya kawan, jangan tunggu nanti.. apalagi esok..! SEMOGA BISA JADI RENUNGAN BAGI SETIAP ANAK AKAN CINTA
AYAHNYA....
SELESAI
Tidak ada komentar:
Write komentar